KECELAKAAN pesawat terjadi di Kampung Kedung Klinter Surabaya, petang hari 12 April 1951. Dalam kecelakaan itu, pilot AURI (kini TNI-AU), Kapten Mulyono yang menerbangkan pesawat tempur P-51 Mustang meninggal di tempat. Sementara itu, enam orang penduduk setempat meninggal dunia dan tiga orang luka-luka.
“Dengan kecelakaan ini AURI kehilangan penerbang yang cakap,” lansir Sin Po, 13 April 1951.
Tidak hanya AURI saja yang berduka atas gugurnya Mulyono. Keesokan harinya, warga Surabaya turut berkabung. Walikota menyerukan pengibaran bendera setengah tiang atas insiden itu. Tentulah Kapten Mulyono bukan penerbang biasa.
Baca juga: Posisi AURI dalam Insiden Laut Aru
Mulyono (ejaan lama: Muljono) lahir di Pare, Kediri, Jawa Timur pada 13 Maret 1923. Sebelum masuk AURI, Mulyono sempat bekerja sebagai masinis di jawatan keretaapi pemerintah kolonial Belanda di Madiun. Pekerjaan masinis dilakoninya hingga memasuki zaman pendudukan Jepang. Pada 15 Desember 1945, Mulyono tercatat sebagai Kadet Udara II di Sekolah Penerbang Malang.
Ketika Sekolah Penerbang Maguwo di Yogyakarkarta dibuka, menurut sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito, atas pengertian dan kesadaran pimpinan Sekolah Penerbang di Malang, kemudian diadakan integrasi antara kedua sekolah tersebut. Atas integrasi itu, satu-satunya sekolah penerbang yang dikenal di masa revolusi hanya Sekolah Penerbang Maguwo. Kadet Mulyono pun pindah dari Malang ke Maguwo tergabung bersama rekan-rekan sesama kader penerbang. Mereka antara lain: A. Patah, Aryono, Jusran, Makmur Suhodo, Sudaryono, Sugoro Sastrodimedjo, Suharnoko Harbani, Wim Prayitno, dan Prayitno.
“Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sekolah Penerbang di Maguwo inilah kemudian hari secara formal merupakan perintisan menuju pembentukan Akademi Angkatan Udara (AAU),” catat Irna H.N. Hadi Soewito, dkk dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945—1950.
Baca juga: Pemboman Udara Pertama Indonesia
Semasa Perang Kemerdekaan, Mulyono merupakan salah satu pahlawan dalam misi serangan udara ke basis militer Belanda di Semarang. Operasi ini dilancarkan sebagai serangan balik setelah Belanda lebih dulu melancarkan agresi militer pada 21 Juni 1947. Selain Mulyono, Suharnoko, Harbani, Sutardjo Sigit, Sutardjo, Kaput, dan Dulrachman turut terlibat dalam serangan Udara tersebut. Semuanya masih kadet penerbang dengan pengalaman jam terbang masih nol.
Pada 29 Juli 1947, Mulyono dan kawan-kawan melancarkan serangan udara terhadap kedudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Serangan tersebut, seperti diungkap dalam Lintasan Sejarah Koopsau I, merupakan operasi udara pertama yang dilancarkan militer Indonesia. Dari segi militer, dampak serangan itu tidak begitu besar meski cukup mengejutkan. Namun, secara politik dan psikologi, aksi para kadet itu berdampak besar mengangkat moril pejuang Republik yang bertempur di darat.
Tergolong kadet yang cakap, Mulyono dipilih untuk menerbangkan Guntai, pesawat pembom ringan eks Jepang. Semula, penerbangan Mulyono direncanakan dengan pengawalan rekannya yang menggunakan pesawat pemburu Hayabusha Nakajima Army. Hingga mendekati hari “H” 29 Juli, pesawat pemburu itu masih mengalami masalah pada mesin dan persenjataan. Akhirnya, pimpinan operasional pelaksanaan operasi Komodor Muda Halim Perdanakusuna memutuskan Mulyono terbang seorang diri saja.
Baca juga: Leo Wattimena, Si Gila Kebanggaan AURI
Pukul 05.00 pagi Mulyono berangkat dari Pangkalan Udara Maguwo di Yogyakarta menuju Semarang. Bom yang dibawa Mulyono dijatuhkan di dua tempat, yaitu Semarang bagian bawah dan bagian atas kota di Candi. Sasaran serangan adalah tempat yang diperkirakan menjadi pusat kekuatan militer Belanda.
“Enam buah bom yang dibawa pesawat Guntai telah dijatuhkan di kedua tempat tersebut. Sebuah bom diantaranya telah menghancurkan 11 buah bangunan, menewaskan 7 orang dan lainnya luka-luka,” catat Dinas Sejarah AU dalam Sejarah TNI Angkatan Udara Jilid I (1945—1949).
Selain menjatuhkan bom, Guntai yang dipiloti Mulyono juga melepaskan tembakan ke bebeberapa sasaran, seperti pabrik gas untuk menyuplai miiliter Belanda. Usai melancarkan serangan udara, Mulyono menyebarkan pamflet di atas Kota Semarang sebagai penjelasan kepada penduduk sehubungan Agresi Militer Belanda. Seluruh rangkaian aksi penerbangan Mulyono ke Semarang berjalan lancar tanpa ada hambatan, baik di darat maupun udara. Pelaksanaan operasi pun berjalan sesuai waktu yang raltif singkat. Setelah selesai menunaikan tugasnya, Mulyono bersama Guntai yang dipilotinya kembali ke Maguwo.
Baca juga: Jagoan Udara Bernama Leo Wattimena
Setelah menyelesaikan pendidikan penerbang, Mulyono ditempatkan di Pangkalan Udara Maospati (kini Lanud Iswahyudi) di Madiun dengan pangkat Opsir Udara III (setingkat kapten). Mulyono sempat dikirim untuk melanjutkan pendidikan penerbang ke Sekolah Penerbang Manila, di Filipina. Di sana. Mulyono memperoleh “Limited Commercial Licence” (lisensi penerbang pesawat komersial) dari Civil Aeronautics Board Manila. Memasuki 1950, Mulyono dipercaya sebagai komandan Pangkalan Udara Medan dan terlibat dalam serah terima pangkalan tersebut dari Angkatan Udara Belanda.
“Pada waktu itu (Mulyono -red) belajar terbang sendiri pada pesawat P-51 'Mustang' zonder (tanpa) instruktur dan menjadi penerbang 'Mustang' yang pertama dari AURI,” sebut Sin Po, 14 Apri 1951.
Menurut Sin Po, Mulyono merupakan satu dari sedikit pilot AURI yang menyandang kualifikasi pilot tempur. Penerbangan demonstrasi keliling Jawa dalam rangka perayaan lima tahun AURI jadi penerbangan terakhir Mulyono. Manuver akrobatiknya lepas kendali saat mengudara berujung kecelakaan fatal yang mengakhiri hidup dan kiprah Mulyono.