LAUT tak jauh dari hidupnya. Dia pernah menyeberangi lautan untuk mengadu nasib ke Jawa sewaktu muda. Ayah angkatnya pun seorang pelaut meski barangkali hanya pelaut kapal kayu. Pelaut dari Madura itulah yang menjadikannya anak, memungutnya dari Gorontalo, daerah asalnya.
Dullah, singkatan dari Abdullah, itulah nama panggilannya. Dia masih belia sewaktu tentara Jepang menduduki Kepulauan Nusantara. Dullah kala itu berada di Surabaya. Dia sering keluar-masuk pelabuhan mengantar penumpang.
“Menjelang kekalahan Jepang, Pemuda Abdullah adalah seorang tukang becak yang buta-huruf. Pada saat-saat itulah dia menerima latihan kemiliteran anggauta pasukan Jibakutai,” catat Soe Hok Gie dalam Kisah Penumpasan RMS: Gerakan Operasi Militer IV.
Jibakutai adalah Barisan Berani Mati. Anggotanya para pemuda yang dilatih teknik dasar kemiliteran oleh militer Jepang.
Baca juga: Pasukan Bunuh Diri Indonesia dalam Perang Kemerdekaan
Setelah Jepang kalah, Dullah masih terus mengayuh becak sebagai sumber penghidupannya. Bagi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) —embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI), Dullah adalah tukang becak yang baik. Koran Merdeka edisi 12 Oktober 1950 menyebut Dullah rajin memberi tumpangan gratis kepada anggota BKR yang naik becaknya. Katanya, itu adalah untuk kepentingan negara.
Setelah tentara Inggris masuk ke Surabaya, suasana kota Surabaya berubah menjadi lebih panas dari biasanya. Sekitar Oktober 1945, keadaan sudah panas dan mengganas di bulan November dengan meletusnya Pertempuran 10 November 1945 yang legendaris.
Namun, Dullah tak mengungsi ketika Surabaya panas. Becaknya dia tinggalkan untuk perjuangan yang lebih mulia. Dia mendekatkan diri pada bedil-bedil yang peluru-pelurunya tak kenal ampun.
“Ia membentuk pasukan-pasukannya sendiri. Karena kecakapan, kejujuran dan sifat kepemimpinannya yang baik, ia sangat dicintai oleh bawahan-bawahannya,” catat Soe Hok Gie. “Kemerdekaan memberi kesempatan padanya untuk mengembangkan bakat-bakarnya secara bebas yang pada djaman kolonial dirintangi penjajah.”
Baca juga: Bintang Perang Surabaya
Terlepas dari adanya kecendrungan pandangan bahwa pemuda yang disegani macam Abdullah adalah pemuda kebal peluru, Dullah angkat senjata. Kendati tanpa pengalaman militer memadai, revolusi kemerdekaan Indonesia “memerintahkannya” menjadi seorang komandan sebuah pasukan bernama Badjak Laoet.
Menurut Radik Djarwadi dkk. dalam Pradjurit Mengabdi: Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y, pasukan Badjak Laoet bergerak di utara kota Sidoarjo. Badjak Laoet mulanya bagian dari Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Pangkalan VII pimpinan Kolonel Sutrisno.
“Pada tahun 1946 ia tetap memimpin pasukan Badjak Laoet bertahan di sebelah utara Sidoardjo, sedang kedudukan asramanja dalam kota Sidoardjo. Dalam pertempuran-pertempuran di sekitar Buduran-Sruni itulah pemuda Abdullah memperlihatkan kecakapan dan keberaniannya,” catat Radik Djarwadi dkk.
Atasan Dullah, Andi Aries, sangat percaya padanya di masa-masa sulit itu. Adanya kepercayaan itu membuat pasukan Badjak Laoet anggotanya bertambah. Pangkat Doelah pun naik jadi kapten setelah 1945. Dengan pangkat itu, sejak April 1947 Kapten Abdullah diserahi jabatan sebagai komandan Barisan Pelopor, yang merupakan pasukan gabungan dari Badjak Laoet dan pasukan 0032 pimpinan Letnan Dua Soeharto. Pasukan ini bagian dari Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI).
Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono
Perjuangan Dullah terus berlanjut hingga setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949. Dengan pangkat mayor dan jabatan komandan batalyon, Dullah ikut diterjunkan dalam operasi penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 1950. Di sanalah Mayor Dullah gugur pada 25 September 1950 saat hendak mendarat bersama pasukannya.
Apa yang dialami Dullah adalah sesuatu yang tidak disangkanya ketika dirinya masih menjadi tukang becak. Di zaman Hindia Belanda, status sosial Dullah kemungkinan besar takkan bisa naik. Di era rasis itu, sangat sedikit orang Indonesia yang menjadi kapten dalam dinas ketentaraan. Orang Indonesia yang pernah menjadi kapten dalam tentara kolonial Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) semua berasal dari golongan priyayi berpendidikan.
Sementara, Dullah bukan hanya non-priyayi tapi juga tidak berpendidikan formal. Dia bahkan buta huruf dan tak pernah sekolah. Pemuda macam Dullah di zaman KNIL hanya bisa jadi serdadu bawahan yang sepanjang dinas mungkin hanya bisa dua kali naik pangkat dan belum tentu bisa menjadi kopral. Namun revolusi kemerdekaan Indonesia mampu menyulap pemuda buta huruf macam Dullah untuk naik –status sosial– ke panggung sejarah sebagai salah satu perwira penting di sekitar Surabaya dan bahkan daerah lain di Indonesia.*