Bung Dullah, begitu dia dipanggil. Wajahnya terletak pada deretan tengah, sosok ketiga dari kanan lukisan: menggunakan pet hitam miring, topi khas laskar zaman revolusi. Kisah perjuangannya yang legendaris melatarbelakangi penciptaan lukisan berjudul Kawan-kawan Revolusi ini.
“Bung Dullah ini gugur ketika menyerang iring-iringan tank tentara Belanda. Waktu mencabut picu geranat gombyok dari pinggangnya, serbuk kimia dan mesiu di dalamnya keburu bereaksi. Tapi sebelum granat meledak di pinggangnya sendiri, Bung Dullah langsung menubrukan diri ke tank Belanda sehingga tank itu hancur,” kata Tedjabayu, anak pertama Sudjojono kepada Historia.
Geranat gambyok yang meledak bersama Dullah itu adalah geranat kreasi para laskar di zaman revolusi. Terbuat dari serbuk mesiu dan campuran bahan kimia lain yang dimasukkan ke dalam sebuah cawan besi berisi serpihan besi dan paku. Pada bagian geranat itu terdapat kain (gombyok) yang menyerupai ekor. Dullah bertugas sebagai pelempar yang membawa beberapa geranat gombyok di pinggangnya.
“Bapak saya sedih betul dengan kejadian itu, kami semua sedih,” kenang Tedjabayu.
Tak hanya Bung Dullah, total ada 19 wajah di dalam lukisan legendaris itu. Salah satunya wajah Tedjabayu yang saat itu berusia tiga tahun. Sosok wajah anak kecil dengan mimik menangis terletak tepat di bawah posisi wajah Dullah.
“Waktu itu saya lagi pilek, lagi rewel. Terus bapak angkat saya dan didudukan di sebuah kursi lantas wajah saya dilukis,” kata pria kelahiran 1944 itu.
Baca juga: Melacak Maestro Lukis Indonesia
Lukisan Kawan-kawan Revolusi itu dibuat pada 1947 di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) di Solo. Sudjono menulis judul lukisannya dalam ejaan lama, “Repoloesi”, yang menurutnya lebih nasionalis ketimbang “revolusi” yang berasal dari ejaan Belanda, revolutie. Riwayat lukisan itu bermula saat Sudjojono meladeni tantangan kritikus seni Trisno Sumardjo untuk melukis realis dengan cepat.
Sudjojono, yang juga menahkodai SIM itu, berencana akan melukis secara realis wajah tokoh pejuang dan seniman namun tak pernah terlaksana. Namun pada akhirnya, karena tertantang oleh Trisno Sumardjo, dia berhasil menyelesaikannya dalam tempo kurang dari sehari.
“Lukisan ini perpaduan dua kalangan. kalangan pejuang dan simpatisan pejuang. ada 6 tentara. sisanya adalah pelukis dan kritikus sastra,” ujar Mikke Susanto, kurator pameran 17/71: Goresan Juang Kemerdekaan.
Baca juga: Mooi Indie Diserang Lalu Disayang
Pada 25 Mei 1947, Biro Perjuangan di Yogyakarta menyelenggarakan pameran lukisan yang diisi oleh karya-karya dari SIM. Sukarno tertarik dengan lukisan tersebut, kemudian membelinya dan diboyong ke istana.
Menurut Mikke, Bung Dullah adalah tokoh sentral dalam lukisan itu. Di dalam lukisan pun, posisinya berada di tengah, dikerubungi beberapa tokoh lain. Tokoh-tokoh lain itu adalah Sugiri, Basuki Resobowo, Soerono, Trisno Sumardjo, Ramli, Suromo, Soedibio, Nindyo, Kasno, Oesman Effendi, Yudhokusumo dan Kartono Yudhokusumo.
Pada agresi militer Belanda kedua, Desember 1948, lukisan Kawan-kawan Revolusi juga terkena imbas kebrutalan tentara Belanda.
“Lukisan itu pernah robek akibat terkena bayonet milik tentara Belanda yang merangsek ke Gedung Agung. Namun kemudian bisa direstorasi. Prediksi saya, yang melakukan restorasi itu adalah pelukis Dullah yang pernah menjadi pelukis istana,” ujar Mikke menguraikan lebih lanjut. Pelukis Dullah yang dimaksud Mikke bukan tokoh ‘Bung Dullah’ dalam lukisan Sudjojono itu.
Baca juga: Jejak Cinta yang Terpahat di Bandara
Kisah heroik Bung Dullah itu kemudian diceritakan terus menerus oleh Sukarno ketika sedang menemui tamu-tamu negara yang datang berkunjung ke Istana. Sekali waktu, kesebelasan sepakbola Lokomotif dari Uni Soviet berkunjung ke Indonesia. Rombongan pesepakbola ini diterima Sukarno. Di depan lukisan Kawan-kawan Revolusi, Bung Besar menceritakan heroisme Bung Dullah. Bahkan Bubukin, seperti dikutip dalam katalog pameran 17/71, pemimpin kesebelasan, pada akhir pertemuan itu mengajak timnya untuk mendoakan Bung Dullah, si pahlawan sederhana itu.
Tedjabayu mengisahkan kelak setelah Bubukin mengheningkan cipta di depan lukisan itu, ada semacam tradisi bagi para tamu negara yang datang menemui Presiden Sukarno untuk melakukan hal yang sama. “Setelah Bung Karno tidak lagi menjabat presiden, kebiasaan itu hilang,” kata Tedjabayu.
Kisah Bung Dullah dalam lukisan Sudjojono itu menambah lagi kisah kepahlawanan laskar pemuda yang tak pernah tercatat dalam narasi utama sejarah di negeri ini.