SESOSOK pemuda yang mengenakan guthra (penutup kepala khas Arab) itu terdiam sejenak di sebuah ruangan indoor berlatar hijau gelap. Ia menyeka air matanya saat menyinggung kontroversi momen penentuan terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 12 tahun silam. Kebahagiaan Hassan al-Thawadi, sosok yang dimaksud, sekretaris jenderal (sekjen) Komite Penyelenggara Qatar 2022, itu tapi menghadirkan kegetiran tersendiri.
“Saat terpilih, kami merasa senang. Tapi di satu sisi hal itu menimbulkan depresi tersendiri. Banyak yang mengecam. Bahkan konteksnya hampir seperti rasisme,” kata Al-Thawadi.
Al-Thawadi hanya satu dari sekira 40 narasumber yang dihadirkan sutradara Daniel Gordon dalam film dokumenter bertajuk FIFA Uncovered. Sajian miniseri yang terbagi dalam empat episode ini menyingkap tabir skandal-skandal korupsi yang melibatkan para tikus berdasi di markas FIFA.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Music scoring intens mengiringi sejumlah footage tentang penggerebekan 14 pengurus FIFA oleh FBI (Badan Investigasi Amerika) yang dibantu Kepolisian Swiss di Hotel Baur au Lac, Zurich, Swiss pada Mei 2015. Momen itu jadi pengawal kejatuhan sang “godfather” sepakbola, Presiden FIFA Joseph ‘Sepp’ Blatter.
Selain Al-Thawadi, beberapa tokoh berbicara sebagai narasumbernya. Antara lain David Conn (jurnalis The Guardian), Amanda Davies (CNN), Phaedra al-Majid (eks-media officer Qatar 2022) yang kemudian jadi whistleblower, Ricardo Teixeira (Exco FIFA 1994-2014), Mohammed bin Hammam (Exco FIFA 1996-2011/Presiden AFC 2002-2011), Gianni Infantino (eks-Sekjen UEFA 2009-2016), Jérôme Valcke (Sekjen FIFA 2007-2015), dan tentunya Sepp Blatter sendiri yang menjabat presiden hingga lima periode (1998-2015).
Gordon kemudian beringsut ke suguhan pertamanya dengan banyak klip dan foto lawas hitam-putih. Episode pertamanya ini adalah tentang pendahulu Blatter yang juga sangat berpengaruh dalam mengubah wajah FIFA, João Havelange.
Havelange naik jadi presiden FIFA pada 1974 menggantikan petahana nan konservatif, Sir Stanley Rous. Havelange sukses meraup banyak suara dari federasi-federasi sepakbola Afrika lantaran apolitis, mengungguli Rous yang mendukung sistem apartheid di Afrika Selatan.
Baca juga: Standar Ganda FIFA terhadap Israel dan Rusia?
Perlahan tapi pasti, Havelange membuat FIFA jadi lebih kapitalis. Badan sepakbola dunia yang sebelumnya bertata-kelola amatir dan tergolong berdompet tipis itu dalam waktu singkat dibuat jadi badan yang jadi magnet dalam menarik sponsor komersil. Coca-Cola dan Adidas mempelopori sponsor komersil itu, dan sosok yang banyak berjasa di balik itu adalah Blatter sang tangan kanan Havelange.
“Dia (Havelange) butuh bantuan dan FIFA tak punya uang. Jadi saya mendekati Coca Cola dan memberi presentasi tentang pengembangan dan kompetisi usia muda. Setelah Coca Cola, Adidas datang menawarkan menyediakan peralatannya. Berturut-turut datang lagi kerjasama dengan (maskapai) KLM, (manufaktur) Phillips, dalam empat tahun pertama masa jabatan Havelange,” kata Blatter.
Setelah menyajikan perubahan wujud FIFA jadi entitas mewah berikut upaya Blatter menjatuhkan Havelange di episode kedua, FIFA Uncovered menyuguhkan sejumlah intrik dan siasat Blatter setelah terpilih sebagai presiden FIFA untuk mempertahankan jabatannya di episode tiga dan empat. Yang terpenting, kontroversi skandal suap terkait terpilihnya Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018.
“Kami semua ternganga (dalam hasil penentuan tuan rumah Piala Dunia). Reaksi spontan saya, mereka melakukan penyuapan,” kata Kevin Payne, anggota Exco federasi sepakbola Amerika.
Baca juga: Kisah Coca-Cola di Bawah Panji Nazi
Yang tak kalah penting di episode ketiga dan keempat itu ialah sorotan pihak Qatar jelang pemilihan tuan rumah Piala Dunia. Skandal suapnya pertamakali diungkapkan Phaedra al-Majid, seorang whistleblower yang menjabat sebagai International Media Officer Qatar 2022. Ia membuka pembicaraan rahasia antara Al-Thawadi dengan tiga anggota Exco FIFA asal Afrika di sela Kongres CAF (Konfederasi Sepakbola Afrika) di Luanda, Angola pada Maret 2010. Ketiga exco itu adalah Issa Hayatou (Kamerun), Jacques Anouma (Pantai Gading), dan Amos Adamu (Nigeria).
“Saya diikutkan pada pembicaraan itu sebagai penerjemah karena saya bisa bahasa Prancis. Kami diundang di waktu berbeda oleh anggota exco (FIFA) yang berbeda pula. Hayatou, Anouma, dan Adamu. Hassan (Al-Thawadi) menawarkan 1 juta dolar tapi ketiganya meminta 1,5 juta dolar dan Hassan menyetujui. Sesimpel itu,” aku Al-Majid.
Informasi itu ia pendam sendiri lantaran diancam Al-Thawadi agar tak buka mulut. Namun, akhirnya Al-Majid “bernyanyi” ke media Inggris The Sunday Times pada Desember 2010. Tak ayal ia menerima banyak intimidasi dan ancaman.
Gordon dan timnya mengumpulkan sejumlah riset dari berita-berita media massa yang berkaitan dengan upaya Qatar menjadi tuan rumah. Fakta yang berhasil dikuaknya mulai dari dukungan emir Qatar pada Blatter dalam pemilihan presiden FIFA 2011, pertemuan Emir Qatar dengan Presiden Brasil Lula da Silva yang menghasilkan dibukanya rute Brasil-Argentina oleh maskapai Qatar Airways, hingga agenda makan bersama antara putra mahkota emir Qatar, Presiden Prancis Nicolas Sarközy, dan pesepakbola legendaris Prancis cum Presiden UEFA Michel Platini. Cuplikan berita kesepakatan jual-beli jet tempur Rafale dan pesawat komersil Airbus dari Prancis ke Qatar juga diselipkan. Tentu, semua dibantah Al-Thawadi dan Platini.
Baca juga: Si Kulit Bundar di Tanah Saudi
Dua episode terakhir FIFA Uncovered menyoroti dua tokoh penting CONCACAF (Konfederasi Sepakbola Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Karibia), Jack Warner asal Trinidad dan Tobago serta Chuck Blazer asal Amerika Serikat. Duet keduanya yang lihai dan sering merugikan pihak lain hingga keduanya akhirnya saling berseteru, dikuliti FIFA Uncovered.
Tentu akan lebih greget jika Anda menikmati sajian-sajian mendalam nan mengasyikkan FIFA Uncovered dengan menyaksikan langsung FIFA Uncovered di Netflix.
Warisan Korupsi yang Endemik
Selain sajiannya, FIFA Uncovered menarik karena dirilis pada 26 Oktober 2022 atau dua pekan menjelang Piala Dunia di Qatar (20 November-18 Desember 2022). Menurut produser Miles Coleman, hal itu bukan sepenuhnya disengaja. Mereka menunggu waktu yang tepat sampai semua riset timnya selama tiga tahun terakhir rampung sepenuhnya.
“Walau saya juga ingin mengingatkan para fans bahwa Piala Dunia digelar di Qatar bukan karena mereka abai tapi karena suara 14 orang (exco FIFA yang ditangkap). Ada banyak pembicaraan tentang boikot. Meski penting untuk diingat bahwa suka atau tidak, Piala Dunia tetap digulirkan. Anda mau menonton atau tidak, itu tidak akan berpengaruh besar buat mereka,” kata Coleman kepada Pro Soccer Wire, 11 November 2022.
Pengungkapan skandal korupsi FIFA 2015 lewat dokumenter tentu bukan hal baru. Suguhan yang nyaris serupa juga pernah ditampilkan lewat miniseri dokumenter bertajuk The Men Who Sold The World Cup (2021). Bedanya, FIFA Uncovered menyisipkan pendahuluan tentang pionir yang meninggalkan warisan korupsi terstruktur dan sistematis, yakni sosok Havelange. Toh memang faktanya korupsi menjadi penyakit endemik di tubuh FIFA sejak masa kepemimpinan Havelange.
“Karena kami tak menyangka hanya sedikit orang yang mengenal nama Havelange meski dia figur penting dalam sepakbola. Jika kita melihat relasi antara Blatter dan Havelange, kita bisa belajar banyak tentang ke mana arah FIFA hari ini,” imbuhnya.
Baca juga: Captains of Zaatari Meretas Mimpi dari Kamp Pengungsi
Havelange, sebagaimana digambarkan dalam episode pertama FIFA Uncovered, merupakan sosok yang revolusioner. Figur kelahiran Rio de Janeiro, Brasil pada 8 Mei 1916 itu merupakan mantan atlet renang yang pernah tampil di Olimpiade 1936 Berlin yang dihelat diktator Nazi Adolf Hitler.
Selepas jadi atlet, Havelange menjadi pebisnis sembari terus berkecimpung di dunia olahraga. Ia memulainya sebagai presiden federasi renang Brasil sekaligus anggota Komite Olimpiade Brasil pada 1958. Pada 1973 nama Havelange sudah malang-melintang sebagai wakil presiden Konfederasi Olahraga Brasil.
Tetapi ambisi Havelange belum terpuaskan sebelum ia merambah sepakbola. Tak tanggung-tanggung, ia tak mengincar kursi CBF (Federasi Sepakbola Brasil) namun langsung membidik kursi FIFA. Pengelolaannya FIFA yang sebelum 1974 masih amatir dianggapnya punya prospek cerah sebagai “ladang cuan”.
“Havelange sudah melihat masa depan. Dia tahu jika bisa menjadi presiden di satu-satunya federasi yang sudah menggelar turnamen tingkat dunia maka dia akan menikmati kekuasaan ekonomi yang besar,” kata marketer dan konsultan ekonomi olahraga, Patrick Nally, dikutip Vyv Simson dan Andrew Jennings dalam Dishonored Games: Corruption, Money & Greed at the Olympics.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade 1936
Negeri asalnya, Brasil, yang tim sepakbolanya sudah mapan di dunia tak disia-siakannya untuk dijadikan modal latarbelakang kampanyenya. Untuk itulah jelang pemilihan presiden FIFA 1974 Havelange acap minta ditemani Pelé kala melobi lebih dari 80 negara.
Nally, yang di kemudian hari dijuluki “Bapak Pemasaran Olahraga Modern”, turut dalam tim sukses kampanye Havelange. Berkat negosiasi Nally pula raksasa sportwear Jerman Barat, Adidas, mau bermain “dua kaki”. Adidas sebelumnya mendukung Rous. Tapi negosiasi Nally membuat petinggi Adidas, Horst Dassler, bersedia untuk juga menyokong Havelange dengan imbalan janji akan dijadikan salah satu mitra sponsor besar FIFA.
Kejelian Havelange adalah memanfaatkan celah politik yang tak disentuh Rous, yakni politik di Afrika. Rous terang-terangan menoleransi apartheid di Afrika Selatan. Sementara Havelange mengusung janji jika dia terpilih menjadi presiden, ia takkan pernah mengabulkan pengajuan FASA (federasi sepakbola Afrika Selatan) jadi anggota FIFA. Havelange juga menjanjikan program-program pengembangan sepakbola di segala penjuru Benua Afrika.
“Jika saya memimpin dan apartheid masih eksis, Afrika Selatan tidak akan pernah menjadi bagian dari FIFA,” tegas Havelange, dikutip Paul Darby dalam Africa, Football and FIFA: Politics, Colonialism and Resistance.
Baca juga: Rasisme Memuakkan Klub Israel dalam Forever Pure
Pertempuran Havelange kontra Rous adalah pertarungan kepentingan anggota federasi dari negara-negara dunia ketiga melawan negara-negara konservatif Anglo-Saxon. Tetapi tak perlu menjadi pakar matematika handal untuk mengetahui bagaimana hasilnya. Pada pemilihan presiden di Kongres FIFA 1974 di Frankfurt, Jerman Barat, Havelange yang mendapat dukungan kawasan Amerika Latin dan Afrika sukses meraup 62 suara dan Rous harus puas dengan 52 suara.
Dan seperti yang dijanjikan oleh Nally jika Havelange terpilih, Coca-Cola dan Adidas pun jadi sponsor utama pertama FIFA. Nelma Gusmão de Oliveira dalam Mega-Events, City and Power mencatat, kebetulan saat itu Blatter menjabat direktur manufaktur Longines S.A. dan direktur Adidas untuk FIFA. Pada 1975, Havelange meminta Blatter menjadi direktur teknik program pengembangan sepakbola di FIFA.
Sejak saat itu, wajah FIFA yang amatir berubah menjadi kapitalis. Dan demi melebarkan sayap finansialnya, FIFA keukeuh menggulirkan Piala Dunia 1978 di Argentina kendati negeri itu masih dilanda kekacauan politik rezim junta militer Jenderal Jorge Videla yang sarat penyiksaan dan eksekusi tanpa hukum terhadap siapapun yang berseberangan.
“Kediktatoran itu menjadi bencana buat Argentina. Masalah ekonomi masih menghantui tapi Piala Dunia tidak ditunda,” kata Exco AFA (federasi sepakbola Argentina) Daniel Ferreiro.
Baca juga: Penyebab Johan Cruyff Absen di Piala Dunia 1978
Piala Dunia tetap digulirkan di Argentina tanpa memedulikan kecaman internasional. Havelange dan Videla tutup mata menikmati simbiosis mutualisme. Videla gencar menggunakan sportwashing atau pencitraan negerinya lewat olahraga. Sementara Havelange menikmati aliran dana lewat kerjasama sponsor-sponsor Piala Dunia. Di Argentina 1978, sudah ada kesepakatan dengan enam sponsor besar untuk FIFA, termasuk Coca-Cola, Gillette, dan Seiko.
“Dari parade militer, Jenderal Videla menyematkan medali kepada Havelange saat upacara pembukaan di Stadion El Monumental, Buenos Aires. Hanya beberapa langkah dari Auschwitz-nya Argentina yang beroperasi dengan brutal. Beberapa mil dari situ, para tahanan dilemparkan hidup-hidup dari pesawat ke lautan. Sementara Presiden FIFA berujar di kamera televisi, ‘akhirnya dunia bisa melihat wajah Argentina yang sebenarnya’,” ungkap jurnalis Uruguay, Eduardo Galeano.
Di Piala Dunia 1982, Havelange disebutkan mulai langganan dikirimi amplop “jatah” dari perusahaan pemasaran olahraga, International Sport and Leisure (ISL) yang didirikan Horst Dassler. ISL mendekati Havelange dan Blatter yang sudah naik jadi sekjen untuk membeli hak tunggal untuk pemasaran Piala Dunia 1982 dan edisi-edisi berikutnya.
“Model usahanya simpel dan menguntungkan bagi ISL. Pembelian hak tunggal. Jadi kami tawarkan sejumlah uang ke FIFA untuk semua hak pemasaran mereka. Lalu sisanya terserah kami dan jelas kami menjualnya lebih mahal. Selama itu menghasilkan uang untuk FIFA, mereka senang walau mereka tak paham apa saja yang kami lakukan. Tapi mereka senang uangnya mengalir,” aku Dominik Schmid, mantan pejabat eksekutif ISL.
Baca juga: Manajer Timnas Menangkal Babi-Babi Suap
Selain aliran dana ke anggaran pendapatan FIFA, Havelange tetap menerima uang suap dari ISL setiap kali perpanjangan kerjasama. Hingga kolapsnya ISL pada 2001, Havelange dan Teixeira, menantunya cum Exco FIFA, tercatat menerima suap mencapai 41 juta franc Swiss.
“Kerajaan” FIFA dengan dana miliaran dolar dan presidennya yang hidup mewah bak kaisar rupanya juga diincar Blatter. Kesempatan Blatter menjatuhkan Havelange datang pada suatu hari ketika Blatter mencermati ada satu aliran uang ilegal sebesar 1,5 juta franc Swiss. Rupanya itu adalah kesalahan transfer oleh ISL yang mestinya dikirim ke rekening pribadi Havelange tapi malah dikirim ke rekening FIFA. Blatter langsung menyadari itu merupakan bukti sahih korupsi Havelange.
Blatter langsung bergerak dengan memanfaatkan Warner dan Blazer untuk menghimpun suara buat 30 voter anggota CONCACAF ditambah kedekatannya dengan negara-negara Afrika. Blatter lalu mengeluarkan jurus yang membuat Havelange mati kutu: bukti korupsi 1,5 juta franc Swiss dari ISL.
Alhasil Havelange yang masih ingin mempertahankan kekuasaannya pada Kongres FIFA dan pemilihan presiden pada 1998, memilih pamit ketimbang bukti-bukti itu dipublikasi sang murid yang berkhianat. Dengan berat hati ia urung mencalonkan diri lagi dan sebagai gantinya, mendukung penuh pencalonan Blatter di Kongres FIFA ke-55, 8-9 Juni 1998.
Di kongres itu, Blatter bertarung melawan Presiden UEFA Lennart Johansson. Meski Johansson didukung negara-negara Eropa, ia tetap gigit jari. Dengan intrik-intriknya, Blatter berhasil merebut 111 suara –sementara Johansson hanya 80 suara– dari 191 negara anggota FIFA.
Sejak itulah keuntungan finansial terus mengalir dan dinikmati Blatter tanpa bisa diketahui publik karena dibungkus dengan banyak program pengembangan sepakbola, terutama di negara-negara dunia ketiga.
Deskripsi Film
Judul: FIFA Uncovered | Sutradara: Daniel Gordon | Produser: Daniel Gordon, Miles Coleman, John Battsek | Produksi: Ventureland, Passion Pictures | Distributor: Netflix | Genre: Dokumenter | Durasi: 51-59 Menit Per Episode | Rilis: 26 Oktober 2022 (Netflix)