Masuk Daftar
My Getplus

Barisan Jenderal Sahabat Wartawan

Punya kuasa dan menduduki jabatan panglima tentara. Para jenderal ini tetap menghargai juru warta dan kuli tinta dengan hormat.

Oleh: Martin Sitompul | 28 Sep 2018
Jenderal M. Jusuf dan wartawan Sinar Harapan, Atmadji Sumarkidjo. (Koleksi pribadi Atmadji Sumarkidjo).

Edy Rahmayadi, mantan jenderal yang kini menjadi gubernur Sumatera Utara sekaligus ketua umum PSSI tengah dalam pusaran pemberitaan. Pada sesi wawancara di salah satu televisi swasta baru-baru ini, Edy memperlihatkan mimik wajah yang gusar. Ketika pembawa acara berita menanyakan perihal rangkap jabatan yang dipegangnya, Edy sontak menjawab penuh hardikan:

“Apa urusan Anda menanyakan itu? Bukan hak Anda bertanya kepada saya.” Edy lantas memutuskan pembicaraan. Wawancara terhenti.

Telewicara itu berjalin menyusul peristiwa meninggalnya seorang anggota Jakmania akibat keroyokan suporter Persib jelang laga Persib kontra Persija di Bandung (23/9). Si pembawa acara berita bertanya dalam kapasitasnya selaku juru warta. Sementara Edy, menjadi narasumber terkait kedudukannya sebagai orang nomor satu di PSSI.

Advertising
Advertising

Baca juga: Hilang nyawa suporter bola salah siapa?

Ceplosan Edy berbuah blunder. Entah sengaja atau karena lagi banyak pikiran, jawabannya mendadak viral dan menuai gunjingan. Yang jelas, ini bukan kali pertama Edy mengeluarkan pernyataan bernada berang. Banyak kalangan menilai, Edy yang pernah menjabat panglima Kostrad ini masih terbawa gaya militer ala perwira tinggi. Namun sebagai pejabat publik, sikap Edy menyikapi persoalan terkesan arogan.

Diajak Meliput Dinas

Kebalikan dari Edy Rahmayadi, Jenderal M. Jusuf barangkali perwira tinggi TNI yang paling disenangi wartawan pada masanya. Jusuf yang menjadi Panglima ABRI periode 1978—1983 memang di kenal ramah terhadap pemburu berita. Pada 1981, Jusuf pernah mengajak sejumlah wartawan untuk ikut dan meliput perjalanan dinasnya. Saat itu, Jusuf sedang gencar melakukan peninjauan ke berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Satu diantara puluhan wartawan yang beruntung itu adalah Atmadji Sumarkidjo. Atmadji seorang reporter muda Harian Umum Sinar Harapan. Menurut Atmadji, hubungannya dengan Jusuf pada awalnya sebatas profesionalitas antara wartawan dengan narasumbernya.

“Kemudian hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan pribadi yang amat berkualitas dan tak pernah satu kali pun terhenti hingga Pak Jusuf wafat,” kenang Atmadji.

Hubungan karib tersebut dimulai dengan perhatian khusus yang diberikan oleh istri Jusuf, Elly Jusuf Saelan atas tulisan-tulisan yang dimuat di suratkabar Sinar Harapan. Atmadji kemudian dipercaya untuk menuliskan biografi M. Jusuf yang berjudul Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit.   

Dibekali Pistol

Wartawan TVRI, Hendro Subroto menyimpan kesan mendalam terhadap sosok Sarwo Edhie Wibowo. Keduanya bersua saat Sarwo menjabat komandan pasukan elite RPKAD. Pada 1965, Sarwo memimpin pasukan RPKAD menumpas gerakan PKI di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Sementara Hendro yang menjadi juru kamera film berita TVRI ikut meliput.

Melihat Hendro yang cuma menenteng tas ransel tanpa senjata, Sarwo bertanya, “Hen, mengapa kamu tak membawa senjata?.” Kontan saja Sarwo membuka couple ring di pinggangnya yang tertambat pistol Makarov 9 x 18 mm berikut tiga magasen peluru dan sebilah pisau komando. Dengan nada kebapakan Sarwo memberikan senjatanya kepada Hendro sambil kasih nasihat.

“Kamu jangan sembrono. Pakai ini,” demikian pengalaman itu dikenang Hendro dalam memoarnya Perjalanan Seorang Wartawan Perang.

Baca juga: Aksi Sarwo Edhie Wibowo di Papua

Bertahun berselang, hubungan baik itu terus terbina. Hendro selalu meliput operasi militer yang dipimpin Sarwo, termasuk ketika Sarwo menjadi panglima Kodam Cenderawasih di Papua. Pada dekade 1980-an, nama Hendro telah malang melintang sebagai wartawan senior. Sementara Sarwo, telah pensiun dan dalam keadaan sakit-sakitan.

Sekali waktu di tahun 1989, berita sakitnya Sarwo terdengar oleh Jenderal (purn.) Soemitro, mantan pangkopkamtib. Dikenal sebagai orang dekat Sarwo, Soemitro bertanya kepada Hendro saat bertemu di Singapura. “Hen, bagaimana keadaan bapakmu?.” Sebutan bapakmu yang dimaksud Soemitro ialah Sarwo Edhie Wibowo.

Kalau You Berani

Pertanyaan menantang oleh wartawan juga pernah dialami Benny Moerdani. Pada 1990, Benny pernah mengomentari biografi Jenderal Yoga Soegomo berjudul Memori Jenderal Yoga saat peluncuran di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Kata Benny, “Pak Yoga kalau bercerita mirip James Bond, selalu menang.”

Tetiba seorang wartawan muda harian Kompas celetuk. “Pak, boleh saya muat komentar tadi,” kata Julius Pour, nama si wartawan tadi. “Silahkan, kalau you berani,” gertak Benny dengan nada datar tanpa ekspresi. Pengalaman "cari perkara" itu dikenang Julius Pour dalam pengantar buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis.

Meski telah pensiun, aura angker masih menyelubungi Benny. Di masa jaya Orde Baru, dia  adalah jenderal paling berkuasa. Benny menjabat Panglima ABRI periode 1983—1988 dan memegang kendali lembaga intelijen. Wajahnya pun cukup sangar karena jarang melempar senyum. Di kalangan pers, Benny juga dikenal galak. Dia tak pernah mau dipotret lensa kamera wartawan.  Atas anjuran seniornya, Julius membatalkan niat untuk memuat kutipan Benny.

Baca juga: Benny Moerdani, raja intel salah parkir

Di kemudian hari, kalimat “silahkan, kalau you berani” ternyata selalu diulangi Benny dalam serangkaian wawancara bersama Julius. Sampai pada akhirnya, disepakati bila kisah perjalanan karier Benny akan ditulis oleh Julius. Biografi itu rampung pada 1993 dengan judul Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.    

Menurut Julius, Benny adalah orang yang antusias dan cukup terbuka. Benny bersedia menjawab pertanyaan hingga tuntas. Bahkan, berkenan menjelaskan secara rinci tentang semua isu sampai pada desas-desus, dari kecaman hingga fitnah sekitar dirinya.

“Beliau selalu rela dengan tangan terbuka bersedia menerima kedatangan saya. Sehingga akhirnya kami sering harus berdiskusi sampai jauh dini hari, di kamar kerjanya nya yang senyap," kenang Julius Pour.

Edy Rahmayadi agaknya perlu belajar dari para pendahulunya tersebut dalam memperlakukan pewarta. Sebagai aparat sipil, Edy mengemban amanah rakyat. Saat menjalankan tugas sebagai pelayan rakyat tak selayaknya dia berlagak seperti jenderal di tengah gelanggang perang.

TAG

TNI Pers Benny-Moerdani

ARTIKEL TERKAIT

Bambang Utoyo, KSAD Bertangan Satu Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Rawamangun Bermula dari Kampung Sepi Evolusi Angkatan Perang Indonesia Saat Baret Merah Dilatih Pasukan Katak Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Penerbangan Terakhir Kapten Mulyono Kapten Mulyono, Penerbang Tempur Pertama Indonesia