Standar Ganda FIFA terhadap Israel dan Rusia?
FIFA tak pernah mengganjar sanksi untuk Israel dengan alasan memisahkan olahraga dari politik. Beda cerita dengan Rusia.
DUNIA internasional ramai-ramai mengeroyok Rusia dengan sanksi gegara operasi militernya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Tak hanya badan-badan keuangan yang menyita aset-aset pejabat dan pengusaha Rusia, dua penguasa sepakbola, UEFA dan FIFA, juga mengganjar larangan bagi Rusia tampil di berbagai ajang internasional dan regional.
UEFA melarang Spartak Moskow melanjutkan kiprahnya di babak 16 besar Europa League, di mana mereka dijadwalkan melakoni laga home-away kontra RB Leipzig pada 11 Maret dan 17 Maret 2022. Adapun FIFA mencoret RFU (federasi sepakbola Rusia) dari laga playoff kualifikasi Piala Dunia 2022 yang akan dijalani Rusia pada 24 Maret 2022 berhadapan dengan Polandia.
RFU menganggap hukuman itu tidak adil. Terlebih, hukuman itu berhulu pada tekanan rival-rival Rusia yang kemungkinan akan bersua Rusia di babak berikutnya, yakni Polandia, Swedia, dan Republik Ceko. RFU lantas mengajukan banding atas putusan UEFA dan FIFA ke CAS (Pengadilan Arbitrasi Olahraga di Lausanne, Swiss) pada 3 Maret 2022.
“RFU akan menuntut pemulihan (status) tim nasional putra dan putri di semua turnamen sepakbola yang diikuti, sekaligus menuntut kompensasi… ‘menjauhkan politik dari olahraga’ adalah sesuatu yang dimiliki komunitas sepakbola selama bertahun-tahun dan dideklarasikan sebagai salah satu prinsip terpenting. Menolak (pengajuan) ini berarti menciptakan serangkaian preseden yang berbahaya,” demikian bunyi rilis pers RFU di laman resminya, 3 Maret 2022.
Baca juga: Prahara Rusia dan Ukraina di Kharkiv
Perjuangan RFU namun tidak sendiri. Di lini masa media sosial banjir cibiran kepada FIFA yang dianggap munafik, bias, dan menerapkan standar ganda. FIFA tak mengganjar hukuman serupa pada negara anggotanya yang juga terlibat konflik seperti Israel, misalnya.
Kapten timnas Rusia Artem Dzyuba berkomentar senada lewat akun Instagram-nya, @artem.dzyuba, pada 3 Maret 2022. Ia menyatakan bahwa ia menolak perang dan agresi terhadap kemanusiaan. Meski begitu bukan berarti ia dan rekan-rekan setimnya mesti dikorbankan gegara standar ganda otoritas sepakbola.
“Saya menolak perang. Saya menolak agresi dan kebencian yang terjadi setiap hari. Saya menolak diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan. Saya tidak malu jadi orang Rusia, saya bangga. Dan saya tidak paham kenapa para atlet juga harus menderita. Saya menolak standar ganda. Kenapa semua orang berteriak tentang (prinsip) menjauhkan politik dari olahraga tapi ketika yang terlibat Rusia, prinsip ini dilupakan?” ungkap bomber Zenit St. Petersburg tersebut.
Baca juga: Jejak Nazi di Ukraina
Sebelumnya, legenda hidup sepakbola Mesir Mohamed Aboutrika juga melantangkan isu serupa. Striker timnas Mesir periode 2001-2013 itu heran mengapa FIFA dan UEFA juga tak bersikap keras terhadap Israel yang sejak 1948 meneror populasi sipil Palestina.
“Keputusan memberi sanksi klub-klub Rusia dan timnas-timnasnya dari semua kompetisi mestinya juga dikeluarkan bersamaan dengan sanksi terhadap Israel yang telah membunuh anak-anak dan perempuan di Palestina selama bertahun-tahun. Kalian (FIFA) menggunakan standar ganda,” ujar Aboutrika, dikutip Palestine Chronicle, 1 Maret 2022.
Jika Aboutrika dan Dzyuba protes melalui kata-kata, beberapa pesepakbola lain memprotes dengan tindakan. Aykut Demir, kapten klub Erzurumspor, salah satunya. Tidak seperti rekan-rekannya, Demir menolak mengenakan kaos bertuliskan “Savaşa Hayir No War” (artinya: “Katakan tidak untuk perang”) jelang kick-off di sebuah laga Liga Turki.
“Ribuan orang meninggal setiap hari di Timur Tengah. Saya juga merasa sedih. Saya berbagi rasa sakit orang-orang yang tak berdosa. Mereka yang mengabaikan persekusi melakukan (solidaritas) ini ketika terjadi di Eropa. Saya tidak mau mengenakannya karena kaos itu tidak dibuat untuk negara-negara (Timur Tengah) itu,” kata Demir berdalih, disitat Mirror, 1 Maret 2022.
Laku itu setali tiga uang dengan yang dilakukan Mohammed Rashid, pemain Persib berpaspor Palestina. Jelang kick-off kontra Persija pada 1 Maret 2022, Rashid menolak berfoto bersama rekan-rekan setimnya yang membentangkan spanduk “Stop War” sebagai simpati untuk perang Rusia-Ukraina.
“Beberapa orang mengira saya tidak berfoto karena setuju dengan apa yang terjadi di Ukraina. Jelas tidak. Nabi Muhammad mengatakan tidak ada perbedaan orang Arab dan non-Arab dan tidak juga antara orang berkulit hitam dan putih kecuali dengan ketakwaannya! Tetapi mengapa ketika kita melakukan hal yang sama untuk Palestina, itu menjadi ilegal dan berkata mencampuradukkan sepakbola dengan politik? Mengapa standar ganda? Ini sangat tidak adil!” papar Rashid di akun Instagram-nya, @moerashid95.
Zonder Sanksi untuk Israel
Selain PBB, badan global yang acap disasar oleh negara berdaulat demi menunjukkan eksistensinya adalah FIFA. Federasi sepakbola Palestina (PFA) baru diakui sebagai anggota FIFA pada 1998, jauh setelah IFA (induk sepakbola Israel) masuk jadi anggota FIFA sejak 1929 atau 21 tahun sebelum berdirinya negara zionis Israel.
“Pada 1929 Eretz Israel Football Association di dalam Mandatory Palestine dimasukkan jadi anggota FIFA sebagai Palestinian Football Association. Karena FIFA hanya mengakui satu negara, PFA diharuskan melibatkan tim-tim Yahudi dan Arab. (Lalu) tim-tim Arab mundur dan mendirikan General Palestinian Sports Association pada 1934. Tetapi dibubarkan setelah kerusuhan pada 1936. Tim-tim Arab bergabung ke asosiasi Yahudi pada 1941 tetapi berpisah lagi pada 1943. Ketika negara Israel memerdekakan diri, asosiasi resminya berganti nama jadi Israel Football Association,” tulis Nick J. Watson, Grant Jarvie, dan Andrew Parker dalam Sport, Physical Education, and Social Justice.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Mulanya FIFA mengakomodir Israel dengan memasukkannya ke zona Eropa untuk kualifikasi Piala Dunia 1950. Namun Israel acap jadi bulan-bulanan tim-tim Eropa. Nasibnya serupa ketika menjalani kualifikasi Piala Dunia 1954.
“Israel meretas jalan ke (Piala Dunia 1950) Brasil lewat jalur Eropa. Mereka bertanding melawan Yugoslavia. Dalam dua pertandingan kandang-tandang Israel dihajar 6-0 dan 5-2. Pada (kualifikasi) Piala Dunia 1954 Israel tergabung dalam Grup 10 (sekali lagi) dengan Yugoslavia dan Yunani. Israel selalu kalah. Pada (kualifikasi) Piala Dunia 1958 FIFA merombak sistem kualifikasi. Israel menempuh laga kualifikasi melawan tim-tim Asia dan Afrika. Israel tentu berharap nasib lebih baik. Sayangnya justru di sinilah Israel memulai takdir buruknya,” tulis Owen A. McBall dalam Football Villains.
IFA lalu bergabung dengan AFC (Konfederasi Sepakbola Asia) pada 1954. Bersamanya, timnas Israel mengikuti setiap kualifikasi Piala Dunia di zona Asia hingga 1974. Lantaran tekanan politik, terutama dari negara-negara Arab, timnas Israel kesulitan mendapat lawan gegara serangkaian boikot. Terlebih pada 1950-an, Israel yang merampas wilayah Palestina sedang jadi sasaran kebencian negara-negara Timur Tengah plus Indonesia yang berdiri di barisan para pembela Palestina. Maka timnas Israel menemui jalan terjal pada kualifikasi Piala Dunia 1958 yang dimainkan dengan sistem gugur home-away antara tim zona Asia dan Afrika.
“Berdasarkan hasil undian, Israel menghadapi Turki. (Tetapi) solidaritas Turki untuk rakyat Palestina membuat Turki mundur. Israel melaju ke putaran berikutnya tanpa keringat. Di putaran kedua (Grup 1) Israel bertemu Indonesia, Mesir, dan Sudan. Lagi-lagi di babak ini tak ada satu pertandingan pun dilakoni Israel,” imbuh McBall.
Presiden Sukarno yang sedang getol-getolnya membela Palestina dalam rangka menentang neokolonialisme, tak berkenan Indonesia bermain di tanah Zionis. PSSI sempat minta FIFA agar partai Indonesia kontra Israel digelar di tempat netral, namun ditolak FIFA. PSSI pun resmi mengundurkan diri. Pun dengan Mesir dan Sudan.
“Indonesia, Mesir, dan Sudan sama-sama mundur dari semua pertandingan melawan Israel dengan alasan politis. Israel pun melenggang menuju spot playoff tanpa sekalipun menendang bola. Tetapi hal ini tidak dibenarkan dalam aturan FIFA karena hanya juara bertahan dan tuan rumah yang boleh otomatis masuk ke putaran final, jadi Israel diharuskan bermain melawan tim terbaik Eropa yang tidak lolos kualifikasi,” ungkap Wray Vamplew dalam Games People Played: A Global History of Sports.
FIFA kemudian menentukan Israel menghadapi Belgia, runner-up Grup 2 Zona Eropa. Akan tetapi Belgia juga menolak untuk berlaga dengan alasan yang tak diungkapkan.
Israel akhirnya coba dihadapkan kontra Wales, runner-up Grup 4 Zona Eropa. Wales bersedia untuk memainkan laga tandang-kandang kontra “The Blue and Whites” (julukan timnas Israel). Di tangan Waleslah Yosef Goldstein dkk. keok di partai kandang maupun tandang dengan skor sama, 2-0. Israel tetap gagal merumput di Piala Dunia.
Sejak 1958, tak satupun anggota AFC yang sudi satu lapangan dengan Israel di kualifikasi Piala Dunia. Akibatnya jalan menuju Piala Dunia 1962, 1966, dan 1970 ditempuh Israel dengan melawan tim-tim Eropa, bahkan Afrika. Kendati demikian, Israel berusaha terus mendapatkan hati negara-negara Asia.
“Israel mencoba bertahan menjadi bagian dari Asia dengan aktif ikut Piala Asia, mulai dari penyelenggaraan pertamanya pada 1956 di Hong Kong. Pada Piala Asia 1964 Israel bahkan bertindak sebagai tuan rumah. Namun bersamaan dengan itu, Israel terus menjadi duri dalam daging bagi perkembangan sepakbola Asia. Keberadaan Israel membuat tim-tim Arab bermalas-malasan. Menjadi runyam lagi ketika Israel secara tidak langsung jadi salah satu faktor mundurnya Republik Rakyat Cina (RRC) dari keanggotaan FIFA,” sambung McBall.
RRC mundur gegara tuntutannya agar Taiwan didepak dari AFC ditolak FIFA. Taiwan ‘ogah’ angkat kaki dari AFC jika Israel tidak sama-sama diusir. Aliansi politik politik pun dimulai, RRC dan negara-negara Arab berupaya menyingkirkan Taiwan dan Israel.
Perkara itu mengakibatkan timbulnya ketegangan antara AFC dengan FIFA. Pada kongres 1974, AFC memutuskan untuk mendepak Israel dan Taiwan dari Zona Asia. FIFA yang berang lalu mengancam memberi sanksi walau kemudian urung dilayangkan Presiden FIFA yang baru, João Havelange. AFC memperteguh pendiriannya atas putusannya itu pada kongres 1977.
“Hubungan antara FIFA dan AFC tetap tegang. Pada kongres FIFA 1978 isu ini diserahkan kepada komite ekekutif, untuk kemudian memutuskan untuk tetap mengakui RRC sebagai anggota sekaligus memaksa Taiwan mengubah nama timnasnya menjadi China Taipei. Sedangkan Israel dipindahkan untuk bermain di negara-negara Oseania,” tulis Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football: The Role of the Asian Football Confederation.
Baca juga: Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah
Mulai 1974, Israel yang secara geografis lebih dekat dengan Eropa “diasingkan” ke Zona Oseania, bersamaan pula dengan Taiwan alias China Taipei. Keduanya terpaksa berkelana ke belahan bumi lain hanya demi eksis dalam sepakbola. Toh tetap saja nasib Israel tak lebih baik. Raihan terbaiknya hanya mencapai play-off kualifikasi Piala Dunia 1990 dan keok oleh Kolombia.
Israel baru diakomodir kembali oleh FIFA untuk dimasukkan jadi anggota UEFA pada 1992, yang bertahan hingga kini. Baik UEFA maupun FIFA tetap tutup mata terhadap konflik berkepanjangan Israel-Palestina. Di dalamnya, termasuk kasus saat Israel melarang pemain-pemain Arab tampil di Tepi Barat, Palestina, yang mendorong Palestina memprotes FIFA agar menjatuhkan sanksi pada Israel pada 2014 dan 2017.
“Saya memisahkan politik dari olahraga. Saya tidak tahu dengan alasan apa kongres FIFA harus bertindak terhadap IFA, jika mereka (berlaku) sesuai statuta dan regulasi FIFA. Sejauh ini kami tak melihat adanya pelanggaran. Siapa yang bisa menindak satu pihak yang menjadi anggota FIFA yang baik?” tutur Presiden FIFA Sepp Blatter, dikutip Times of Israel, 28 Mei 2014.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar