SEBAGAI seorang prajurit marinir, Ali Mutaqiem (80) masih ingat pengalaman pertamanya memasuki palagan di Sulawesi Utara. Tepatnya pagi 15 Juni 1958, bersama ribuan prajurit Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL, sekarang Korps Marinir) dan unsur-unsur AD (Angkatan Darat) , dia mendarat di Pelabuhan Kema (sekira 30 km sebelah timur Manado).
“Sebelumnya kapal-kapal kami ditembaki dari daratan oleh senjata-senjata berat modern yang belum kami kenal jenisnya,” kenang lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah itu.
Kendati sempat terhenyak oleh hamburan peluru-peluru tersebut, namun ada untungnya juga mereka ditembaki. Alih-alih membalas, para pengintai dari RI Gadjah Mada, RI Pattimura, RI Patiunus dan RI Hassanuddin justru bisa memetakan situasi medan hingga mengidentifikasi posisi senjata-senjata berat gerilyawan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Baca juga: Mengapa baret Marinir berwarna ungu?
“Besoknya sarang-sarang para pemberontak itu dihabisi dengan tembakan-tembakan gencar meriam dan pesawat AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) hingga mereka panik dan melarikan diri,” ujar Ali.
Kisah yang diceritakan Ali memang bukan sekadar isapan jempol semata. Setidaknya itu disaksikan sendiri oleh A.E. Sinolungan. Menurut penduduk Desa Papakelan (salah satu wilayah yang dekat area pertempuran), dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan kilatan dari tembakan meriam yang bersanding dengan suara gemuruh pesawat memenuhi langit Minahasa dini hari itu.
“Saya melihat jelas di langit arah Kema kilatan yang disertai dentuman meriam mengguntur tak henti-hentinya, saling sambung menyambung selama puluhan menit,” ungkap Sinolungan dalam Permesta-PRRI: Mengawal Negara Proklamasi 1945 Berdasarkan Pancasila.
Mengincar Manado
Ketika beberapa wilayah di Sulawesi Utara jatuh ke tangan gerilyawan Permesta pada April 1958, Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat (Komandan Operasi Militer Angkatan Perang Republik Indonesia untuk Sulawesi Utara) menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk melemahkan para pemberontak adalah dengan menguasai Manado. Hal ini perlu dilakukan mengingat posisi Manado sebagai pusat perlawanan Permesta.
Setelah mengirim tim pengintai dari KKo AL dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) ke pantai utara Manado pada 13 Juni 1958, dua hari kemudian satu kekuatan pasukan KKo AL mengirimkan gugus tugasnya yang terdiri dari AT 7 (Tim Amphibious Task 7) pimpinan Kolonel R. Soehardi, ATF (Amphibious Task Force) pimpinan Letnan Kolonel (Laut) John Lie dan Batalyon Pendarat pimpinan Mayor KKo Indro Soebagio.
“KKo AL ditugaskan untuk merebut Kema, Bitung, Kauditan, Lelang dan Manado,” demikian menurut buku Korps Komando AL: Dari Tahun ke Tahun yang ditulis oleh Bagian Sedjarah KKo AL pada 1971.
Baca juga: Pertarungan dua resimen
Karena gerilyawan Permesta yang menjaga Kema sudah terlanjur mundur ke arah Kauditan, maka pasukan KKo AL secara mudah dapat menguasai kota pelabuhan tersebut. Selanjutnya untuk mengejar pihak musuh, pada hari itu juga Kompi B di bawah pimpinan Kapten KKo S.Jetro bergerak ke Kauditan.
Di wilayah inilah, Kompi B mendapat perlawanan keras dari para gerilyawan Permesta yang langsung dipimpin oleh salah satu pejabat militer mereka yakni H.Ventje Sumual. Rupanya pihak permesta sangat mafhum bahwa jika KKo AL dibiarkan menguasai Kauditan maka itu hanya akan memuluskan gerakan mereka menuju Bitung dan Manado.
Pertempuran pun berlangsung secara hebat. Beberapa kali terjadi duel mortir yang seru di kedua pihak yang berakhir dengan terlukanya Sumual. Mengetahui pimpinannya lumpuh, pasukan Permesta menghindar ke arah Bitung sejak jam 12.00.
Usai Kauditan jatuh, wilayah itu diserahkan oleh Kompi B kepada Kompi C pimpinan Kapten KKo R.Soenarto. Kapten Soenarto sendiri bersama Kompi A pimpinan Kapten Gandhi Poerno kembali bergerak memburu para gerilyawan Permesta ke Bitung. Masih segar dalam kenangan Ali Mutaqiem, KKo AL melangkah menuju Bitung dalam suasana yang mencekam. Menurut Ali Mutaqim, sepanjang jalan mereka harus terus siap siaga dari incaran penembak runduk Permesta dan berbagai jebakan maut mereka.
“Waktu serasa panjang dan begitu melelahkan,” kenang prajurit marinir yang mengajukan pensiun dini pada 1972 itu.
Sesampai Bitung pada 17 Juni 1958, situasi sangatlah sepi. Alih-alih menemukan perlawanan, seluruh aktifitas di kota itu nyaris lumpuh. Rupanya tembakan-tembakan pendahuluan yang dilakukan dari atas kapal PR 208, PR 209 dan PR 210 menyebabkan nyali musuh menjadi ciut lalu melarikan diri sebelum bertemu pasukan KKo AL. Bitung pun dikuasai tanpa sebutir peluru pun keluar.
Manado Jatuh
Gerakan berikutnya pasukan KKo AL adalah merebut Airmadidi. Itu dilakukan pada 25 Juni 1958. Rombongan pasukan bergerak dalam lindungan pesawat tempur AURI dan tembakan Mo.81 KKo AL. Namun saat mencapai Kolongan Maumbi, tetiba serangan dilakukan para gerilyawan Permesta dan sempat membuat terhenyak para prajurit KKo AL. Setelah melalui pertempuran seru, pada pukul 12.00 kampung tersebut dapat dikuasai secara maksimal.
Sejam kemudian KKo AL mendapat perintah untuk menguasai Kairagi. Belum mencapai gerbang desa, pasukan sudah dihujani peluru dan tembakan mortir. Perlawanan di sini lebih kuat karena para gerilyawan Permesta telah mempersiapkan bunker-bunker serta pertahanan permanen. Di sekitar bukit-bukit yang mengelilingi Kairagi, telah ditempatkan senjata-senjata otomatis dan panser-panser wagon.
Praktis pasukan KKo AL hanya bisa bertahan di sebelah timur jembatan Kairagi dan harus rela mendapat siraman peluru yang terus berdesingan seolah tanpa mengenal kata henti. Untunglah berkat bantuan pesawat tempur dari AURI dan perubahan taktik pertempuran, setelah lebih empat jam, perlawanan di Kairagi dapat dilumpuhkan.
Baca juga: Misteri insiden Kwini
“Pasukan Permesta pimpinan Mayor John Ottay langsung kalangkabut dan menarik diri ke arah Lapangan Udara Mapanget,” tulis Mayor (L) Junaedi, Mayor (L) Moegiyono dan Sersan Satu Marinir M. Syafirudin dalam 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir.
Tak mau memberikan nafas kepada para gerilyawan, hari itu juga pasukan KKo AL bergerak cepat ke Manado. Entah karena nafas perlawanan pasukan Permesta sudah putus atau tengah mencoba taktik baru, tanpa dinyana, Manado sebagai pusat perlawanan ternyata ditinggalkan begitu saja oleh pihak gerilyawan. Maka pada 26 Juni 1958, tuntaslah misi KKo AL untuk menguasai Manado.
“Di sinilah kami baru bisa merayakan kemenangan dengan bakar ikan dan bakar kambing, “kenang Ali, yang terakhir pensiun sebagai kopral.
Sesudah Manado jatuh, Permesta menjalankan gerilya di front perbukitan sekitar Pineleng-Warembungan, sebelah selatan Manado.