QATAR sudah bersolek untuk menggelar Piala Dunia 2022. Piala Dunia ke-22 ini akan jadi Piala Dunia terakhir dengan 32 peserta lantaran Piala Dunia 2026 di Amerika Serikat-Meksiko-Kanada akan diikuti 48 tim yang akan mentas di delapan venue di lima kota.
Yang menarik, salah satu stadion di Qatar dibangun dari ratusan material recycle perkapalan dan bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan. ‘Istād 974 alias Stadium 974 di Ras Abu Aboud, Doha, Qatar, venue yang dimaksud, dinamakan “Stadium 974” lantaran dibangun dari 974 material daur ulang bekas peti kemas. Stadium 974 juga menjadi venue sementara pertama dalam sejarah Piala Dunia –ia akan dibongkar usai event.
Stadium 974 dirancang sejak 2017 oleh para arsitek dari firma Fenwick Iribarren Architects dengan konsep desain modular dan rampung medio November 2021. Ke-974 peti kemas bersertifikasi standar itu didudukkan pada rangka-rangka baja yang mudah dibongkar-pasang.
“Desain modular yang cerdas dari stadionnya membuatnya hanya menggunakan sedikit material bangunan normal dan itu membuat biaya pembangunannya semakin hemat,” tulis laman FIFA.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Bentuk stadionnya mainstream: persegi panjang dengan tambahan bentuk lengkung penyambung di setiap sudutnya. Atapnya dibangun dari rangka baja dan serat karbon. Tribunnya dibuat dua tingkat dan bisa menampung 40 ribu penonton.
Selain mendapat sertifikasi FIFA, Stadium 974 juga mendapat rating bintang lima dan sertifikasi kategori A dari Global Sustainability Assessment System (GSAS) pada September 2022.
“Keberlanjutan menjadi titik fokus utama kami dengan Stadium 974. Mendapat sertifikasi top GSAS menjadi konfirmasi bagi upaya kami mengedepankan konsep desain stadion yang baru dan berkelanjutan. Stadium 974 juga menjadi contoh yang membanggakan bagi warisan yang ingin kami tinggalkan dari Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia,” kata Ghanim al-Kuwari, deputi dirjen Supreme Committee for Delivery and Legacy Qatar, dilansir Arab News, 1 September 2022.
Stadium 974 dijadwalkan akan jadi venue bagi tujuh partai Piala Dunia. Enam di antaranya laga-laga penyisihan grup (Grup C, D, G, dan H) dalam kurun 22 November-2 Desember 2022, serta satu partai di babak perdelapan final atau 16 besar yang akan mempertemukan juara Grup G kontra runner-up Grup H pada 5 Desember 2022. Setelahnya, Stadium 974 direncanakan akan langsung dibongkar meski tak tertutup kemungkinan bisa dipasang lagi sesuai kebutuhan di masa depan.
Stadium 974 menjadi sejarah baru kembali di Piala Dunia. Sepanjangnya sejarahnya sejak 1930, Piala Dunia acap menghadirkan sejarah ikonik dalam berbagai hal. Stadion termasuk di dalamnya. Berikut empat stadion lain dalam gelaran Piala Dunia yang tak kalah ikonik:
Estadio Pocitos
Distrik Pocitos di Montevideo ibukota Uruguay sudah lama dikenal sebagai lingkungan permukiman asri kelas menengah-atas. Di situ pulalah “titik nol” sejarah Piala Dunia dimulai pada 1930, tepatnya di Jalan Coronel Alegre yang menjadi tempat tetenger setinggi satu meter-an sebagai penanda lokasi bekas satu stadion bersejarah.
“Saya sering melihat beberapa pelancong datang dan mengambil foto,” kata María del Rosario Franchello, pemilik rumah di simpang Jalan Charrúa dan Silvestre Blanco yang dulunya jadi bagian dari stadion, kepada El País, 30 Juni 2018.
Yang dimaksud adalah Estadio Pocitos. Ia jadi salah satu venue Piala Dunia 1930 sekaligus stadion yang jadi tempat terciptanya gol pertama Piala Dunia. Stadionnya dibangun pada 1921 oleh pemilik klub CA Peñarol yang menjadikannya markas kedua setelah Estadio José Pedro Damiani pada 1921.
Menjelang inaugurasi Piala Dunia 1930, Uruguay sebagai tuan rumah menyiapkan tiga venue di ibukota Montevideo: Estadio Gran Parque Central yang merupakan kandang Club Nacional, Estadio Pocitos milik Peñarol; dan satu stadion anyar nan megah yang bakal jadi kebanggaan masyarakat Uruguay jelang satu abad kemerdekaannya, Estadio Centenario.
Baca juga: Preambul Piala Dunia Pertama Amburadul
Kedua stadion pertama tergolong kecil lantaran tanpa trek atletik yang belum lazim di Uruguay kala itu. Terlebih Estadio Pocitos yang hanya punya kapasitas 1.000 penonton itupun mayoritas masih tribun berdiri. Jauh berbeda dari Estadio Gran Parque Central yang punya kapasitas 20 ribu penonton dan Estadio Centenario yang dirancang bisa menampung 90 ribu.
Sial, pembangunan Estadio Centenario yang digadang-gadang bakal jadi venue laga pembuka dan final justru molor penyelesaiannya. Pemancangan tiang perdananya saja baru dimulai enam bulan jelang jadwal laga perdana, 13 Juli 1930. Proyek karya arsitek Juan Antonio Scasso itu juga terganggu curah hujan tinggi pada musim dingin.
“Paman saya berkisah bahwa dia dan para rekannya berbekal jas hujan, menyelesaikan beton tribun dengan obor dan kipas besar agar cepat kering. Hujan turun tanpa henti dan tekanan kepada pekerjanya sangat intens dan meningkat setiap harinya,” tulis wartawan senior Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World.
Alhasil, dua partai pembuka Piala Dunia pada 13 Juli 1930 mesti diungsikan. Laga Grup 4 antara Amerika Serikat kontra Belgia dihelat di Estadio Gran Parque Central, Sedangkan partai Prancis kontra Meksiko dipindahkan ke Estadio Pocitos. Kedua laga pembuka di itu sama-sama kickoff pada pukul 3 petang waktu setempat.
Baca juga: Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian I)
Laga Amerika kontra Belgia hanya dihadiri 18 ribu penonton meski kapasitas Estadio Gran Parque Central bisa menampung 20 ribu. Sebaliknya, laga Prancis kontra Meksiko di Estadio Pocitos disesaki lebih dari 4 ribu penonton, atau empat kali lipat dari kapasitas maksimal stadion. Kerumunan penonton pun sampai mendekati garis lapangan saking antusiasnya warga Montevideo.
Di sanalah Estadio Pocitos menjadi stadion bersejarah lantaran di menit ke-19 laga, pemain Prancis Lucien Laurent mencetak gol perdana ke gawang kiper Meksiko Juan Carreño Lara. Meski laga digulirkan pada waktu yang sama, gol pembuka di Estadio Gran Parque Central baru terjadi de menit ke-23 lewat pemain Amerika Bartholomew McGhee.
Estadio Pocitos namun hanya kebagian satu laga lagi di Piala Dunia, yakni laga Grup 3 antara Rumania melawan Peru. Sisa semua laga lain dimainkan di Estadio Gran Parque Central dan Estadio Centenario.
Setelah kemudian sempat dijadikan markas tim Peñarol hingga 1933, Estadio Pocitos dijual dan oleh pemerintah kota dirobohkan pada medio 1940. Lokasinya dijadikan proyek Jalan Doctor Francisco Soca, Taman José Batlle y Ordóñez, dan permukiman kelas menengah-atas. Penanda lokasi bekas Estadio Pocitos baru dibangun pada 2006 oleh Museum Sepakbola Uruguay pasca- empat tahun riset arsitek Héctor Enrique Benech berhasil menentukan titik Lucien Laurent saat mencetak gol perdana Piala Dunia.
Estadio Maracanã
Jika Brasil menjadi kiblat sepakbola dunia, maka Estádio do Maracanã atau Stadion Maracana (kini Estádio Jornalista Mário Filho) adalah kuilnya. Stadion yang terletak dekat Sungai Maracanã di kota Rio de Janeiro itu dibangun khusus sebagai stadion utama Piala Dunia 1950.
Maracanã dibangun pemerintah Brasil di sisi barat Distrik Jacarepaguá. Lokasinya merupakan bekas sebuah stadion tenis. Pembangunan itu berangkat dari sayembara untuk desain dan konstruksinya yang dihelat pemerintah kota Rio de Janeiro tiga tahun jelang perhelatan Piala Dunia. Dari sekian desain yang masuk, desain karya tim berisi arsitek Michael Feldman dan kawan-kawan memenangkan sayembara di samping perusahaan kontraktor yang dipimpin Insinyur Humberto Menesca.
Paulo Fontes dan Bernardo Buarque de Hollanda dalam The Country of Football: Politics, Popular Culture, and the Beautiful Game in Brazil mencatat, para arsitek dan kontraktor itu merancang stadion megah berbentuk oval dengan atap beton. Alhasil Maracanã mencatatkan diri sebagai stadion pertama venue Piala Dunia yang beratap meski tidak full menaungi setiap tribunnya dari teriknya matahari atau rintik hujan.
“Stadionnya dirancang serba megah sebagai cerminan upaya kolosal membangun negeri yang modern dengan sebuah bangunan monumental. Stadionnya dibangun oleh 10 ribu pekerja di lahan seluas 190 ribu meter persegi dan dibangun dengan 500 ribu sak semen, 10 ribu ton balok besi, 650 ribu meter persegi kayu, dan 80 ribu meter kubik beton. Stadion yang diklaim sebagai stadion terhebat dunia pada masa itu dan meski kapasitasnya 150 ribu penonton tapi masih sanggup jika mesti menampung 200 ribu,” ungkap Fontes dan De Hollanda.
Baca juga: Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu
Pembangunannya dimulai pada 1948, memakan waktu satu tahun 10 bulan. Saat diresmikan pada 16 Juni 1950 dengan menggelar laga eksebisi antara Rio de Janiero All-Stars kontra São Paulo All-Stars, tribun utamanya belum 100 persen rampung dan masih disesaki tiang-tiang penyangga. Saat peresmian stadionnya juga masih kekurangan faslitas toilet dan tribun pers.
Namun saat laga pembuka Piala Dunia pada 24 Juni 1950 antara tuan rumah Brasil kontra Meksiko, pembangunannya sudah rampung sepenuhnya dan semua tiang penyangga pembangunan sudah dihilangkan. FIFA kemudian mengizinkan Maracanã hanya diisi 80 ribu penonton, bukan 150 ribu seperti klaim penyelenggara.
Maracanã mendapat kehormatan menghelat delapan partai, termasuk partai pamungkas pada 16 Juli 1950 antara tuan rumah Brasil kontra Uruguay. Di turnamen yang formatnya masih round-robin itu Brasil sedianya hanya butuh hasil imbang untuk juara.
“Walikota Rio (de Janiro) dalam pidato sebelum pertandingan malah sudah menyanjung tim (Brasil) sebagai juara dunia,” tulis Joseph L. Arbena dan David G. La France dalam Sport in Latin America and Caribbean.
Baca juga: Kiper Brasil Dilaknat hingga Akhir Hayat
Namun sial bagi tuan rumah. Di laga pamungkas itu pula terjadi “Bencana Maracanãzo” gegara Brasil keok 1-2 dari Uruguay. Kiper Brasil, Moacir Barbossa, bahkan sampai dikutuk segenap rakyat Brasil hingga kariernya tamat.
“Saat berjalan menuju lapangan (untuk menyerahkan trofi), saya merasakan keheningan luar biasa. Tidak ada pengawal kehormatan, tidak ada lagu kebangsaan. Hanya saya sendiri,” kata Presiden FIFA Jules Rimet dalam bukunya, The Wonderful Story of World Cup.
Kendati begitu, Maracanã sebagai stadion kebanggaan publik Negeri Samba tetap bertahan. Pada 1966, nama Maracanã diubah menjadi Estádio Jornalista Mário Filho untuk menghormati dan mengenang akvitis dan jurnalis Mário Rodrigues Filho yang mendukung pembangunan stadionnya di kala proyeknya diterpa badai kritik. Tiga kali Maracanã direnovasi, yakni pada 2000, 2006, dan 2013 jelang Piala Dunia 2014 yang juga dihelat lagi di Brasil. Estádio Jornalista Mário Filho hingga kini langganan jadi markas timnas Brasil serta dua klub sekota, CR Flamengo dan Fluminense FC.
Pontiac Silverdome
Walau di tanahnya sepakbola kalah populer dari American Football, basket NBA, dan bisbol, Amerika Serikat bisa berbangga diri pernah menggelar Piala Dunia 1994. Kelak pada 2026 “Negeri Paman Sam” itu bakal kembali jadi tuan rumah bersama dua negara tetangganya, Kanada dan Meksiko.
Di Piala Dunia 1994, Amerika menyediakan sembilan stadion di sembilan kotanya dari pesisir timur hingga barat yang membentang lebih dari 5000 kilometer. Akibatnya banyak peserta yang mengeluhkan jarak tempuh dari satu laga ke laga lain maupun kondisi iklim berbeda jauh dari satu venue ke venue lainnya.
Satu stadion unik tapi juga sering dikeluhkan adalah Pontiac Silverdome di kota Detroit, Michigan. Stadion ini mencatatkan diri jadi venue pertama Piala Dunia yang arenanya indoor.
Baca juga: Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian II – Habis)
Pontiac Silverdome eksis atas gagasan eks atlet dan veteran Marinir Amerika, C. Don Davidson, sejak 1960-an. Gagasannya didukung para arsitek dan insinyur teknik sipil University of Detroit, serta pemilik klub NFL (Liga American Football) Detriot Lions William Clay Ford. Stadion itu pada dasarnya dibangun untuk menjadi stadion bisbol dan American Football, lebih tepatnya kandang Detroit Tigers dan Detriot Lions. Desainnya dirancang firma arsitektur O’Dell, Hewlett & Luckenbach. Mereka merancang konsep stadion berbentuk segi delapan yang beratap kubah guna menyiasati cuaca kota Detroit yang sering berubah-ubah.
“Atap stadionnya fiberglass yang didukung sistem udara panas. Mulanya dinamai Pontiac Metropolitan Stadium tapi dewan kota memberi nama baru stadion berkapasitas 80 ribu kursi itu ‘Pontiac Silverdome’,” tulis suratkabar The Argus-Press edisi 28 Oktober 1976.
Sebanyak 102 kursi dari total kapasitasnya (80.638 kursi) adalah suite pribadi yang mewah. Dengan ongkos 55,7 juta dolar Amerika, Pontiac Silverdome yang dibangun mulai 19 September 1973 sudah rampung dua tahun berselang untuk digunakan tim NFL Detroit Lions dan tim bisbol Detroit Tigers.
Saat dimasukkan sebagai salah satu venue Piala Dunia 1994, Pontiac Silverdome hanya butuh pengkonversian lapangannya. Kapasitas tempat duduknya tetap 80 ribu. Pontiac Silverdome mendapat jatah empat partai penyisihan grup, termasuk partai tuan rumah Amerika kontra Swiss pada 18 Juni 1994 yang berkesudahan 1-1.
Baca juga: Kuil Sepakbola "Kota Abadi" Roma
Pontiac Silverdome dikeluhkan banyak pihak karena suhu pertandingan-pertandingannya di dalamnya jadi lebih panas dan lembab. Terlebih stadionnya saat itu masih kekurangan sistem pendingin udara. Padahal, suhu di dalam Pontiac Silverdome bisa mencapai 79 derajat fahrenheit dengan kelembaban 92 persen.
“Suhunya terlalu panas dan lembab. Tetapi saya bermain di Roma (klub Lazio), jadi kami setidaknya terbiasa dengan itu,” kata striker timnas Jerman Karl-Heinz Riedle kepada Los Angeles Times, 20 Juni 1993.
Sejak 2006 Pontiac Silverdome tak lagi digunakan. Meski sempat direnovasi dan dibuka lagi pada 2010 untuk dijadikan stadion khusus sepakbola, tujuh tahun berselang digusur. Bangunannya dirobohkan dan Amazon sebagai pemilik lahannya pada September 2020 membangun pusat distribusi.
“Sungguh luar biasa melihat apa yang tersisa dari Pontiac Silverdome. Sudah seperti reruntuhan zaman kuno, sangat menarik. Walau di satu sisi membuat saya sedih karena semua memori yang ada,” kenang eks-punggawa timnas Amerika, Alexi Lalas, dikutip Click on Detroit, 29 Januari 2019.
Sapporo Dome
Sebagai negeri yang kaya inovasi teknologi, Jepang benar-benar menjadikan Piala Dunia 2002 sebagai etalase kolosal kemajuan teknologinya. Menjadi tuan rumah bersama Korea Selatan, Jepang menghadirkan 10 venue di 10 kota, di mana tiga di antaranya merupakan stadion yang canggih.
Dua di antara stadion mutakhir itu adalah Ōita Stadium dan Kobe Wing Stadium. Keduanya sama-sama menjadi venue pertama Piala Dunia dengan teknologi konstruksi retractable roof atau atap yang bisa dibuka-tutup. Meski sudah canggih, keduanya bisa dikatakan masih kalah mutakhir jika dibandingkan dengan stadion Sapporo Dome.
Sapporo Dome di kota Sapporo, Prefektur Hokkaido punya kapasitas 40 ribu penonton. Berdiri sejak 2001, Sapporo Dome dibangun memang untuk Piala Dunia 2002.
“Sudah sejak 1996 pemerintah Sapporo menggelar kompetisi untuk mendesain stadion untuk Piala Dunia 2002. Kebutuhan utamanya adalah stadionnya harus menjadi venue yang top sepakbola tapi juga bisa untuk memainkan bisbol, olahraga lain, dan event-event budaya. Sebagai tambahan, stadionnya harus bisa beroperasi di segala cuaca, termasuk cuaca bersalju, dan untuk memenuhi aturan J-League, lapangan sepakbolanya harus rumput asli,” tulis David Goldblatt dan Johnny Acton dalam The Soccer Book.
Baca juga: Stadion Terbesar Dunia di Korea Utara
Dari sayembara itu, rancangan Hiroshi Hara menjadi pemenangnya. Ia merancang sebuah stadion berbentuk mirip cangkang kura-kura. Atapnya dibuat melengkung agar konsep aerodinamikanya tak membuat salju menumpuk di atap.
Satu ide lain yang membuat Hara memenangkan sayembaranya adalah konsep retractable surface alih-alih retractable roof. Jadi, Hara membuat dua lapangan yang bisa saling digeser ke luar dan ke dalam stadion sesuai kebutuhan.
“Mengingat iklim dingin Sapporo yang menyulitkan rumput untuk tumbuh di lahan sempit, sang arsitek memutuskan menempatkan lapangan (sepakbola) di luar stadion agar terkena sinar matahari. Lapangannya bisa digeser untuk dimasukkan jika pertandingan dimainkan. Ini juga memudahkan pergantian konfigurasi stadionnya dari sepakbola ke bisbol,” tambah Goldblatt dan Acton.
Tribunnya terdiri dari dua setengah tingkat. Dua tribun terbawahnya juga bisa diputar 90 derajat. Sementara lapangan bisbolnya di dalam stadion terdiri dari karpet rumput sintetis yang mudah dibongkar-pasang.
Baca juga: Luzhniki Ikon Kejayaan Negeri Tirai Besi
Jika diperuntukkan pertandingan sepakbola, karpet rumput sintetis untuk bisbol akan digulung dan dikeluarkan. Lantas dua tribun paling bawah diputar dan digeser ke dalam lantaran lapangan sepakbola lebih luas, meski akan mengurangi kapasitasnya sekira seribu kursi. Baru setelah itu sistem mekanisnya menggeser masuk lapangan sepakbola yang tadinya di luar masuk ke dalam dengan melewati gerbang otomatis stadion.
Teknologi Sapporo Dome kemudian menginspirasi pembanguna sejumlah stadion di Eropa dan Amerika. Stadion GelreDome (Belanda), Veltins-Arena (Jerman), Tottenham Hotspur Stadium (Inggris), serta State Farm Stadium dan Allegiant Stadium (Amerika Serikat) semua mengambil inspirasi dari Sapporo Dome.
Setelah rampung pada Maret 2001, Sapporo Dome mendapat jatah menggelar tiga laga penyisihan grup Piala Dunia 2002, yakni antara Jerman kontra Arab Saudi pada 1 Juni, Italia kontra Ekuador pada 3 Juni, dan Argentina kontra Inggris pada 7 Juni.
Pasca-Piala Dunia, Sapporo Dome menjadi markas tim sepakbola Hokkaido Consadole Sapporo dan klub bisbol Hokkaido-Ham Fighters. Sapporo Dome yang juga bisa difungsikan menjadi lapangan rugbi, mendapat kehormatan menggelar dua pertandingan Piala Dunia Rugbi 2019 pada 21-22 September 2019.
Baca juga: Lima Petaka Mengerikan di Stadion Sepakbola