Masuk Daftar
My Getplus

Bung Tomo Serukan Boikot Produk Belanda

Bung Tomo menyerukan boikot produk-produk Belanda dalam sengketa Irian Barat. Ditentang pemerintah karena akan mengganggu perundingan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 16 Nov 2023
Bung Tomo kampanye Partai Rakjat Indonesia pada Pemilu 1955. (Perpusnas RI).

“PEMBOIKOTAN yang diusulkan oleh Partai Rakjat Indonesia, jika Irian tidak jatuh ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Januari 1951, akan terus berjalan mulai tanggal 1 Januari 1951, kecuali jika perundingan-perundingan di negeri Belanda membuahkan hasil,” kata Bung Tomo dalam pidatonya pada acara Partai Rakjat Indonesia di Jakarta, Minggu (3/12) malam, sebagaimana dikutip surat kabar Nieuwe Courant, 4 Desember 1950.

Bung Tomo menyampaikan pernyataan itu berkaitan dengan sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Belanda tak hanya mengakui kedaulatan Indonesia tetapi juga berkomitmen membahas status Irian Barat. Perundingan diharapkan selesai dalam waktu satu tahun setelah KMB.

Pertemuan demi pertemuan dilakukan oleh wakil dari kedua pihak. Namun, kebuntuan tak dapat dipecahkan karena perbedaan sudut pandang. Penulis dan akademisi, Lawrence S. Finkelstein dalam “Irian In Indonesian Politics”, yang termuat di South East Asia: Colonial History, menyebut pihak Indonesia berargumen bahwa Irian yang kini dikenal dengan nama Papua, secara etnis dan ekonomi memiliki hubungan dengan masyarakat di sekitar Maluku. Selain itu, Irian selalu termasuk dalam wilayah Hindia Belanda sejak masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 hingga abad ke-16.

Advertising
Advertising

“Usulan referendum Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan, mengingat upaya-upaya Belanda sebelumnya untuk menggagalkan gerakan kemerdekaan Indonesia melalui pembentukan wilayah-wilayah federal, yang seolah-olah otonom, tetapi sebenarnya sebagian besar dimanipulasi oleh Belanda,” sebut Finkelstein. “Tetapi argumen yang paling penting adalah keyakinan bahwa rakyat Indonesia akan terus menganggap revolusi mereka tidak lengkap kecuali jika Irian diserahkan kepada pemerintah Indonesia.”

Baca juga: Kisah Partai Pohon Kelapa Bung Tomo

Masalah Irian Barat menjadi perhatian utama pada pertengahan 1950. Sejumlah kelompok dan organisasi seperti Badan Perjuangan Irian aktif menyuarakan dukungan terhadap klaim Indonesia atas Irian. Presiden Sukarno juga kerap membicarakan isu ini dalam perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia.

Di sisi lain, menurut pakar politik berkebangsaan Australia, Herbert Feith, saat kabinet Natsir naik ke tampuk kekuasaan, ada perasaan yang kuat di Belanda untuk “tidak memberikan satu inci pun kepada Indonesia”.

“Sebagian besar dari 55.900 warga sipil Belanda yang tiba di Belanda dari Indonesia pada 1950, dan juga sebagian besar dari para tentara, tidak menyukai nasionalisme Indonesia, dan pengaruhnya terhadap opini Belanda cukup besar. Bagi banyak orang Belanda, pembubaran pemerintah federal Indonesia dengan cepat tampak sebagai tindakan pengkhianatan,” tulis Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Simpati warga Belanda terhadap Republik Maluku Selatan juga berkembang luas. Mereka mengganggap gejolak politik di Indonesia sebagai bukti ketidakmampuan pemerintah menertibkan dan menjaga stabilitas keamanan negaranya.

Mendekati tanggal 27 Desember 1950, tenggat waktu penyelesaian sengketa Irian Barat berdasarkan hasil KMB, ketidakpastian status Irian Barat menuai sorotan dari berbagai pihak di Indonesia. Feith menyebut tuntutan atas status Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia, salah satunya muncul dari Bung Tomo, ketua Partai Rakjat Indonesia, yang tersohor sebagai pemimpin pemuda revolusioner dalam Pertempuran Surabaya melawan Inggris pada 10 November 1945.

Baca juga: Duri dalam Daging Bernama Irian Barat

Pada 9 November 1950, Bung Tomo menyatakan kelompoknya akan melakukan boikot ekonomi terhadap Belanda jika terus menolak menyerahkan Irian Barat setelah tanggal 27 Desember. Ia menyebut sembilan organisasi lain telah setuju untuk mendiskusikan rencana boikot. Salah satunya Partai Buruh.

Surat kabar Algemeen Indisch Dagblad: de Preangerbode, 11 Desember 1950, menyebut Partai Buruh menyetujui aksi boikot terhadap Belanda bila tak mau menyerahkan dan mengakui Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia.

Meski begitu pemerintah memandang boikot tak perlu dilakukan karena dikhawatirkan menghambat proses perundingan. Perdana Menteri Mohammad Natsir merespons seruan boikot dalam wawancara yang dimuat surat kabar Nieuwe Courant, 4 Desember 1950. “Saya sudah berkali-kali membicarakan hal ini dan sudah banyak yang ditulis tentang masalah ini. Pemerintah akan bertindak terhadap masalah Irian sesuai dengan keinginan nasional,” kata Natsir yang berharap rakyat berkoordinasi dengan pemerintah dalam masalah ini.

Sebelumnya, Kabinet Natsir telah mengeluarkan pernyataan terkait rencana pemboikotan terhadap Belanda. “Pada tanggal 28 November, kabinet mengeluarkan sebuah pernyataan, yang merupakan pernyataan pertama dari beberapa pernyataan serupa, yang menyatakan bahwa kabinet tidak akan mentolerir intimidasi atau boikot dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menentang tindakan-tindakan yang tidak demokratis,” tulis Feith.

Baca juga: Bung Tomo Dipenjara Orde Baru

Seruan boikot dari Bung Tomo juga ditentang Wakil Presiden Mohammad Hatta, PSI, dan Partai Masyumi. Pernyataan sikap Masyumi diberitakan sejumlah surat kabar, salah satunya Nieuw Courant, 6 Desember 1950: “Masyumi tidak menyetujui aksi boikot, karena berpendapat bahwa pada saat ini: (a) disiplin rakyat belum sempurna, sehingga aksi tidak dapat dilaksanakan dengan tertib dan sesuai dengan rencana; (b) masih terlalu banyak unsur-unsur yang merusak dalam masyarakat, yang akan menggunakan aksi boikot untuk tujuan lain; (c) perasaan tidak aman sudah terlalu besar untuk diperparah dengan adanya gangguan ekonomi, yang akan berakibat pada terganggunya masyarakat secara keseluruhan; (d) pemboikotan secara tidak langsung akan menghalangi eksistensi rakyat.”

Walau menentang aksi pemboikotan, Masyumi memperingatkan Belanda agar penyerahan Irian Barat kepada Indonesia dalam tempo secepat-cepatnya untuk kepentingan Belanda sendiri, karena tak hanya berkaitan dengan hubungan antara kedua negara, tetapi juga berkaitan dengan negara-negara lain di wilayah Pasifik.

Pro dan kontra seruan boikot terhadap Belanda membuat Bung Tomo angkat bicara. Mengutip Report on Indonesia Volume 2, pada 16 Desember 1950 Bung Tomo mengumumkan bahwa pemboikotan akan ditujukan terutama terhadap barang-barang impor Belanda seperti susu, keju, dan selai. Aksi ini pun dilakukan tanpa menggunakan kekerasan dan tidak akan ditujukan kepada individu.

Baca juga: Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat

Di tengah kontroversi seruan boikot, perundingan status Irian Barat diselenggarakan di Belanda sejak 4 Desember 1950. Delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri Mohammad Roem berusaha membujuk Belanda agar menerima sebuah rencana di mana kedaulatan Indonesia atas Irian Barat akan disetujui pada 27 Desember 1950 dan diserahkan secara nyata pada pertengahan tahun 1951 setelah perundingan lebih lanjut menangani perlindungan kepentingan Belanda di wilayah itu. Namun, usulan ini dengan cepat ditolak Belanda. Pertemuan-pertemuan selanjutnya masih terus dilakukan dan berlangsung alot hingga pada 27 Desember 1950. Perundingan berakhir dengan apa yang disebut Roem sebagai “kebuntuan total”.

Berakhirnya perundingan menandakan pembahasan status Irian Barat tak dapat diselesaikan dalam tempo satu tahun sebagaimana keputusan KMB. Meski begitu, menurut Feith, reaksi di Indonesia tidak sedramatis yang diperkirakan.

“Pemogokan duduk bersama selama satu jam yang direncanakan oleh Badan Perjuangan Irian tidak terjadi. Tidak ada boikot dan tidak ada kekerasan. Di Makassar, di mana pimpinan lokal Badan Perjuangan Irian telah pecah kongsi dengan pimpinan Jakarta, terjadi pemogokan selama satu hari pada 28 Desember. Namun, tidak ada reaksi lain selain kecaman terhadap Belanda, Amerika, dan pemerintah serta seruan-seruan untuk menolak Uni Indonesia-Belanda dan Persetujuan Konferensi Meja Bundar,” tulis Feith.*

TAG

irian barat bung tomo

ARTIKEL TERKAIT

Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR Kasus Crossdressing yang Menghebohkan Eropa Raja Larantuka Melawan Belanda Gambir Berdarah dan Kudatuli sebagai Tonggak Awal Reformasi Leon Salim Bocah Pergerakan Nasional Pernyataan Tidak Anti-Republik hingga Penangkapan Amir Sjarifuddin Kelakar Gus Dur dan Benny Moerdani Tentang Israel DPA Bukan Dewan Pensiunan Agung Duo Trah Djiwandono Zaman Now DPA dari Masa ke Masa