Masuk Daftar
My Getplus

Dilaknat hingga Akhir Hayat

Gol yang mengakhiri “hidup” seorang kiper. Mengalami persekusi, dianggap demit, dan musuh masyarakat sampai ke liang lahat.

Oleh: Randy Wirayudha | 25 Nov 2017
Moacyr Barbosa Nascimento (kiri). Foto: fifa.com.

GARA-GARA nila setitik, rusak susu sebelanga. Pepatah itu amat pas digunakan untuk melukiskan nasib Moacyr Barbosa Nascimento, goleiro (kiper) timnas Brasil di Piala Dunia 1950. Publik negeri Samba yang semua memujanya, berbalik 180 derajat melaknatnya. Prestasi melimpah Barbosa seakan tiada arti lantaran dikambinghitamkan dalam satu momen – final Piala Dunia 1950 kontra Uruguay di Estadio do Maracana.

Di era 1940-an, Barbosa diakui sebagai salah satu kiper terbaik dunia. Bersama klubnya Vasco da Gama, gelar Campeonato Sul-Americano de Campeones diraihnya pada 1948. Begitupun Campeonato Carioca, turut dipersembahkannya pada tahun 1945, 1947, 1949, 1950, 1952, dan 1958. Tidak ketinggalan, satu titel Copa America untuk Selecao (julukan Brasil) di tahun 1949.

Maka, kiper berkulit legam itu menjadi harapan rakyat Brasil di perhelatan Piala Dunia pertama pasca-Perang Dunia II. Tuan rumah tak terkalahkan di babak penyisihan. Di laga puncak, 16 Juli 1950, di Stadion Maracana, Brasil bersua tim tetangga Uruguay yang berada di posisi kedua.

Advertising
Advertising

Brasil hanya butuh hasil imbang karena pada fase lanjutan setelah penyisihan, formatnya masih babak grup. Dalam dua laga awal, Brasil menghancurkan Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1. Berada di posisi teratas, Brasil hanya butuh satu poin untuk juara.

Publik Brasil yakin itu takkan sulit diraih timnasnya. Maka, mereka sudah sangat siap untuk berpesta. “Wali Kota Rio (de Janeiro) dalam pidato sebelum pertandingan, malah sudah menyanjung tim (Brasil) sebagai juara dunia,” ungkap Joseph L Arbena dan David G LaFrance dalam Sport in Latin America and Caribbean.

Nyaris 200 ribu penonton, mayoritas suporter tuan rumah, menyesaki Maracana saat laga puncak dimainkan. Riuh di tribun penonton baru “meledak” di menit ke-47 ketika Albino Friaca Cardoso memecah kebuntuan Brasil. Namun, Uruguay menyamakan kedudukan di menit 66 lewat gol Juan Alberto Schiaffino.

Petaka buat Brasil tiba di menit 79 kala Alcides Ghiggia memaksa Barbosa memungut bola dari gawangnya untuk kedua kali. Barbosa diperdaya Ghiggia dari pinggir kotak penalti. Bola di kaki Ghiggia yang dikira hanya akan dilepaskan sebagai umpan, justru meluncur ke gawangnya ke arah tiang dekat. Barbosa yang sudah bergerak keluar sarang untuk memotong bola, mati langkah.

Skor 2-1 untuk Uruguay bertahan sampai wasit George Reader asal Inggris meniup peluit akhir. Seisi stadion nyaris terdiam kecuali sektor tribun yang dihuni suporter Uruguay. “Final yang sampai sekarang dikatakan sebagai bencana nasional. Diperparah karena dimainkan di stadion kebanggaan (kota) Rio, Maracana,” tulis Teresa A Meade dalam A Brief History of Brazil.

Ratusan ribu penonton langsung keluar stadion dengan tertunduk lesu, termasuk yang di tribun kehormatan. Beberapa suporter bahkan sampai bunuh diri kemudian. Publik Brazil mengenang kekalahan itu sebagai Maracanazo atau Bencana Maracana.

Saat Presiden FIFA Jules Rimet menyerahkan trofi Piala Dunia ke para pemain Uruguay, tak ada perayaan megah. “Saat saya berjalan menuju lapangan, saya merasakan keheningan yang luar biasa. Tidak ada pengawal kehormatan, tak ada lagu kebangsaan dan tak ada upacara (perayaan pemenang). Hanya ada saya sendiri,” tutur Jules Rimet yang dituangkan dalam bukunya, The Wonderful Story of World Cup.

Sementara, Schiaffino punya kesan lain ketika mengenang momen itu. “Saya menangis lebih keras ketimbang orang Brasil. Sungguh membuat saya sangat sedih melihat mereka menderita seperti itu. Kami semua merasa sangat emosional,” ujarnya. Toh, sekembalinya mereka ke Uruguay publik merayakan kemenangan itu dengan pesta pora.

Di Brasil, publik yang murka lalu menjadikan Barbosa kambing hitam. Dia dijadikan musuh nomor satu, dikutuk seantero negeri. Para orangtua di Brasil bahkan menyamakannya dengan demit, mereka menyebut nama Barbosa untuk menakut-nakuti anak-anak mereka jika susah diatur.

Kiper yang tak pernah mengenakan sarung tangan itu mengaku tak mengerti kenapa dia yang paling disalahkan. Toh, gol Ghiggia ke gawangnya bukan blunder murni kiper tapi memang berasal dari skema permainan dan kecerdasan Ghiggia dalam melakukan gerak tipu. Lagipula, bukan hanya dia yang tampil melawan 11 pemain Uruguay.

“Karier internasionalnya (di timnas) berakhir di final melawan Uruguay itu, namun dia baru benar-benar pensiun (di level klub) pada 1963 di usia 42 tahun. Tahun di mana dia dihadiahi gawang terbuat dari kayu yang digunakan di Stadion Maracana pada Piala Dunia 1950,” sebagaimana dikutip Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats.

Barbosa membawa pulang gawang itu dan membakarnya di halaman belakang rumahnya. Segenap stakeholder sepakbola Brasil sejak itu tak pernah mau dekat-dekat dengan Barbosa. Konon, mereka takut ketularan nasib buruk. Di satu waktu, Barbosa dilarang ikut hadir dan menyaksikan timnas Brasil latihan jelang Piala Dunia 1994. Di waktu lain, Presiden CBF (induk organisasi sepakbola Brasil) Ricardo Teixeira melarang Barbosa menjadi komentator untuk laga-laga timnas Brasil. Persekusi terhadapnya berlangsung hingga lebih dari empat dekade.

“Hukuman maksimal untuk kejahatan di Brasil 30 tahun. Saya menjalani hukuman yang tidak saya lakukan selama 43 tahun,” ucap Barbosa pada 1993, seperti dikutip Tom Winterbottom dalam A Cultural History of Rio de Janeiro after 1889: Glorious Decadence.

Setengah abad setelah tragedi final di Maracana itu, Barbosa mengembuskan nafas terakhir di Praia Grande, 7 April 2000, akibat serangan jantung. Baru di akhir hayat, Barbosa tak lagi dilaknat. Brasil sendiri sejak itu tak pernah mau punya kiper berkulit hitam, hal yang baru berubah pada Piala Dunia 2002 ketika kiper berkulit hitam Nelson de Jesus Silva alias Dida menjadi kiper utama.

“Dia (Barbosa –red.) berjasa besar buat tim Brasil namun kemudian dihukum setelah pertandingan. Faktanya, dia kiper nomor satu dan menunjukkan jasa besarnya untuk sepakbola Brasil. Penting untuk menggarisbawahi jasa-jasanya,” ujar Dida dalam testimoninya di biografi Barbosa, The Last Save of Moyacyr Barbosa, karya Darwin Pastorin.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Guru Arung Palakka Raden Saleh Meninggal Dunia Asal-Usul Jeriken Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian II – Habis) Azab Raja Cabul di Tanah Bugis Sentot Alibasah Prawirodirjo, Putera, Hansip Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965