Jejak Nazi di Ukraina
Rusia melancarkan agresi dengan dalih denazifikasi Ukraina. Benarkah ada Nazi di Ukraina?
KOTA-kota besar strategis Ukraina terus diguncang prahara agresi Rusia sejak 24 Februari 2022. Kharkiv, Mariupol, Berdyansk, Kherson, dan bahkan ibukota Kyiv jadi target serangan Kremlin yang dalih awalnya akan membebaskan Luhansk dan Donetsk. Presiden Rusia Vladimir Putin memberi lampu hijau pada mesin-mesin perangnya dengan alasan untuk melakoni demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina dari rezim sayap kanan pengikut neo-Nazi dan “Banderites”.
“Banderites dan neo-Nazi mengumpulkan senjata-senjata berat, termasuk MLRS (Sistem Peluncur Roket Ganda), tepat di distrik pusat kota-kota besar, termasuk Kiev dan Kharkov. Ini sebenarnya mereka berlaku dengan cara yang sama dengan tindakan-tindakan teroris di seluruh dunia –menggunakan manusia sebagai tameng,” kata Putin, dikutip Kementerian Luar Negeri Rusia via akun Twitter-nya, @mfa_russia, 26 Februari 2022.
“Banderites” merupakan istilah neo-Nazi yang dipakai Kremlin sejak era Uni Soviet. Istilah tersebut merujuk pada tokoh fasis di era Perang Dunia II, Stepan Bandera. Tokoh perlawanan yang pernah berkolaborasi dengan Jerman Nazi untuk melawan Soviet dan di kemudian hari justru berontak pada Nazi itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional Ukraina oleh Presiden Ukraina Viktor Yushchenko pada 2010. Namun, setahun berselang status itu dicabut lagi atas desakan Polandia, Rusia, dan Uni Eropa karena Bandera dianggap terlibat dalam holocaust di Ukraina dan Polandia.
Baca juga: Serba-serbi Chernobyl yang Diserang Rusia
Di sisi lain, sejumlah sejarawan melihat tuduhan Putin itu tak berdasar. Kelompok sayap kanan memang tetap eksis di Ukraina, tapi pengaruhnya tak sebesar di Eropa Barat atau Amerika Serikat.
“Dan sekarang kita lihat (Rusia) melakukan itu setiap kali orang Ukraina berusaha mendirikan sebuah masyarakat yang demokratis, mereka mengatakan bahwa orang-orang Ukraina itu adalah Nazi. Anda harus membunuh karakter humanis sebelum Anda membunuh mereka dan itulah yang terjadi sekarang,” kata Profesor José Casanova dari Georgetown University, dikutip National Public Radio, Selasa (1/3/2022).
Baca juga: Prahara Kharkiv di Ukraina
Sementara, Profesor Laura Jockusch dari Brandeis University Massachusetts, menilai bahasa “denazifikasi” dan “genosida” yang disebutkan Putin sebagai pembenaran kala militernya masuk ke Luhansk dan Donetsk demi membebaskan etnis Rusia, merupakan penyalahgunaan sejarah. Tidak ada pembersihan etnis Rusia yang dilakukan pemerintah Ukraina, katanya.
“Putin selalu mengulang mitos ‘genosida’ ini selama beberapa tahun terakhir dan tidak ada pihak di Barat yang mendengarkannya hingga saat ini. Tidak ada ‘genosida’, atau bahkan ‘pembersihan etnis’ di Ukraina. Itu hanya fiksi yang digunakan Putin sebagai pembenaran agresinya di Ukraina,” cetus Jockusch.
Pemerintah Ukraina justru menilai bahwa Putinlah yang berlaku laiknya pentolan Nazi Jerman, Adolf Hitler. Lewat akun Twitter resminya @Ukraine pada 24 Februari 2022, otoritas Ukraina menyematkan ilustrasi sosok Hitler tengah menatap mesra pada mata Putin dengan caption: “Ini bukanlah ‘meme’, tetapi realitas kami dan kalian saat ini.”
Lebih jauh, ucapan Putin dianggap lebih tak berdasar karena Presiden Ukraina saat ini, Volodymyr Zelenskyy, merupakan orang Yahudi dan menjadi orang Yahudi pertama yang menjabat presiden. Bahkan di masa Perang Dunia II, Semyon Zelenskyy, kakek dari presiden Ukraina kehilangan tiga adik akibat holocaust.
“Dia (kakek) selamat dari Perang Dunia II dengan berkontribusi untuk kemenangan atas Naziisme dan ideologi kebencian. Dua tahun pascaperang, putranya lahir. Dan cucunya lahir 31 tahun berselang. Empat puluh tahun kemudian cucunya menjadi presiden,” kata Zelenskyy dalam pidatonya di 75 tahun peringatan pembebasan Kamp Konsentrasi Auschwitz pada Januari 2020.
Baca juga: Dari Ukraina untuk Indonesia
Para Kolaborator Nazi di “Galicia”
Jauh sebelum pasukan baja Jerman mulai merangsek pada 1941, Republik Soviet Ukraina sudah dirambah kelompok ultranasionalis sayap kanan OUN atau Organisasi Nasionalis Ukraina sejak 1929. Kala Jerman mulai menginvasi Polandia pada 1939, dua pentolan OUN, Andriy Melnyk dan Stepan Bandera, jadi kaki tangan Abwehr atau Dinas Intelijen Militer Jerman.
Aktivitas mata-mata untuk Jerman sejak itu dijalankan OUN, terutama di wilayah timur Polandia sesudah Polandia terbagi dua antara area kekuasaan Jerman dan Uni Soviet lewat Pakta Molotov-Ribbentrop (1939-1941). Pada 1940, terjadi dualisme karena Melnyk dan Bandera “bercerai” kendati keduanya masih dimanfaatkan Abwehr. Melnyk dengan UON-M tetap dengan aktivitas mata-mata, sementara Bandera dengan UON-B yang lebih radikal diarahkan untuk membentuk pasukan “Legiun Ukraina”. Pasukan berkekuatan 800 personil ini terbentuk pada musim semi 1941, terdiri dari Batalyon Nachtigall dan Batalyon Roland.
“Battalion Ukrainische Gruppe Nachtigall bersama Battalion Ukrainische Gruppe Roland adalah subunit di unit operasi khusus Lehrregiment ‘Brandenburg’ yang dibentuk pada 25 Februari 1941 yang dipimpin kepala Abwehr (laksamana) Wilhelm Canaris. Pasukannya terdiri dari para sukarelawan Ukraina yang beroperasi di bawah perintah kepala UON Stephan Bandera,” ungkap Peter Abbot dalam Ukrainian Armies: 1914-55.
Baca juga: Swastika, Lambang Mulia yang Dicemari Nazi
Sebelum diterjunkan ke medan perang, dua batalyon itu dilatih di Neuhammer dengan diawasi sejumlah perwira Abwehr. Hauptmann (kapten) Roman Shukhevych merupakan perwira lokal dengan pangkat tertinggi. Dia ditemani komandan Jerman, Oberleutnant Dr. Hans-Albrecht Herzner.
Ketika Hitler merobek-robek Pakta Molotov-Ribbentrop pada 22 Juni 1941 dengan melancarkan Operasi Barbarossa untuk menghantam Uni Soviet, dua batalyon itu turut mengiringi divisi-divisi lapis baja Jerman merebut Lviv hingga Vinnytsia. Merasa pasukannya berjasa, Bandera memproklamasikan negara Ukraina merdeka di Lviv.
Namun sial, gerakan Bandera itu tak direstui Jerman yang memilih mendirikan pemerintahan boneka lewat Reichskommissariat Ukraine (RKU) yang dikomando Menteri Pendudukan Wilayah Timur Alfred Rosenberg. RKU kemudian menunjuk Erich Koch sebagai reichkomissar, semacam gubernur distrik.
Blunder Bandera lantas berujung pada penangkapannya oleh Gestapo. Namun ketika Jerman mulai terdesak Soviet pada 1943, Bandera dibebaskan. Sedangkan nasib Yon Roland dan Yon Nachtigall suram. Kedua unit lalu direorganisasi ke dalam Batalyon Polisi Schutzmannschaft 201 di Belarusia. Beberapa anggotanya kemudian desersi untuk masuk Tentara Pemberontak Ukraina (UPA) dan sisanya lantas direkrut ke dalam pasukan Schutzstaffel (SS).
Baca juga: Goresan Sejarah Tato Nazi
RKU kemudian bertanggungjawab atas holocaust berskala besar yang terjadi di seantero Ukraina hingga 1944. Menilik catatan Paul Robert Magocsi dalam A History of Ukraine, pendudukan Ukraina berujung pada pembantaian sekira 1,6 juta Yahudi, serta tiga hingga empat juta untermeschen (ras inferior lain). Angka itu di luar 5,2 juta warga sipil Ukraina yang tewas karena penyakit, kelaparan, dan musim dingin yang membekukan.
Dalam operasinya, RKU didukung kolaborator lokal, terutama sejumlah personil Hilfspolizei Ukraina. Salah satu tokoh Ukraina yang “terpaksa” berkolaborasi dengan RKU adalah Volodymyr Kubijovyč. Pakar geografi, demografi cum politisi blasteran Polandia-Ukraina itu sejak lama memang jadi simpatisan gerakan nasionalis yang ingin memerdekakan diri dari Soviet di bawah UCC (Komite Sentral Ukraina) yang berbasis di Kraków.
Namun meski bekerja untuk Nazi, Kubijovyč seringkali memanfaatkan koneksinya untuk sebisanya menyelamatkan warga, terutama anak-anak Ukraina dari kelaparan. Dalam beberapa kesempatan ia bahkan memanfaatkannya untuk menyelamatkan ribuan Yahudi.
“Kubijovyč bertanggungjawab untuk pelayanan-pelayanan sosial, edukasi, dan aktivitas ekonomi. Komitenya berusaha merelokasi 30 ribu anak-anak dari bencana banjir dan kelaparan di Transcarpathia (Ukraina Barat). Pada 1943 komitenya mengoperasikan 1.366 dapur umum untuk memberi makan 100 ribu orang. Saat Jerman membunuh petani-petani Ukraina di Zamość yang dituduh membantu pemberontak, Kubijovyč protes untuk menghentikan pembantaian. Beberapa sumber juga menyebutkan ia sempat menyelamatkan 300 Yahudi dari persekusi Nazi,” tulis Myroslav Yurkevich dalam “Galician Ukrainians in German Military Formations and Administration” yang termaktub dalam buku Ukraine During World War II: History and its Aftermath.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Kubijovyč lantas mendorong pembentukan satu divisi prajurit Ukraina di unit SS. Ia mendukung gagasan Gubernur Distrik Galicia Dr. Otto von Wächter. Gagasan itu ditolak bos SS, Reichsführer Heinrich Himmler, karena menganggap bangsa Slavia ras yang inferior. Tetapi situasi perang yang mulai berbalik pada 1943 membuat Himmler menelan ludahnya sendiri. Ia bersedia membentuk divisi itu walau dengan “syarat dan ketentuan berlaku”.
Gagasan Dr. Wächter dan Kubijovyč akhirnya terealisasi pada 28 April 1943. Proses rekrutmennya baru bergulir dua bulan berselang. Perekrutannya yang ditujukan kepada para pemuda Ukraina, para prajurit bekas Yon Roland dan Yon Nachtigall, lebih dengan paksaan ketimbang sukarela. Mereka kemudian dilatih unit khusus SS-Ausbildungs-Battalion.
Kesatuan militer baru yang kini berada di bawah naungan SS itu dinamai 14. Waffen-Grenadier-Division der SS “Galizische” atau pasukan Sukarelawan SS “Galicia” ke-14. Penamaan “Galicia” merupakan syarat yang ditetapkan Himmler untuk menghindari penamaan “Ukraina”. Ada dua alasan di baliknya. Pertama, untuk memastikan pasukan ini dikontrol ketat oleh Jerman. Kedua, agar penamaannya lebih berbau bangsa Arya sekaligus untuk menekankan warisan Kerajaan Galicia dan Lodomeria di abad ke-18 yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Austria-Hungaria.
Setelah dilatih dan dibentuk, terkumpullah sekira 82 ribu personil pilihan. Semua komandannya dipegang perwira Jerman, termasuk panglima divisinya yang dipegang Brigadeführer (setara brigjen) Fritz Freitag dan kepala stafnya Hauptsturmführer Wolf Dietriech Heike.
“Divisi (Galicia) itu mulai melihat aksi pertempuran pada pertengahan Februari 1944 untuk menghadapi partisan-partisan Soviet dan Polandia. Divisi itu beroperasi di wilayah Zamość dan Brody bersama elemen Resimen Ke-4 dan Resimen Ke-5 yang tergabung dalam SS Kampfgruppe Beyersdorff,” ungkap Michel O. Logusz dalam Galicia Division: The Waffen-SS 14th Grenadier Division, 1943-1945.
Baca juga: Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
Hingga 1945, Divisi Galicia beberapakali diterjunkan ke sejumlah front timur untuk mengadang ofensif Tentara Merah. Dimulai dari Brody dan Koltiv pada Juli 1944, Slovakia pada September 1944, hingga mundur ke Styria dan Carinthia di perbatasan Austria-Slovenia pada Januari 1945. Pada 17 Maret 1945, semua sisa personil Divisi Galicia jadi tulang punggung pembentukan UNA atau Tentara Nasional Ukraina pimpinan Jenderal Pavlo Shandruk. UNA kemudian dilikuidasi usai menyerahkan diri ke pasukan Sekutu pada 10 Mei 1945.
Kala diinternir di Rimini, Italia, mereka sempat akan dideportasi ke Uni Soviet. Namun, rencana itu gagal karena Jenderal Shandruk minta bantuan Polandia agar para anak buahnya tak dipulangkan ke Uni Soviet. Permintaan itu lantas didukung Gereja Katolik Yunani yang kemudian mengajukan ke Paus Pius XII. Alasannya, mereka dianggap penganut Katolik yang baik dan para prajurit antikomunis.
“Berkat intervensi Vatikan, otoritas Inggris mengubah status anggota divisi dari tawanan perang menjadi personil musuh yang menyerah. Sekitar 176 prajuritnya kemudian bergabung ke AD Polandia. Sejumlah personil lainnya bermigrasi ke Kanada dan Inggris pada 1947,” tulis Howard Margolian dalam Unauthorized Entry: The Truth about Nazi War Criminals in Canada, 1946-1956.
Di akhir perang, kiprah divisi itu tak luput dari penyelidikan kejahatan perang. Divisi Galicia kemudian dinyatakan tak terbukti ikut melakoni pembantaian dan genosida. Yang kemudian acap melancarkan pembantaian adalah UPA, sayap paramiliter UON-B yang anti-Jerman, anti-Polandia, dan antikomunis yang berdiri pada 14 Oktober 1942. Mayoritas anggotanya (60 persen) adalah petani, sementara 20-25 persen buruh, dan 15 persen pelajar serta eks-pegawai kantoran.
Di masa puncaknya, UPA sampai memiliki 200 ribu personil. Organisasinya pun lebih terstruktur. Seluruhnya dipimpin kombatan Ukraina: Oleksander Stepchuk, Ivan Klimchak, dan Nikon Semeniuk yang mengatur UPA-Utara (Volhynia, Polissia), UPA-Barat (Halychyna, Bukovyna, Zakarpattia, Zakerzonia), UPA-Selatan (Khmelnytskyi, Zhytomyr), dan UPA-Timur (Kyiv dan Chernihiv).
Slogan mereka, “Slava Ukrayini!” (jayalah Ukraina), masih kerap dipekikkan militer Ukraina sampai saat ini. UPA memilih emblem dan panji merah-hitam sebagai simbol darah merah orang Ukraina dan hitamnya tanah Ukraina, berbeda dari SS Divisi Galicia yang menyematkan emblem kuning-biru.
Baca juga: Pembantaian Nazi di Mława hingga Benteng Modlin
UPA awalnya berkolaborasi dengan Abwehr Jerman untuk suplai senjata. Selain untuk melakukan raid-raid skala kecil terhadap Tentara Merah, UPA juga menggunakannya untuk menggulirkan pembantaian berskala besar terhadap populasi Polandia di Volhynia pada Februari 1943, hingga Kowel, Horochów, dan Włodzimierz Wolyński pada Januari 1944.
“Populasi desa dibakar hidup-hidup. Para pastur Katolik Roma dipenggal atau disalib. Gereja-gereja dibakar dengan para jamaah di dalamnya. Sejumlah pertanian terpencil juga acap diserang. Pemiliknya digorok. Para perempuan hamil dibayonet,” tulis sejarawan Norman Davies dalam Europe at War 1939-1945: No Simple Victory.
Jumlah korban pembantaian UPA dilaporkan mencapai 100 ribu jiwa meski pembantaian itu baru dinyatakan sebagai pembersihan etnis oleh parlemen Polandia pada 2016. Usai Perang Dunia II, UPA tetap melawan rezim Soviet dengan sejumlah aksi teror hingga “petualangan” mereka diakhiri Soviet pada 1953.
Seiring kemerdekaan Ukraina pada 1990, para tokoh Divisi Galicia dan UPA diakui sebagai pahlawan nasional. Status itu kemudian dicabut atas desakan Polandia, Rusia, dan Uni Eropa pada 2011.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar