Masuk Daftar
My Getplus

Bung Tomo Dipenjara Orde Baru

Bung Tomo dipenjara rezim Orde Baru dengan tuduhan subversi dan menghasut mahasiswa.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 14 Apr 2022
Bung Tomo membaca puisi berjudul "Kursi" dalam acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang diselenggarakan Universitas Indonesia pada 1 Oktober 1977. (IPPHOS/Perpusnas RI).

PADA 11 April 1978, Soetomo atau Bung Tomo ditahan di Rumah Tahanan Inrehab Nirbaya, Jakarta. Rezim Orde Baru menahan tokoh Pertempuran Surabaya ini dengan tuduhan telah melakukan subversi (berusaha menjatuhkan kekuasaan) dan menghasut mahasiswa.

“Pada awal 1970-an, Mas Tom banyak berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Dia mengkritik keras program-program Presiden Soeharto,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu.

Padahal, lanjut Sulistina, pada Pemilihan Umum 1977 namanya selama beberapa bulan sempat disebut-sebut akan dicalonkan sebagai anggota DPR kedua oleh Ketua DPP Golongan Karya (Golkar) Amir Moertono. “Namun, entah mengapa gaungnya kemudian lenyap begitu saja, hingga dia ditahan,” kata Sulistina.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sulistina Dituduh Mata-mata Belanda

Sebelumnya, pada masa Orde Lama, Bung Tomo pernah mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI) yang ikut serta dalam Pemilu 1955. PRI mendapat dua kursi DPR, salah satunya untuk Bung Tomo.

Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan mencatat bahwa ketika Orde Baru berkuasa, Bung Tomo sering mengkritik kebijakan pemerintah. Bung Tomo menilai pemerintah Orde Baru korup dan menyalahgunakan kekuasaan. Pernyataan-pernyataan Bung Tomo dalam berbagai kesempatan dianggap menghasut mahasiswa yang pada 1978 melakukan demonstrasi besar-besaran. Bung Tomo juga mengkritik kongkalikongnya penguasa dan pengusaha serta penguasa sipil dan militer.

“Berbagai kritik yang dipandang mengganggu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis itu membawa Bung Tomo ke penjara pada 11 April 1978,” tulis Yudi.

Baca juga: Kisah Partai Pohon Kelapa Bung Tomo

Bung Tomo tidak memandang penjara sebagai sumber penderitaan. Tidak mengherankan saat keluar dari penjara tubuhnya lebih gemuk. “Habis, di sini makan melulu. Lagi pula ada larangan dokter untuk senam,” kata Bung Tomo dikutip Tempo, 14 April 1979.

Namun, hikmah terbesar di penjara yang dialami Bung Tomo adalah merasakan kedekatan dengan Tuhan. “Sembahyang di Nirbaya rasanya lebih tenang dan mantap,” kata Bung Tomo.

Penghuni Nirbaya menganggap Bung Tomo aneh. Dia dikira cengeng karena suka menangis. Terutama ketika bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Nirbaya pada peringatan 17 Agustus 1978. “Bendera itu bikinan istri saya sendiri,” kata Bung Tomo. Setelah itu, setiap kali bendera itu dikerek, Bung Tomo mengambil sikap hormat dari kamar tahanannya.

Baca juga: Jadi Perintis Jalan, Bung Tomo Jatuh ke Jurang

Bung Tomo sebagai tahanan di penjara Nirbaya, Jakarta. (Dok. Keluarga).

Bersama Bung Tomo, dua tokoh lagi yang dipenjara adalah Prof. Dr. Ismail Sunny, ahli hukum tatanegara dan rektor Universitas Muhammadiyah; dan Mahbub Djunaidi, tokoh pers, kolumnis, penerjemah, politikus Nahdlatul Ulama, dan wakil Sekjen PPP. Mahbub harus berbaring selama sebelas bulan di RS Gatot Subroto karena menderita darah tinggi.

“Ketiganya dituduh subversi dan ditahan setahun. Belakangan menurut seorang pejabat tinggi Hankam (Pertahanan dan Keamanan), mereka dituduh menghasut mahasiswa,” tulis Tempo.

Mahbub dituduh subversi bukan karena tulisan-tulisannya. Tetapi karena pembicaraannya di beberapa seminar dan diskusi, serta kampanye PPP. Selama dalam tahanan, Mahbub sempat menulis novel dan menerjemahkan buku The Road to Ramadhan karangan wartawan Mesir Hassanain Heikal.

Baca juga: Pengalaman Mistis Bung Tomo di Kaki Gunung Wilis

Jaksa Agung Ali Said menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan sementara tak ada alasan lagi menahan mereka bertiga. Mereka dibebaskan tanpa syarat pada 9 April 1979.

Bung Tomo, Mahbub, dan Sunny, dibawa ke Kejaksaan Agung untuk menerima surat pembebasan. “Sebagai ahli hukum, saya sudah tahu sebelumnya tentang pembebasan ini. Penahanan perkara subversi paling lama kan setahun,” kata Sunny.

Bung Tomo menunaikan nazarnya kalau bebas akan membopong istrinya. Begitu istrinya datang ke Kejaksaan Agung, dia langsung membopongnya. “Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan mengirim makanan ke Nirbaya,” kata Bung Tomo.

Dari Kejaksaan Agung, mereka dibawa kembali ke Nirbaya. Siang itu juga Mahbub dan Sunny pulang, sementara Bung Tomo dijemput istri dan anaknya menjelang Isya.

Baca juga: Bung Tomo Menikah Saat Perjuangan Kemerdekaan

Bung Tomo meninggal dunia ketika menjalankan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, sehari sebelum Hari Raya Iduladha. Jenazahnya dibawa kembali ke Indonesia pada 1982 setelah melalui proses yang panjang. Bung Tomo tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi di Taman Pemakaman Umum Ngagel Surabaya.

“Banyak anak muda yang menyangka Mas Tom itu Pahlawan Nasional... Aku menghargai sekali orang-orang yang ingin mengajukannya agar diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Itu terserah mereka, bagiku diangkat atau tidak, bukan soal karena itu soal duniawi. Karena aku menganggap Mas Tom sudah dianugerahi oleh Allah dengan meninggal di Arafah. Itu merupakan penghargaan yang tinggi sekali,” kata Sulistina.

Bung Tomo baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2008.

TAG

bung tomo

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel