Tragedi Dakota dalam Hari Bakti Angkatan Udara
Insiden Dakota VT-CLA jadi tumbal operasi udara pertama AURI. Dua peristiwa yang lantas sangat disesali hingga diperingati dengan Hari Bakti.
DENGAN khidmat, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Yuyu Sutisna memimpin upacara sederhana Hari Bakti TNI AU ke-72 di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta, Senin 29 Juli 2019. Di pagi buta itu, KSAU berpesan agar generasi penerus TNI AU meneladani para kadet yang melancarkan operasi pemboman atas Semarang, Salatiga, dan Ambarawa 72 tahun silam.
“Nilai-nilai perjuangan yang merupakan warisan para pendahulu harus senantiasa diteladani dan diimplementasikan insan-insan Swa Bhuwana Paksa dari generasi ke generasi, sehingga seluruh prajurit TNI AU mengingat jati dirinya sebagai tentara yang mengabdi pada Ibu Pertiwi,” ujar KSAU.
Pidato KSAU kemudian dilanjutkan dengan pementasan sosiodrama yang dilakoni para pereka ulang Djokjakarta 1945.
Hari Bakti TNI AU, diungkapkan Irna H.N. Hadi Suwito dkk dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, ditetapkan lewat SK KSAU Nomor Kep. 133/VII/1976 berdasarkan pada peristiwa gugurnya tokoh-tokoh AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dalam peristiwa jatuhnya pesawat angkut C-47 Dakota bernomor registrasi VT-CLA pada petang 29 Juli 1947.
Rabu Kelabu
Rabu 30 Juli 1947 itu, sejumlah petinggi TNI memenuhi sebuah aula di Hotel Tugu, Yogyakarta dalam suasana kelabu. Di sanalah berbaring tiga jenazah perintis AURI: Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo.
Selain KSAU Komodor Suryadi Suryadarma, turut hadir Panglima TNI Jenderal Sudirman memberi penghormatan terakhir dalam upacara militer itu. Ribuan masyarakat sipil yang terpukul turut memberi penghormatan.
Masing-masing jenazah lalu dikebumikan sesuai permintaan keluarga. Jenazah Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto dikuburkan di Kuncen, sementara Adisumarmo di Taman Makam Pahlawan Semaki.
Suryadarma amat terpukul dan sedikit menyesal. Ia merasa gugurnya ketiga kolega beserta enam korban Dakota VT-CLA lain disebabkan oleh amuk Belanda yang dikejutkan oleh serangan udara kadet-kadet AURI pada pagi 29 Juli 1947. Akibatnya, pesawat Dakota VT-CLA itupun jadi salah satu tumbal pembalasan Belanda.
Baca juga: Pemboman Udara Pertama Indonesia
Pesawat Dakota VT-CLA itu dibeli pemerintah RI sedianya untuk mengantar dua ton obat-obatan dari Singapura yang merupakan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Sebelum dibeli, pesawat itu milik Biju Patnaik, pengusaha India cum mantan pilot Royal Air Force (RAF/AU Inggris) yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
VT-CLA sendiri merupakan nomor registrasi sipil Dakota itu dalam naungan Maskapai Kalingga Airlines, dan belum diganti meski sudah dibeli pemerintah RI. Pesawat dengan rute Singapura-Yogyakarta itu dipiloti penerbang veteran AU Australia Alexander Noel Constantine dan veteran AU Inggris Roy Lance Hazelhurst.
Mengutip Adityawarman Suryadarma dalam biografi ayahnya, Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma, rute penerbangan nonmiliter itu sudah mendapat izin terbang dari pemerintah Inggris dan NICA di Jakarta.
Berdasarkan manifes otoritas bandara Singapura, pesawat itu ditumpangi sembilan orang. Selain tiga tokoh AURI dan dua penerbangnya, turut menumpang istri sang pilot, Beryl Constantine; Abdulgani Handonotjokro dari GKBI Tegal; Zainal Arifin dari Konsul Dagang RI di Malaya; dan teknisi Bhida Rom asal India.
Dikuntit Sepasang Kittyhawk
Dakota VT-CLA itu bertolak dari Singapura pukul 1 siang dengan muatan dua ton sumbangan obat-obatan. Penerbangan berjalanan aman. Namun sesampainya di atas Kepulauan Bangka-Belitung, sepasang pesawat Curtiss P-40 “Kittyhawk” AU Belanda mulai tampak.
Muncul dan menghilang, begitulah seterusnya dua Kittyhawk bermanuver untuk menguntit Dakota hingga tiba di angkasa Yogyakarta sekira pukul 4 sore. Saat runway Lanud Maguwo terlihat, pilot Constantine segera menurunkan roda pesawat sambil mengarahkan pesawat berputar sekali sebelum mendarat. Saat itulah tembakan dari senapan mesin kaliber 12,70 milimeter M2 Browning sepasang Kittyhawk dimuntahkan kedua pilotnya.
“Dakota VT-CLA mengeluarkan asap; baling-baling sebelah kanan patah. Pesawat itu kehilangan keseimbangan dan tembakan masih gencar dilancarkan. Ketika menukik tajam, dari pintu pesawat tampak beberapa sosok tubuh terlempar ke luar. Pesawat miring hingga sayap kirinya melanggar pucuk pohon, kemudian jatuh melayang membentur tanggul sawah,” ungkap Irna dkk berdasarkan kesaksian seorang bernama Soma Pawiro.
Baca juga: Pemburu dari Masa Lalu
Dakota VT-CLA jatuh dan meledak di persawahan batas Desa Ngoto dan Desa Wojo, sekira tiga kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Warga langsung mendatangi lokasi. Meski mulanya dikira pesawat Belanda, pertolongan tetap diupayakan meski hari mulai gelap. Dengan obor dan tandu seadanya dari batang bambu, masyarakat mengevakuasi beberapa korban.
Para personil AURI lantas berdatangan, termasuk kadet Suharnoko Harbani dan KSAU Suryadarma. Saat itulah warga insyaf bahwa itu pesawat republik. Selain Abdulgani, Beryl Constantine masih hidup dengan luka tembak di pipi saat dievakuasi. Namun, nyawanya tak tertolong saat dilarikan ke Rumahsakit Bethesda, tempat para korban mendapat penanganan.
Para korban, utamanya para perintis AURI, lalu disemayamkan di Hotel Tugu untuk mendapatkan penghormatan terakhir secara militer. Mereka dimakamkan keesokan harinya.
Peristiwa itu membuat Belanda mencari alasan untuk mengelak. “Menurut radio Yogya, dua pesawat Belanda menembak jatuh Dakota yang membawa bantuan medis dari Singapura. Namun jurubicara pemerintah Belanda di Den Haag membantah, berdasarkan komunike Belanda di Batavia, di mana pesawat Belanda hanya memberi tembakan peringatan namun Dakota itu jatuh karena menabrak sebuah pohon,” tulis Suratkabar Nieuwe Apeldoornsche Courant, 30 Juli 1947.
Alasan itu jelas mengada-ada lantaran pada jenazah Beryl Constantine dan Adisumarmo terdapat luka tembak. Belanda lantas “meralat” pernyataannya bahwa memang benar dua pilot Kittyhawk, Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens, melepas tembakan tapi lantaran mereka salah mengira pesawat itu sebagai pembom tukik Jepang Ki-49 “Helen”.
Alasan yang lebih mengada-ada itu –lantaran kedua pilot Belanda merupakan alumnus Skadron Nederlands East Indisch (NEI) yang berlatih di Canberra, Australia semasa Perang Dunia II; mustahil mereka tak mengenali bentuk pesawat Dakota yang merupakan andalan Sekutu– kembali direvisi Belanda. Menurutnya, pesawat mereka menembaki Dakota VT-CLA lantaran tak menggunakan insignia palang merah di badan pesawat.
Dunia internasional kian mengecam Belanda, terlebih setelah keluar kesaksian Letkol Peter Ratcliffe, perwira Inggris utusan SEAC (South East Asia Command) yang sedang di Yogyakarta. Ratcliffe menyaksikan sendiri dua Kittyhawk Belanda itu menembaki Dakota meski Dakota sudah miring menjelang menghantam daratan.
Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis
Ratcliffe ikut mendatangi RS Bethesda untuk melihat dua korban, Beryl Constantine dan Adisumarmo. Dalam kesaksiannya, kedua tubuh jenazah dipenuhi luka tembak.
“Sebuah insiden paling pengecut dan brutal dan tindakan kebodohan yang pernah saya lihat,” kata Ratcliffe marah, dikutip tabloid AU Australia, Pathfinder, edisi 159, Juli 2011.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar