MALAM itu, 15 April 1856, sebuah kapal yang bersandar di Pelabuhan Panama dijadwalkan berlayar menuju Amerika Serikat (AS). Namun, ombak besar membuat jadwal pelayaran kapal tersebut dibatalkan. Para penumpang yang telah berkumpul untuk naik ke atas kapal mulai meninggalkan pelabuhan. Beberapa di antaranya memanfaatkan penundaan pelayaran itu untuk membeli minuman di bar yang ada di kota.
Tak ada yang berbeda di pusat kota Panama pada malam itu. Hotel dan restoran terisi penuh, sementara sejumlah bar tampak sibuk melayani tamu-tamu yang terus berdatangan. Para penjual buah-buahan, minuman ringan, dan lain-lain juga sibuk memenuhi permintaan yang ada.
Hiruk-pikuk di kota tersebut berubah menjadi mencekam ketika seorang pelancong asal AS bernama Jack Oliver mengambil sepotong semangka dari kios pedagang lokal bernama José Manuel Luna. Setelah mencicipi semangka yang diambilnya, Oliver yang tengah dalam keadaan mabuk segera melemparkannya ke tanah dan menolak untuk membayar harga yang diminta oleh Luna. Sikap Oliver membuat sang pedagang buah tak terima hingga memicu perkelahian di antara keduanya. Tak butuh waktu lama hingga perkelahian itu menarik perhatian sejumlah pasang mata yang berkumpul di dekat kios milik Luna. Keadaan semakin memburuk ketika suara tembakan terdengar.
Baca juga:
Pukulan KO Berujung Kerusuhan di Hari Kemerdekaan
‘’Beberapa orang mengatakan bahwa penduduk lokal itulah yang pertama kali melakukan provokasi dengan mengacungkan sebilah pisau di tengah perkelahian hingga memicu lawannya mencabut pistolnya dan menembak. Keadaan ini membuat kerumunan orang yang ada di tempat kejadian segera menyelamatkan diri,’’ tulis suratkabar The Star & Herald, 19 April 1856, sebagaimana dikutip Jean Gilbreath Niemeier dalam The Panama Story.
Perkelahian yang semula melibatkan Oliver and Luna segera meluas menjadi perkelahian di antara penduduk lokal Panama dengan para pelancong, khususnya warga kulit putih dari AS. Tak lama setelah lonceng gereja berbunyi, sejumlah besar orang Panama segera muncul dan mulai berkelahi dengan para pelancong. Kepanikan melanda seluruh kota dan karena tempat-tempat penginapan tak lagi aman untuk melindungi pelancong-pelancong tersebut, mereka memutuskan untuk berlindung di stasiun keretaapi, di mana para pejabat dan polisi Panama juga berkumpul.
Namun kemudian, tembakan meletus. Orang-orang Panama yang bersenjatakan parang serta berbagai senjata lain memaksa masuk ke dalam gedung. Keesokan paginya saat kerusuhan mulai mereda, diketahui bahwa 15 pelancong AS dan dua warga Panama telah terbunuh. Selain itu, puluhan orang juga dilaporkan terluka. Kerusuhan yang kelak disebut sebagai “Watermelon War” itu pun merusak bangunan stasiun keretaapi dan sejumlah gedung milik AS lainnya.
Menurut Helen Delpar dalam “Watermelon War, 1856”, termuat di Encyclopedia of U.S. – Latin America Relations Volume I, perkelahian karena sepotong buah semangka yang melibatkan Oliver dan Luna bukan pemicu utama kerusuhan yang menewaskan belasan orang tersebut. Sentimen anti-AS yang ditunjukkan oleh para perusuh sebagian disebabkan oleh rasa tidak puas atas hilangnya sumber keuntungan yang disebabkan oleh pembukaan jalur keretaapi. Jalur itu memungkinkan para pelancong melintasi wilayah Panama dalam satu hari sehingga mematikan usaha para penduduk lokal yang sebelumnya menawarkan jasa kepada para pelancong lintas benua.
“Selama bertahun-tahun, Jalur Kereta Api Panama, yang selesai dibangun tahun 1855, memainkan peran penting dalam mengangkut penumpang dan barang melintasi Isthmus Panama. Selama paruh kedua abad kesembilan belas, individu dan fasilitas yang terkait dengan jalur kereta api juga terlibat dalam konflik diplomatik dan politik yang melibatkan AS dan Kolombia, yang memerintah Panama pada saat itu,” tulis Delpar.
Baca juga:
Kala Chicago Dihantam Kerusuhan Rasial
Wacana pembangunan jalur keretaapi di wilayah Panama ini telah muncul sejak akhir 1840-an. Kala itu beberapa perusahaan pelayaran AS dari dan ke Panama menyadari bahwa melintasi Isthmus Panama membutuhkan waktu perjalanan yang panjang serta sulit melalui darat dan air. Oleh karena itu, tiga pengusaha AS –William H. Aspinwall, pendiri Pacific Mail Steamship Company; pengusaha New York Henry Chauncey; dan John Llyod Stephens, yang terkenal sebagai pelancong dan perintis di Meksiko dan Amerika Tengah– tergerak untuk membangun jalur keretaapi transistim. Pada 1849, Panama Rail-Road Co. didirikan di New York dan pada 1850 perusahaan ini menandatangani kontrak dengan pemerintah Kolombia yang memberikan hak eksklusif untuk membangun dan mengoperasikan jalur keretaapi melintas Panama untuk jangka waktu 49 tahun.
Sayangnya, pendapatan dari jalur keretaapi yang resmi dibuka tahun 1855 ini dimonopoli oleh pihak perusahaan. Nyaris semua yang diperlukan untuk operasional keretaapi, begitu juga kebutuhan makanan dan akomodasi para pegawainya, diimpor dari AS dan memberikan sedikit manfaat bagi perekonomian penduduk lokal Panama.
Peter Pyne menulis dalam The Panama Railroad bahwa begitu jalur keretaapi tersebut beroperasi penuh, aliran uang ke dalam ekonomi lokal turun drastis. Para penduduk lokal yang sebelumnya mendapatkan penghasilan cukup besar dari melayani kebutuhan para pelancong dan perusahaan yang membangun jalur keretaapi kini mendapati bahwa permintaan akan layanan mereka hampir sepenuhnya hilang. Alih-alih kemakmuran, banyak warga Panama justru menjadi pengangguran dan jatuh miskin. Tak hanya penduduk lokal, para perantau yang berasal dari negara-negara tetangga Panama juga kehilangan pekerjaan dan harus memilih antara pulang ke rumah atau tetap tinggal di perantauan untuk bertahan hidup.
Sikap antipati terhadap resesi ekonomi Panama memperburuk hubungan antara penduduk lokal dan keretaapi. Rumor beredar bahwa penduduk Panama yang kecewa berencana menyerang perusahaan yang telah merampas mata pencaharian mereka.
“Pada Oktober 1855, konsul Amerika melaporkan bahwa ia telah menerima informasi dari rekannya ‘bahwa penduduk lokal Panama sedang merencanakan penghancuran jalur kereta api, dengan cara membuat marah penduduk berkulit hitam.’ Namun, tidak ada yang terjadi pada peristiwa ini. Meski begitu ketidakpuasan terus membara di bawah permukaan hingga meledak dalam ‘Kerusuhan Semangka’ yang disebut oleh orang Panama sebagai El Incidente de la Tajada de Sandia, enam bulan kemudian,” tulis Pyne.
Tak berselang lama setelah Kerusahan Semangka terjadi, pemerintah AS menunjuk Amos Corwine, mantan konsul Amerika di Panama (1849-1853), untuk menyelidiki penyebab kerusuhan itu. Corwine melaporkan bahwa pembukaan jalur keretaapi menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran di Panama. Hal ini menjadi salah satu penyebab “perasaan tidak suka yang besar yang dimiliki penduduk lokal di Panama terhadap warga negara Amerika Serikat.”
Baca juga:
Manuel Noriega, Si Muka Nanas yang Kotor
Di sisi lain, ketika berpidato di hadapan Kongres di Bogota pada Februari 1857, Presiden Kolombia (yang saat itu bernama New Granada) Manuel Maria Mallarino justru menyalahkan perusahaan keretaapi atas kerusuhan yang terjadi karena telah mengimpor sejumlah besar pekerja migran dan kemudian tidak lagi menggunakan jasa penduduk lokal setelah pembangunan selesai. Banyak dari pekerja asing ini tetap tinggal di Panama, membentuk koloni penduduk yang terpinggirkan dan miskin. Pada akhirnya, kebencian mereka memicu kerusuhan.
Sementara itu, sebagai upaya untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi di Panama pada 1856, AS mengajukan rancangan perjanjian yang memberikan kompensasi uang dari Kolombia untuk kerusakan yang diderita oleh warga negara AS dan juga secara substansial akan mengurangi kedaulatan Kolombia atas wilayah Isthmus Panama.
“Wacana ini segera ditolak oleh Kolombia. Akan tetapi pada 1857 negara ini setuju untuk bertanggungjawab atas kerusuhan yang terjadi di Panama dan membayar klaim, yang pada akhirnya berjumlah $412.393,95. Kerusuhan semangka dan akibatnya dapat dilihat sebagai titik penting dalam perluasan pengaruh AS di Panama dan pengikisan otoritas Kolombia di sana,” tulis Delpar.