Mohammad Hatta pulang kampung ke Sumatra Barat pada Oktober 1923. Selain menemui keluarga, dia juga berencana menulis dasar gerakan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan atau PNI-Baru) yang berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka. Setelah menyelesaikan brosur itu, dia mengunjungi beberapa cabang PNI di Sumatra Barat, yaitu cabang Bukittinggi, Padang Panjang, dan Padang. Di setiap cabang, dia memberikan pandangan tentang organisasi PNI.
Di Padang, Bung Hatta menginap di rumah tokoh yang berpengaruh dalam hidupnya, yaitu Engku Taher Marah Sutan, seorang agen pelayaran di pelabuhan Padang. Dia berkenalan dan berhubungan dengan Marah Sutan ketika dia duduk di kelas dua MULO. Saat itu, Marah Sutan menjadi sekretaris Sarikat Usaha, organisasi yang didirikan oleh para saudagar pribumi pada 1914 untuk melindungi saudagar-saudagar pribumi dari dominasi pedagang Belanda dan Tionghoa. Berkat dia, Sarikat Usaha menjadi pusat pertemuan kaum cerdik pandai di Padang. Dia memimpin Sarikat Usaha hingga tahun 1940.
“Ketika itu dia berkenalan dan selanjutnya erat berhubungan dengan Engku Marah Sutan, sekretaris Sarikat Usaha, yang rajin kerjanya dan banyak membaca. Bahkan dapat dikatakan, Marah Sutan menjadi ‘guru’ pemuda Hatta di luar bangku sekolah,” tulis Sri-Edi Swasono dalam Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat.
Baca juga: Bung Hatta Dikerangkeng Belanda
Pendidikan Marah Sutan hanya sampai kelas lima sekolah rakyat. Namun, dia seorang idealis, pekerja keras, dan pembelajar otodidak. Dia rajin membaca untuk mengasah penguasaan berbahasa Belanda dan untuk mengetahui perkembangan sosial dan politik. Darinya Hatta mengenal tokoh-tokoh pergerakan seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdoel Moeis.
Di tempat kerja Marah Sutan itulah, sebut Sri-Edi Swasono, Hatta berkenalan dengan surat kabar Neratja yang diterbitkan di Batavia dan dipimpin oleh Abdoel Moeis, kemudian oleh Haji Agus Salim. Juga dengan Utusan Hindia, surat kabar resmi Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Bahkan, pemuda Hatta juga mulai membaca Verhandelingen van de Volksraad (berita Volksraad), terutama untuk mengikuti pendapat para anggotanya.
Menurut Bung Hatta, Marah Sutan bercita-cita memajukan pendidikan anak-anak karena hanya dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh anak-anak, yang akan menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab pada kemudian hari, tanah air dapat maju.
Marah Sutan mungkin tidak banyak dikenal, namun anaknya yang kemudian terkenal karena menjabat menteri agama di pengujung masa Orde Baru, yaitu Tarmizi Taher.
Baca juga: Menghabisi Mata-mata
Karena waktu itu musim hujan, Bung Hatta lebih banyak di rumah Marah Sutan. Yang sering mengunjunginya adalah Suska, wartawan freelance, dan Datuk Djamin, seorang pengacara di Padang.
“Yang lucu ialah, seorang mata-mata yang ditugaskan oleh pemerintah daerah mengikuti aku ke mana-mana, tidak dapat memberi keterangan kepada majikannya tentang apa yang kuperbuat,” kata Bung Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Pada hari ketiga Bung Hatta di Padang, mata-mata itu mendatangi Marah Sutan. Dia meminta Marah Sutan atau Bung Hatta sendiri yang membuat laporan tentang apa saja yang dilakukannya di Padang. Sebab, apabila cecunguk (istilah mata-mata pada masa kolonial) itu tidak membuat laporan kepada atasannya, mungkin dia akan dihukum atau dipecat.
Marah Sutan tertawa mendengar permintaan itu. “Apabila keterangan itu datang dari kami, keterangan itu adalah keterangan palsu. Saudara yang wajib membuat laporan tentang apa yang dikerjakan oleh Bung Hatta.”
“Ampun aku, tolonglah aku supaya anak biniku dapat makan. Tidak perlu keterangan-keterangan tentang politik, buatlah berita apa saja. Aku sendiri tidak dapat membuat apa-apa sebab Engku Hatta, kecuali kemarin dahulu beliau datang ke kantor cabang Pendidikan Nasional Indonesia, tinggal di rumah saja. Orang lain yang banyak datang kemari dan nama orang yang datang itu aku tidak tahu,” kata mata-mata itu.
Baca juga: Saksi Mata-mata Dieksekusi
“Saudara bukankah orang Padang, masak saudara tidak dapat mengenal orang-orang yang datang kemari itu? Tuliskan sajalah apa yang saudara lihat, sekalipun tidak kenal nama orang yang datang itu. Apa yang saudara tidak tahu dan tidak lihat jangan dibuat-buat sebab itu juga palsu,” kata Marah Sutan.
Mata-mata itu menjawab, “Karena hari hujan, aku tidak dapat berdiri terus di jalan. Perlu aku pergi ke suatu tempat untuk berteduh.”
“Minta dibelikan payang oleh majikan saudara dan saudara dapat berdiri di tepi jalan melihat siapa-siapa yang masuk ke rumah ini untuk bertemu dengan Bung Hatta. Nah, sekianlah dahulu,” kata Marah Sutan.
Mata-mata itu pun terpaksa pergi sekalipun masih hujan. “Mungkin di hati kecilnya dia berharap akan dibolehkan duduk di serambi muka,” kata Bung Hatta.
Baca juga: Mata-mata Rantai Emas
Menurut Deliar Noer dalam Mohammad Hatta, Biografi Politik, Bung Hatta menyinggung peran mata-mata dalam tulisannya tentang razia terhadap PNI pada Januari 1930. Hatta menyebut bahwa seluruh korps kepolisian dimobilisasi untuk menghantam “partai rakyat yang populer” ini. Di 36 tempat, termasuk 27 di Jawa, 8 di Sumatra, dan 1 di Sulawesi, hantaman ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan di 500 rumah. Lebih dari 180 tokoh partai ini ditahan. Patroli polisi memasuki kampung-kampung yang dicurigai. Alasannya ada indikasi akan terjadi kerusuhan, malah pemberontakan, yang terorganisasi dan ditujukan terhadap pemerintah.
“Ini adalah fantasi, kata Hatta, dan yang hanya dipercayai oleh agent-provocateurs, yaitu cecunguk-cecunguk Belanda yang membayangi para pemimpin dan melaporkan hal-hal yang tidak-tidak kepada atasannya,” tulis Deliar Noer.
Baca juga: Naim yang Malang Dituduh Mata-mata
Setelah lima hari di Padang, Bung Hatta kembali ke Bukittinggi. Dia berangkat untuk mempersiapkan cabang PNI di Maninjau. Namun, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan di tengah perjalanan, sehingga dia terpaksa kembali ke Bukittinggi.
Asisten Residen kemudian memanggil dan memerintahkan Bung Hatta meninggalkan Bukittinggi esok pagi. Dia dikenai passenstelsel (surat jalan), peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial pada 1821. Peraturan ini mewajibkan seseorang, terutama orang Tionghoa, yang akan pergi dari satu tempat ke tempat lain, harus membawa pas atau surat jalan.
“Rupanya apa yang disebut passenstelsel di waktu itu dikenakan kepada aku. Aku hanya mengatakan, baiklah, dan aku meninggalkan kamar kerjanya,” kata Hatta.