WALAU sudah dipastikan juara Serie A musim 2020/2021 sejak 2 Mei lalu, yang menghapus dahaga gelar Liga Italia selama 11 tahun, Inter Milan tetap tancap gas melakoni empat partai sisa. Tampil di rumah sendiri, Stadio Giuseppe Meazza, skuad besutan Antonio Conte itu menolak bermain santai kala menjamu Sampdoria pada giornata ke-35, Sabtu (8/5/2021).
Sebelum kick off, Sampdoria melakoni guard of honor sebagai bentuk penghormatan pada Inter yang kini total sudah mengoleksi 19 titel scudetto. Namun penghormatan itu tak membuat Inter tampil lembek. Dalam dua kali 45 menit, Sampdoria dihajar Inter 5-1.
Massimo Moratti, bos Inter periode 1995-2013, turut merasakan euforia tersebut. Harapannya kepada Conte untuk membawa Inter tak berpuas diri amat besar. Inter diharapkannya terus terobsesi pada gelar yang lebih prestisius dari yang dicapai semasa kepelatihan José Mourinho di 2010 dengan treble winners-nya atau bahkan era La Grande Inter (1960-1967) di masa Inter dipimpin ayahnya, Angelo Moratti.
“Conte seorang yang gigih, tahan banting. Ia mampu mencapai tujuannya, melindungi dan membentuk tim juara. Tim yang penuh karakter dan mampu memberi kejutan. Bagi saya dia pelatih yang luar biasa,” puji Moratti, dilansir Corriere dello Sport, 5 Mei 2021.
Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110
Sanjungan senada terhadap Conte dilontarkan Angelo Domenghini (1964-1969), bintang Inter yang jadi bagian Grande Inter.
“Inter sangat pantas scudetto. Mereka tim terkuat dan paling kompetitif. Bisa dilihat dari hasilnya dan bagaimana tim dipersiapkan, terutama kekuatan pertahanan. Publik memang menganggapnya (Conte) masih terikat dengan Juve. Tetapi dia juga pernah menang bersama Chelsea. Memang lain era lain permainan sepakbola. Grande Inter juga tim terkuat dengan Juve dan AC Milan sebagai pesaingnya. Musim ini Inter mengalahkan semuanya,” ungkap Domenghini kepada Bergamo News, 5 Mei 2021.
Kedisiplinan dan aspek psikologis jadi pegangan penting Conte sebagaimana Helenio Herrera sang pelaith Grande Inter. Para pemain tak dibiarkan punya gaya hidup bebas. Ketegasan Conte dan Herrera mampu menundukkan ego para pemainnya untuk mau menjalani diet ketat dan pelatihan berat.
Baca juga: Parma Bangkit dari Kubur
Conte selalu memperhatikan aspek psikologis dan memotivasi pemainnya sembari terus mengolah taktik sejak sukses bersama Juventus (2011-2014) dan Chelsea (2016-2018). Baginya, seorang pelatih hanya bisa punya prestasi manis di era sepakbola modern jika mampu mengombinasikan semua.
“Anda harus punya kemampuan bagus dalam taktik, motivasi, psikologi, serta memenej klub dan media. Anda harus serba-bisa dan Anda hanya akan berhasil jika terus mau belajar,” cetus Conte, disitat ESPN, 8 April 2016.
Era Emas di Tangan Il Mago
Sebagaimana Conte, Helenio Herrera juga merupakan pelatih berprestasi cemerlang sampai dijuluki Il Mago (si penyihir). Pria kelahiran Buenos Aires, Argentina pada 10 April 1910 tapi berpaspor Prancis itu direkrut bos Inter Angelo Moratti pada 1960 dari Barcelona. Tugas membangkitkan Inter dari kubur. Pasalnya sejak Moratti memegang tampuk kepemimpinan pada 1955, tak sekalipun Inter merengkuh titel.
“Psikologi dalam sepakbola adalah subyek yang sulit dipahami secara konklusif. Bagi pertandingan antara dua tim kuat, pemenangnya biasanya ditentukan oleh siapa yang mampu menguasai aspek pikiran dan psikologi. Banyak pelatih yang mencoba menanamkan mental juara dan satu contoh pelatih yang kondang atas hasil dari pembentukan attitude dan psikologi adalah Helenio Herrera,” tulis David Hartrick dalam 50 Teams That Mattered.
Herrera jelas butuh waktu mengubah Inter jadi tim juara hanya bermodalkan aspek psikologi. Tiga tahun pertamanya gagal total hingga nyaris dipecat Moratti lantaran keukeuh menerapkan strategi ofensif sebagaimana kebiasaannya saat menukangi Barça serta Timnas Spanyol.
Baca juga: Fernando Signorini yang Setia Dampingi Maradona
Di tahun, ketiga Herrera menyontek sistem Verrou atau Catenaccio, sistem pertahanan gerendel, yang diperkenalkan pelatih Swiss Karl Rappan. Sistem itu lalu dia sempurnakan dengan formasi 5-3-2. Herrera menyempurnakannya dengan memindahkan satu pemain gelandang ke posisi sweeper (libero) di belakang empat bek agar kemudian dua bek sayap bisa bergerak bebas membantu serangan balik.
“Adalah Armando Picchi yang kemudian menjadi libero terbaik dunia di bawah pelatih Prancis-Argentina itu, sementara Giacinto Fachetti bisa mencetak banyak gol bersumber dari sistem ini. Herrera juga membawa Luis Suárez dari Barcelona untuk jadi jenderal lapangan tengah dengan visi fantastis, sedangkan tornante (sayap kanan) Jair da Costa yang jadi andalan dengan kecepatannya siap menerima setiap asupan umpan dari Suárez,” tulis pengamat sepakbola Sam Tighe dalam ulasannya yang dimuat Bleacher Report, 16 April 2013.
Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina
Pasukan Herrera tentu bukan hanya bertulangpunggungkan tiga pemain di atas. Grande Inter punya “gladiator” tangguh Tarcisio Burgnich, Artistide Guarneri, Carlo Tagnin, Sandro Mazzola, Mario Corso, dan kiper Giuliano Sarti.
“Di belakang Picchi ada kiper Giuliano Sarti yang tangguh di tim Grande. Burgnich dan Guarneri bek berkarakter yang berbagi visi Herrera sebagai gerendel di jantung pertahanan. Tagnin dan Gianfranco Bedin penting sebagai bertahan. Mazzola di kanan depan jadi simbol Inter yang mencetak banyak gol indah. Corso di kiri depan juga pemain jenius dengan kaki kirinya yang andal dalam tendangan bebas dan umpan matang,” sambung Hartrick.
Saat bertahan, Herrera bisa mengarahkan lima sampai tujuh pemain melindungi gawang. Tetapi saat menyerang balik secara vertikal, dua bek sayapnya diperintahkan secara sigap untuk membantu serangan balik. Alhasil pemain seperti Fachetti yang berposisi sebagai bek sayap bisa punya koleksi gol sampai 59 buah di sepanjang 476 penampilannya berseragam La Beneamata (1960-1978).
“Saat menyerang balik, para pemain paham apa yang saya inginkan: sepakbola vertikal dengan kecepatan tinggi, dengan tidak lebih dari tiga passing untuk mencapai kotak penalti lawan. Tak mengapa jika Anda kehilangan bola saat bermain vertikal –tetapi jika kehilangan bola dalam permainan lateral (menyamping) Anda akan membayarnya dengan (kecolongan) gol,” ujar Herrera dikutip Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: The History of Soccer Tactics.
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
Tetapi transformasi Inter itu takkan berjalan tanpa aspek kedisiplinan. Herrera amat keras soal kedisiplinan.
“Herrera menciptakan kultur di mana setiap keberadaan pemainnya dimonitor dan diukur. Para pemain diharapkan rela mati di lapangan demi tim dan jika tidak siap-siap, ditendang dari klub. Para pemain Inter punya diet yang terkontrol, rutinitas latihan yang keras. Menjadikan timnya sangat disiplin walau tak jarang juga menimbulkan ketegangan antara Herrera dan beberapa pemainnya, di mana salah satunya Picchi,” tambahnya.
Dari aspek psikologis, Herrera mencekoki pasukannya setiap kali hendak latihan dan bertanding. Salah satunya dengan cara memasang spanduk bertuliskan “Kelas+Persiapan, Fisik Atletis+Kecerdasan=Scudetto” di kamar ganti tim.
Soal psikis, Herrera tak hanya memperhatikan pemain. Eksistensi pendukung dianggapnya jadi suntikan moril bagi timnya. Oleh karenanya dia memberi perhatian pada fans.
“Dinamika psikologi Herrera juga kemudian mengarahkannya pada pentingnya peran pendukung. Ia mendesak Moratti membentuk dan membiayai kelompok-kelompok Interisti untuk bisa mendukung tim di laga tandang, baik di (liga) Italia maupun Eropa. Tindakan yang kemudian melahirkan banyak kelompok ultras,” kata David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football.
Hasil racikan Herrera pun berbuah manis. Tiga kali Inter dibawanya merebut scudetto (1962-1063, 1964-1965, 1965-1966), dua kali juara Liga Champions (1963-1964, 1964-1965), dan dua kali memboyong trofi Intercontinental Cup (1964, 1965).
Baca juga: AS Roma Menggebrak Eropa