Pada 11 November 1945, Sulistina (1925–2016) dan dua temannya sebagai anggota Palang Merah bersama pemuda anggota Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) Malang berangkat menuju garis depan di Surabaya. BPRI didirikan oleh Bung Tomo (1920–1981) yang kemudian akan menjadi suami Sulistina.
Mereka sampai di Surabaya pada tengah malam. Sulistina dan temannya dititipkan di rumah keluarga Bandarkoem, pegawai DKA (Djawatan Kereta Api), dekat markas pusat BPRI di Jalan Tembok Dukuh. Esok pagi, Sulistina dan temannya pergi ke markas pusat BPRI yang telah dipenuhi para pemuda dengan berbagai senjata. Semakin siang semakin banyak orang datang ke markas termasuk mereka yang datang dari garis depan.
Baca juga: Menghabisi Mata-mata
Tiba-tiba pesawat terbang melintas di atas markas dan menjatuhkan mortir yang menggelegar. Sulistina dan temannya bersembunyi di kolong meja. Bung Tomo pun memindahkan markas karena tidak aman.
“Markas kami di Jalan Tembok Dukuh memang tidak aman lagi, bahkan tidak jauh dari markas, Bung Tomo hampir saja ditembak dua mata-mata. Cerita ini kuperoleh dari kawan seperjuangannya yang menyaksikan kejadiannya. Waktu itu ada serangan dan Bung Tomo tiarap. Di depan dan belakangnya ada dua pemuda, yang di belakang akan menembak Bung Tomo. Untung ketahuan dan Bung Tomo selamat,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku.
Menurut Asmadi (lahir 1928), mantan Tentara Pelajar, pada perang 10 November 1945 aktivitas mata-mata musuh benar-benar memusingkan setiap pejuang. Sudah banyak kerugian yang diderita akibat perbuatannya. Banyak korban yang jatuh akibat tembakan gelap yang datang dari arah belakang atau samping, justru ketika perhatian para pejuang sedang tertuju ke arah musuh di depan. Gerakan penyusupan ke daerah musuh seringkali mengalami kegagalan akibat tembakan-tembakan isyarat yang dilancarkan oleh mata-mata musuh.
Baca juga: Naim yang Malang Dituduh Mata-mata
“Di samping itu mata-mata musuh juga menyebar sampai jauh di belakang garis pertempuran yang akibat kehadirannya sangat terasa sampai ke garis depan. Suplai makanan dari garis belakang diganggu, sehingga para pejuang yang bertempur di garis depan seringkali harus menahan lapar,” kata Asmadi dalam Pelajar Pejuang.
Asmadi melanjutkan, di daerah luar yang menuju ke medan pertempuran setiap orang akan curiga bila ada genteng rumah yang terbuka, karena umumnya mata-mata musuh selalu menembak dari balik lobang-lobang yang terbuka semacam itu.
“Akibatnya, bila ada genteng yang terbuka, maka rumah itu langsung digerebek atau dibakar untuk mengusir mata-mata musuh yang berlindung di dalamnya,” kata Asmadi.
Baca juga: Riwayat Radio Pemberontakan Bung Tomo
A.H. Nasution (1918–2000) dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda, mengutip seruan Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan pada 16 November 1945 yang memerintahkan untuk membakar rumah yang berisi mata-mata.
“Bakarlah rumah-rumah mereka, sehingga mereka terpaksa lari tunggang-langgang. Tetapi dalam melakukan pertempuran, kita harus selalu awas terhadap mata-mata musuh. Di Surabaya ternyata mata-mata musuh di belakang garis perang untuk mengacaukan kita. Akan tetapi berkat kegiatan pasukan-pasukan kita, maka berpuluh-puluh mata-mata dapat dimusnahkan. Tatkala beberapa mata-mata yang tertangkap dibawa ke markas besar kita untuk diperiksa, maka mereka menyatakan bahwa yang menyuruhnya melakukan pengkhianatan itu ialah NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).”
Baca juga: Sulistina Sutomo Diselamatkan Sakit Perutnya
Sialnya, calon istrinya, Sulistina, justru yang dituduh mata-mata.
Dari Jalan Mawar, markas BPRI pindah lagi ke Jalan Biliton No. 7, tempat BPRI didirikan. Namun, Sulistina tinggal sendiri karena temannya terkena mortir: dua orang mati dan tiga orang luka-luka. Dia pun memutuskan kembali ke Malang.
Di Malang, Sulistina masuk kursus Polisi Wanita di Jalan Kawi. Dia belajar mengingat nomor mobil, cara membuntuti orang yang dicurigai, pura-pura berbedak dan mengamatinya. “Aku mengikuti kursus hanya sebentar karena ada saja penghalangnya,” kata Sulistina.
Suatu siang, Sulistina dipanggil Kepala Kepolisian Malang, Abdurrachman. Dia mengatakan bahwa ada yang mencurigainya mata-mata. Sulistina kaget. “Aku sebagai mata-mata Belanda? Masya Allah. Yang betul saja! Tega benar yang menebarkan desas-desus itu. Untung teman-teman di BPRI tidak ada yang mempercayai berita bohong itu.”
Saat itu, kata Sulistina, memang ada gadis-gadis cantik yang menjadi mata-mata. Mereka disebut Rantai Emas. Tugasnya melemahkan semangat para pejuang. Mereka mempunyai tanda di paha atau bagian tubuh yang tersembunyi. “Tetapi, ah masak Belanda begitu memberi cap mata-mata sehingga mudah dikenali kalau tertangkap,” kata Sulistina.
Baca juga: Berburu Mata-Mata di Era Revolusi
Sastrawan Hersri Setiawan (lahir 1936) menyebutkan bahwa pada zaman perang kemerdekaan ada kisah-kisah tentang perempuan-perempuan cantik, kebanyakan Indo-Belanda, yang suka mencari kencan untuk bermain seks, tapi sebenarnya mereka menjalankan peranan mata-mata NICA.
“Orang Republik menamai mereka itu Rante Mas,” kata Hersri dalam Memoar Pulau Buru.
Sulistina menyelidiki sumber berita yang menuduhnya mata-mata. Ternyata, orang yang menyebarkan berita bohong itu seorang perempuan yang tidak suka Sulistina menjadi Polisi Wanita. Beberapa hari kemudian, Sulistina mendengar kabar justru perempuan itu ditangkap karena dianggap sebagai mata-mata Belanda.
“Kasihan! Aku bisa merasakan kepedihan hatinya. Dicap mata-mata itu amat menyakitkan,” kata Sulistina. Meskipun persoalannya sudah selesai, Sulistina memutuskan mundur jadi Polisi Wanita.
Sulistina kemudian bertemu lagi dengan Bung Tomo yang pindah dari Surabaya ke Malang. Mereka pun menikah pada 19 Juni 1947.