Masuk Daftar
My Getplus

Bung Tomo Menikah Saat Perjuangan Kemerdekaan

Bung Tomo merasa bersalah menikah saat tengah berjuang melawan penjajah.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 14 Nov 2014
Pernikahan Bung Tomo dan Sulistina pada 19 Juni 1947. (Repro Sulistina Soetomo, Bung Tomo Suamiku).

DI masa revolusi, para pemuda menempatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) di atas kepentingan diri sendiri. Revolusi menuntut pengorbanan segala-galanya, termasuk perkawinan sebagai “kenikmatan” pribadi. Tak heran jika mereka kerap jengkel melihat iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di suratkabar.

“Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Baca juga: Soe Hok Gie dan para penyusup di UI

Advertising
Advertising

Sorotan pun dialamatkan kepada Bung Tomo, tokoh pemuda dan penyulut semangat pertempuran Surabaya, ketika hendak menikah di masa revolusi. Muncul pro dan kontra. Ada yang menyayangkan mengapa Bung Tomo tidak konsekuen dengan janjinya untuk tidak menikah sebelum perjuangan selesai.

“Kami dapat menerima kekecewaan ini,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku, “tetapi tak dapat menjelaskan secara pribadi apa yang menjadi pertimbangan pernikahan kami.”    

Sejatinya, Bung Tomo juga memiliki perasaan bersalah. Untuk itu, dia meminta izin dan persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).

Baca juga: Siaran Bung Tomo di Radio Pemberontakan dalam Pertempuran Surabaya

Dalam iklan perkawinan Bung Tomo dengan Sulistina di harian Boeroeh, 16 Juli 1947, pucuk pimpinan BPRI menyetujui perkawinan itu pada 19 Juni 1947, dengan perjanjian: “Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi; meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.”

Iklan tersebut, menurut Soe Hok Gie, memperlihatkan Bung Tomo merasa berdosa karena perkawinannya dilangsungkan di tengah suasana revolusi. Seolah-olah dia hanya mencari kenikmatan pribadi. Mereka kemudian berjanji tidak akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri sampai ancaman terhadap kedaulatan berakhir.

“Kami harus berjanji melaksanakan dengan patuh, syarat ini demi keselamatan negara,” kata Sulistina.

Baca juga: Bung Tomo sebut pemuda Bandung lembek seperti peuyeum

Menurut kepercayaan orang-orang tua, bila pemimpin pasukan atau negara menikah di masa perang, pantang baginya melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari. Jika dilanggar akan ada medan perang yang dibobol musuh. “Entah dari mana tradisi itu, namun demi keselamatan negara kami berjanji akan mematuhi,” kata Sulistina.

Bung Tomo pun meyakini kepercayaan tersebut dan meminta kepada istrinya, “kita jalani puasa 40 hari ini ya. Demi keberhasilan perjuangan.” Sulistina mengangguk.

Akhirnya, masa puasa 40 hari itu berlalu. Sehari sebelumnya, Bung Tomo memberikan sebuah buku kepada istrinya: Kamasutra.

Baca juga: Bung Tomo dilarang bicara karena diplomat Indonesia gagal fokus

TAG

Cerita-Cinta Bung-Tomo Surabaya

ARTIKEL TERKAIT

Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Perjuangan Pasangan Sutomo dan Sulistina dalam Masa Revolusi Penerbangan Terakhir Kapten Mulyono Kapten Mulyono, Penerbang Tempur Pertama Indonesia Dari Kamp Nazi Lalu Desersi di Surabaya Dukung Kemerdekaan Indonesia Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan Abdullah Mengayuh Becak dan Sejarah Bangsa Awak Artileri dalam Pertempuran 10 November "Tak Diakui" Kolonel Latief dalam Pertempuran 10 November di Surabaya