Masuk Daftar
My Getplus

Murka, Afrika Boikot Piala Dunia

Ketidakadilan dalam alokasi jumlah kontenstan Piala Dunia 1966 picu kemarahan negara-negara Afrika.

Oleh: M.F. Mukthi | 09 Des 2022
Timnas Maroko usai mengalahkan Spanyol dalam Piala Dunia 2022 di Qatar. (fifa.com).

Fantastis. Kata tersebut mungkin tepat untuk melukiskan kiprah tim nasional Maroko di Piala Dunia 2022. Bukan hanya belum pernah kalah hingga kini, di fase grup pun Maroko berhasil menjadi pemuncak grup F.

Kehebatan Maroko belum habis di babak 16 besar. Tak tanggung-tanggung, di perdelapan final pada Selasa, 6 Desember, lalu tim berjuluk Singa Atlas itu mempecundangi Spanyol yang jadi salah satu favorit juara.

Kini, Maroko menjadi satu-satunya wakil Afrika yang tersisa dalam gelaran Piala Dunia di Qatar itu. Rekan sesama wakil Afrika-nya, Senegal, sudah keok dicukur Inggris tiga gol tanpa balas pada 4 Desember 2022.

Advertising
Advertising

Realitas Maroko sebagai satu-satunya wakil Afrika di Piala Dunia kali ini jelas berbeda dari ketika negeri itu mengikuti Piala Dunia Mexico 1970. Di Meksiko, jatah perwakilan Afrika memang hanya satu. Jatah itu pun didapat bukan dengan cuma-cuma, melainkan dengan perjuangan keras yang dibunyikan gongnya lewat boikot negara-negara Afrika yang tergabung dalam Confederation Africaine de Football (CAF) terhadap Piala Dunia 1966 di Inggris.

Baca juga: Singa Atlas Mengaum di Pentas Sepakbola

Boikot tersebut amat dipengaruhi realitas politik internasional dekade 1950-an dan 1960-an yang didominasi Perang Dingin dan perjuangan dekolonisasi di wilayah bangsa-bangsa terjajah. Dua dekade tersebut merupakan masa di mana bangsa-bangsa Afrika dan Asia –banyak yang baru merdeka– “on fire” dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membantu perjuangan kemerdekaan saudra-saudara mereka yang masih  terjajah. Solidaritas yang gaungnya pertamakali dibunyikan dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung itu diperjuangkan lewat berbagai sarana, termasuk olahraga.

Kwame Nkrumah, tokoh perjuangan nasionalis Ghana sekaligus penyebar utama gerakan Pan-Afrika dan menjadi satu dari lima penggagas Gerakan Non-Blok, juga memilih olahraga sebagai sarana untuk perjuangan kemerdekaan negerinya dan kemudian gagasan Pan-Afrika. Nkrumah terinspirasi dari yang dilakukan Nnamdi Azikiwe di Nigeria.

“Nkrumah dengan cepat mengidentifikasi sepakbola, sumber daya yang dapat membantu membangun persetujuan populis untuk agenda politik Partai Rakyat Konvensi (CPP)-nya dan mendapatkan dukungan untuk kampanye politiknya untuk kemerdekaan dan visi unitarisnya untuk Ghana,” tulis sosiolog sport Paul Darby dalam “Politics, Resistance and Patronage: The African Boycott of the 1966 World Cup and its Ramifications”, termuat dalam buku Moments, Metaphors, Memories: Defining Evens in the History of Soccer suntingan Kausik Bandyopadhyay dan Souvik Naha.

Baca juga: Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika

Mengenai pilihannya terhadap olahraga itu, Nkrumah punya alasan. “Olahraga tidak hanya dapat berkontribusi terhadap pengembangan persatuan dan pemahaman antara wilayah Ghana, mereka punya peran lain yang lebih penting untuk dimainkan di Afrika saat ini. Melalui kompetisi internasional dengan negara-negara Afrika lain, olahraga dapat memberikan dasar saling pengertian yang diperlukan yang dapat membantu realisasi cita-cita persatuan Afrika kita,” kata Nkrumah.

Nkrumah yang bergabung dengan partai United Gold Coast Convention (UGCC) dan kemudian dipercaya menjadi sekretaris jenderalnya sepulang dari Inggris pada 1947, getol memperjuangkan kemerdekaan Ghana dan Pan-Afrika. Sebuah konferensi guna mempromosikan gagasannya dia helat pada 1958, yang buah utamanya lahir pada 1963 dengan nama Organization of African Unity.

Melalui olahraga Nkrumah pula Nkrumah membangun fondasi perjuangan guna menyebarkan gagasannya akan perjuangan kemerdekaan nasional dan Pan-Afrika. Sepakbola dan olahraga-olahraga lain yang diperkenalkan kolonialis-kolonialis Barat di Afrika sebagai pengenalan terhadap norma-norma Barat yang superior, justru dijadikan wahana efektif untuk membangkitkan perlawanan terhadap kolonialisme dan mempromosikan aspirasi nasionalis.

Baca juga: Maroko dan Piala Dunia

Keseriusan Nkrumah itu dibuktikannya dengan membentuk badan pengatur sepakbola negerinya, Ghana Amateur Football Association (GAFA). Ketika sudah terlalu sibuk untuk mengurusinya, dia menunjuk Ohene Djan, orang kepercayaannya, untuk memimpin GAFA agar misinya tetap terjaga. Gagasan Pan-Afrika tetap dipertahankan untuk disebarkan lewat tim Black Stars yang kemudian dijadikan duta kampanye Pan Afrika dengan tur-turnya keliling Afrika hingga Eropa.

Selain lewat Black Stars, Nkrumah menginstruksikan kepada Djan untuk mendirikan tim sepakbola baru. Hasilnya, tim bernama Real Republicans Football Club –yang nama lainnya Osagyefo’s Own Club– lahir pada 1961. Dia juga membuat turnamen antarnegara Afrika bernama Kwame Nkrumah Gold Cup yang mulai digulirkan tahun 1960.

Namun, perjuangan dalam bidang sepakbola di Afrika menemui hambatan besar. FIFA yang dipegang rezim kolonialis pimpinan Presiden Stanley Rous terus mempertahankan dominasi Eropa. Aspirasi orang-orang Afrika dan Asia dengan demikian dikesampingkan kendati di dalam Komite Eksekutif FIFA ada Ohene Djan mulai tahun 1962 –yang membuat FIFA terbelah antara pendukung status quo dan pengurus progresif.

Dukungan Stanley Rous terhadap rezim Apartheid di Afrika Selatan (Afsel), yang kembali diterima masuk sebagai anggota FIFA pada 1963 –usai dikeluarkan pada 1961 akibat desakan CAF– makin membuat negara-negara CAF berang. Pada Oktober 1964, mereka pun mendesak FIFA menangguhkan keikutsertaan Afsel dalam kualifikasi Piala Dunia 1966 dan desakan itu berhasil.

Baca juga: FIFA Uncovered dan Tikus-Tikus Berdasi Pejabat Sepakbola

“Keterlibatan Rous dengan Konfederasi Africaine de Football (CAF) menggambarkan sifat dan keterbatasan gaya kepemimpinan orang Inggris dan ketidakefektifannya dalam menanggapi politik budaya Pan-Afrikanisme,” tulis Alan Tomlinson, penulis biografi Presiden FIFA Stanley Rous, dalam Sir Stanley Rous and the Growth of World Football: An Englishman Abroad.

Puncak kejengkelan negara-negara Afrika –dan juga Asia– terjadi pada 1964. Pada tahun tersebut, FIFA mengeluarkan aturan tidak adil soal jatah keikutsertaan dalam Piala Dunia 1966 di Inggris. Dua benua besar dengan penduduk terbanyak, Asia dan Afrika, justru mendapat jatah jauh lebih kecil dari Eropa yang berwilayah kecil dan berpenduduk lebih sedikit.

“Putaran final 16 tim akan memasukkan sepuluh tim dari Eropa, empat dari Amerika Latin, dan satu dari Amerika Tengah dan wilayah Karibia, hanya menyisakan satu tim untuk Afrika, Asia, dan Oseania, yang mewakili sebagian besar populasi dunia,” tulis Simiyu Njororai dalam “Centextualization of Africa’s Historic Boycott of the 1966 World Cup and Its Legacy”, dalam Sport and Protest in the Black Atlantic suntingan Brian M. McGowan dan Michael J Gennaro.

Alhasil, juara dari benua Afrika, Asia, dan Oceania mesti bertarung untuk memperebutkan satu tempat di Piala Dunia. Kondisi makin sulit karena jumlah negara Afrika –dan Asia– merdeka terus bertambah. Hal itu amat menjengkelkan negara-negara CAF dan Asia.

“Nkrumah tidak percaya pada cara FIFA menangani Afrika secara lebih luas. Itu curang,” kata Osei Kofi, yang menjadi salah satu andalan tim Black Stars ketika menjadi duta Pan-Afrika pada 1960-an, dikutip Tomlinson.

Baca juga: Mengucilkan Israel di Arena Olahraga (Bagian I)

Nkrumah dan para pemimpin Afrika –dan juga Asia– lain yang kecewa tidak mau tinggal diam. Mereka menuntut satu tempat langsung untuk Afrika di Piala Dunia. Ketika tuntutan itu tidak dikabulkan, sebuah gerakan perlawanan terhadap FIFA lalu digagas Nkrumah.  

“Gagasan boikot seluruh benua terhadap babak kualifikasi Piala Dunia 1966 diprakarsai dan diatur oleh nasionalis Ghana dan pan-Afrika terkemuka Kwame Nkrumah,” tulis Darby.

Ketika peluit wasit laga Inggris kontra Uruguay berbunyi di Wembley Stadium pada 11 Juli 1966, yang menandakan dimulainya Piala Dunia 1966, tak satupun negara Afrika ikut-serta dalam event akbar tersebut. Lebih dari 30 negara Afrika menolak ikut Piala Dunia 1966.

“Boikot tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang pada internasionalisasi permainan, administrasinya, serta alokasi slot Piala Dunia. Ini adalah langkah revolusioner yang belum pernah disaksikan dalam sejarah sepakbola dunia. Bagi konstituens Afrika, yang sebagian besar baru saja memperoleh kemerdekaan politik dari kekuatan kolonial Eropa, boikot FIFA hanyalah pertempuran lain dengan kekuatan yang sama. Salah satu konsekuensi langsung dari boikot itu adalah kepastian slot Afrika untuk salah satu dari mereka sendiri untuk mewakili benua itu di Piala Dunia 1970 di Meksiko. Oleh karena itu, turnamen itu menjadi sangat menarik bagi seluruh dunia karena ini adalah pertama kalinya tim Afrika mendapatkan tempat di kompetisi tersebut. FIFA menyisihkan satu tempat hanya untuk perwakilan dari wilayah CAF, yang berarti tim Afrika tidak harus bersaing dengan Asia, Oseania, atau Eropa seperti yang mereka lakukan di masa lalu,” tulis Simiyu Njororai.

Buah dari boikot itu adalah FIFA menghelat rapat membahas tuntutan negara-negara CAF. Hasilnya, Afrika diberi satu tempat langsung di Piala Dunia 1970. Dan, Maroko menjadi negeri pertama yang mewakili Afrika dalam peraturan baru tersebut.

Baca juga: Maroko dan Piala Dunia

“Menjadi yang pertama, itu adalah misi sulit untuk memenuhi tidak hanya harapan nasional, tetapi juga seluruh Afrika, dan memang untuk memverifikasi ke seluruh dunia bahwa tim Afrika cukup baik untuk bersaing di panggung dunia. Meskipun Maroko tidak lolos ke babak kedua, mereka memainkan sepakbola yang bagus dan menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa sepakbola Afrika harus dianggap serius. Performa tim bertahan untuk ujian dan meletakkan dasar untuk membangun tim Afrika di masa depan,” kata Simiyu.

TAG

sepakbola piala dunia maroko

ARTIKEL TERKAIT

Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Philippe Troussier si Dukun Putih Momentum Bayer Leverkusen Dua Kaki Andreas Brehme Petualangan Tim Kanguru Piala Asia Tanpa Israel Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Ingar-Bingar Boxing Day Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion