Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
Ribuan sukarelawan Arab Muslim angkat senjata di bawah panji Nazi. Dikompori semangat mengenyahkan musuh bersama: kolonialis Inggris dan Yahudi.
“MUSUH dari musuhku adalah temanku.” Ungkapan politis tersebut cocok untuk menilai eratnya hubungan Adolf Hitler dengan kalangan dunia Arab di Perang Dunia II. Baik Der Führer dan Amin al-Husseini, wakil dunia Arab, punya musuh bersama: Sekutu dan Yahudi.
Al-Husseini tak lain adalah Mufti Besar Yerusalem yang sempat memimpin Pemberontakan Arab di Palestina, 1936-1939. Meski disokong dana oleh bos fasis Italia Benito Mussolini, pemberontakan itu kandas. Al-Husseini lari ke Eropa hingga kemudian bersua Hitler di Berlin pada 28 November 1941.
Dalam pertemuannya, Hitler menjanjikan sokongan penuh kepada Al-Husseini untuk jadi pemimpin dunia Arab, mulai dana, senjata, hingga pembentukan askar (laskar) alias prajurit muslim di bawah panji Nazi. Dalam gejolak Perang Dunia II, salah satu unit ternama hasil dari janji Hitler pada Al-Husseini itu adalah Divisi Gunung ke-13 “Handschar” di bawah naungan Waffen-SS (Pasukan Schutzstaffel).
Baca juga: Nazi Muslim
Sejatinya, beberapa bulan sebelum keduanya bertatap muka, sudah ada ratusan askar muslim Nazi yang dibentuk untuk mendukung kudeta yang ditukangi Rashid Ali al-Gaylani terhadap Kerajaan Irak yang pro-Sekutu (Inggris). Gaylani dibantu Fawzi al-Qawuqji, veteran flamboyan Perang Dunia I pemilik medali Iron Cross kelas II asal Suriah.
Mengutip Robert Lyman dalam Iraq 1941: The Battles for Basra, Habbaniya, Fallujah and Baghdad, Hitler mengirim bantuan militer berlandaskan Weisung Nr. 30 atau semacam surat perintah Hitler nomor 30 tertanggal 23 Mei 1941, berupa dibentuknya Sonderstab F (Staf Khusus F). “Pergerakan kemerdekaan Arab di Timur Tengah adalah sekutu alami kita melawan Inggris,” demikian potongan pernyataan Hitler dalam surat tersebut.
Sonderstab F berada di bawah perwira Luftwaffe (AU Jerman) General der Flieger (jenderal penerbang) Hellmuth Felmy yang bermarkas di Yunani. Komandan lapangannya adalah Mayor Udara Axel von Blomberg.
Al-Husseini juga bergerak di luar lingkar militer sebagai pengusung propaganda melawan Sekutu. Disebarkannya isu di kalangan muslim Suriah dan Irak bahwa Mussolini seorang penganut Islam keturunan Mesir bernama Musa Nilli, dan Hitler dirumorkan menjadi mualaf dan mengambil nama Hayder yang artinya pemberani.
Namun meski Al-Husseini juga terjun ke medan perang sebagai pendongkrak moril, koalisi Arab Merdeka dibantu Jerman dan Italia itu dilibas Inggris pada 31 Mei 1941. Baik Rashid Ali, Al-Qawuqji, dan Al-Husseini kabur ke Eropa via Persia (kini Iran), Turki, Italia, hingga Berlin. Sementara Sonderstab F mengalihkan konsentrasinya ke Afrika Utara untuk membantu pasukan korps Afrika pimpinan Jenderal Erwin Rommel.
Terbit dan Tenggelam
Sebelum bersua di akhir November 1941, Al-Husseini dan Hitler sudah berkorespondensi via surat-menyurat. Sebelum Perang Anglo-Irak (2-31 Mei 1941), pada medio Februari 1941 Al-Husseini mendeklarasikan kerjasama Jerman-Arab. Sebagai kelanjutannya, ia juga membantu Sonderstab F yang akan memperkuat Afrika Korps-nya Rommel.
Sebagaimana dinukil N. Hidayat dalam Legiun Muslim Hitler, Al-Husseini dan Rashid Ali menggunakan pengaruhnya untuk perekrutan para pelajar Arab. Di bawah naungan Sonderstab F mereka dilatih di Yunani untuk kemudian membentuk unit Deutsch-Arabische Infanterie Battalion 845 pada Juli 1941. Para askar inilah pionir pasukan Muslim di bawah panji Nazi.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
“Batalyon itu dilatih di Sounio, Yunani karena alasan iklimnya yang sama dengan iklim Timur Tengah. Selama tahap awal pelatihan, para instruktur Jerman (yang kebanyakan eks diplomat di dunia Arab dan veteran Perang Dunia I di barisan Asienkorps) melatih mereka bahasa Jerman dan pengenalan senjata,” tulis Hidayat.
Batalyon itu, lanjut Hidayat, kemudian bertransformasi menjadi Sonderverband 288 yang jumlahnya 150 prajurit. Medio Januari 1942, mereka dikirim ke Benghazi sebagai salah satu pasukan perbantuan untuk Afrika Korps di bawah Rommel. Pada Agustus 1942, ditambah lagi dengan unit Sonderverband 287 berkekuatan 133 prajurit.
Di antara pasukan Rommel yang juga terdiri dari divisi asal Italia, unit pasukan Arab itu lantas dikenal sebagai legion “Freies Arabien”, dengan emblem bendera hijau-putih-merah di lengan kanannya. Kelak pada Mei 1943, keduanya digabungkan menjadi Resimen Panzergrenadier Afrika.
Baca juga: PM Israel: Pemimpin Muslim Palestina Ada di Balik Holocaust, Bukan Hitler
“Selama pertempuran di Garis Gazala, Sonderverband 288 dan 287 mendukung Divisi (lapis baja ke-132) Ariete Italia menghadapi pasukan Prancis yang mempertahankan Bir Hakeim di ujung selatan garis pertahanan Sekutu. Namun kesempatan mereka memenuhi ambisi Al-Husseini untuk jadi pasukan pelopor pembebasan bangsa Arab tidak pernah tercapai,” imbuhnya.
“Setelah kekalahan Jerman di El Alamein pada November 1942, Sonderverband 288 mundur bersama sisa-sisa pasukan Afrika Korps. Kekalahan itu bukan hanya menghilangkan ancaman Jerman di Timur Tengah namun juga melenyapkan kesempatan Husseini berparade kemenangan di Yerusalem dan menarik lebih banyak pengikutnya bergabung ke pihak Poros (Jerman-Italia-Jepang),” lanjut Hidayat.
Kedua unit itu kemudian ditarik mundur hingga ke Italia dan Yunani dan kemudian terpencar antara front barat dan front Balkan. Husseini mengais izin lagi pada Hitler untuk membentuk pasukan baru sebagai penyambung Legiun Arab Merdeka dan menetap di Afrika Utara, tepatnya di Tunisia, di mana sisa-sisa wilayah pasukan Poros masih dipertahankan.
Kali ini perekrutannya bukan dari kalangan terpelajar, melainkan para penduduk dan veteran Prancis Vichy. Mengutip Nino Oktorino dalam Legiun Arya Kehormatan, Hitler menyetujuinya dan kemudian dibentuk formasi Kommando Deutsch-Arabischer Truppen (Kodat). Kekuatannya sekitar 3.000 personil, terdiri dari dua batalyon Arab Tunisia, satu batalyon Aljazair, dan satu batalyon Arab Maroko. Tugasnya mengawasi pantai antara Tanjung Bon dan kota Susa.
Baca juga: Kawanan Serigala Nazi Berburu Mangsa
“Mereka kemudian digabungkan ke dalam Divisi Panzer ‘Hermann Göring’ dan berpartisipasi dalam pertempuran terakhir antara pasukan Poros dan Sekutu di Afrika Utara. Pada 10 Mei 1943, para prajurit terakhir dari batalyon Arab itu menyerah kepada pasukan Amerika,” ungkap Nino.
“Dua hari kemudian, Resimen Panzergrenadier Afrika menyerah di Enfidaville, Tunisia. Dengan demikian tahun 1943 itu mengakhiri semua tujuan politis formasi-formasi sukarelawan Arab yang awalnya merupakan dasar dari pembentukan mereka,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar