Masuk Daftar
My Getplus

Kawasan Gelora Bung Karno untuk Publik

Bung Karno mencanangkan Kawasan GBK sebagai zona olahraga dan politik. Di era Orde Baru mulai diramaikan zona komersial.

Oleh: Randy Wirayudha | 31 Mei 2023
Stadion Utama Gelora Bung Karno yang jadi ikon dan primadona di Kawasan GBK (Randy Wirayudha/Historia)

KAWASAN Gelora Bung Karno (GBK) senantiasa ramai dengan aneka kegiatan warga Jakarta dan sekitarnya. Tidak hanya saat akhir pekan, tapi juga di hari-hari kerja. Jamak ditemui tiap pagi maupun petang penduduk sekitar maupun para pegawai kantor di sekitarnya berolahraga di lingkar luar maupun lingkar dalam Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).

Suasananya tentu asri dengan banyak ruang terbuka hijau (RTH) di sekelilingnya. Itu menambah warna bagi kompleks olahraga warisan Presiden Sukarno enam dekade silam yang tak hanya lazim digunakan untuk event-event olahraga namun juga kegiatan politik hingga pentas musik. Teranyar, tim juara Piala Dunia 2022, Argentina, akan mampir pada FIFA matchday 19 Juni 2023; lalu pada 15 November 2023 giliran band kenamaan dunia Coldplay akan manggung di sana.

Area lingkar dalam dan luar Stadion Utama Gelora Bung Karno yang bisa diakses publik untuk olahraga ringan (Randy Wirayudha/Historia)

Dari Bung Karno untuk Publik

Kompleks GBK memang dibangun Bung Karno untuk kegiatan publik. Menurut sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Asvi Warman Adam, Bung Karno sejak awal sudah memikirkan pembangunan kawasan GBK untuk venue olahraga –dengan tujuan jangka pendeknya untuk menyambut tamu-tamu dan para atlet asing dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta– dan venue politik semata.

Advertising
Advertising

Untuk membangunannya, pemerintah menggunakan pinjaman luar negeri. Kredit lunak dari Uni Soviet digunakan untuk membangun kompleks olahraganya, sedangkan bantuan dari Amerika Serikat dan dana pampasan perang Jepang untuk proyek-proyek infrastruktur pendukungnya.

Lantaran memerlukan lahan amat luas, mau-tak mau mesti dilakukan penggusuran kampung-kampung yang akan dijadikan lahannya. Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir di Jakarta dari Masa ke Masa mencatat, diperlukan kerelaan sekira 60 ribu penduduk kampung Senayan, Petunduan, Kebon Kelapa, dan Kebon Hilir untuk digusur dan direlokasi ke Tebet dan Slipi.

“Ini didukung masyarakat yang menyambut antusias kesempatan ini. Bung Karno bahkan ketika mulai melihat lahan yang tersedia, sudah berpikir akan ada dua area yang dia bayangkan. Pertama, khusus olahraga dan venue politik. Pada area politik itu mulanya dimaksudkan untuk Gedung CONEFO (Conference of the New Emerging Forces), tapi pada akhirnya yang terbangun untuk Gedung DPR/MPR. Ini satu kesatuan gagasan Sukarno,” ujar Asvi dalam diskusi daring “Dialog sejarah: Gelora Bung Karno Milik Siapa?” di Youtube Historia.id, Selasa (30/5/2023) petang.

Baca juga: Sukarno dan GBK

Pemimpin Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khrushchev diperlihatkan desain Kawasan GBK (Twitter @RBTHIndonesia)

Kompleks GBK akhirnya sukses dibangun dan dipergunakan sesuai tujuan. Bukan hanya Asian Games IV event olahraga multicabang yang dihelat di sana, tapi juga GANEFO (Games of New Emerging Forces) pada 1963. 

Tetapi masalah mulai muncul setelah kekuasaan beralih ke Orde Baru sejak 1967. Beberapa keputusan presiden (keppres) bermunculan. Ada yang menyoal perubahan nama, ada pula tentang pengelolanya.

Lewat Keppres No. 4/1984, pemerintahan Orde Baru mengganti nama Gelora Bung Karno menjadi Gelora Senayan. Nama Gelora Bung Karno baru dikembalikan lagi di era Presiden Abdurrahman Wahid via Keppres No. 72/1999.

“Ada beberapa keppres yang dikeluarkan di era Orde Baru. Mengatur tentang perubahan siapa-siapa saja yang menjadi pengelola Gelora Senayan. Koordinatornya tetap Setneg tapi anggotanya bisa berbeda-beda. Bisa Kementerian Pekerjaan Umum, bahkan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Jadi berganti-ganti. Tetapi sudah jelas pemilik (kawasan) GBK tetap negara, pemerintah melalui Setneg. Hanya perlu diingat, dari aspek sejarah ketika Bung Karno mencanangkan GBK sebagai venue olahraga dan politik walau kenyataannya sekarang ada venue komersial,” tukas Asvi.

Baca juga: Di Balik Pembangunan Stadion GBK

Kompleks Gedung DPR/MPR yang memang mulanya dimaksudkan untuk venue politik (Randy Wirayudha/Historia)

Perubahan pengelolaan menjadi pangkal permasalahan peruntukan lahan GBK yang menyisakan masalah hingga kini di samping membentuk wajah Kompleks GBK menjadi seperti sekarang. Menurut Usman Hamid, pengajar hukum STHI Jentera dan UPN Veteran Jakarta serta direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, di balik pergantian kekuasaan, juga terjadi pergeseran penggunaan lahan GBK dari semula venue olahraga dan politik untuk kepentingan publik jadi venue komersial. Utamanya sejak muncul perizinan Hak Pengelolaan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pengelolaan sebagian lahan kawasan GBK, termasuk untuk tujuan komersial.

Terbitnya HPL dan HGB lambat laun mengubah fungsi dan wajah Kompleks GBK. Komersialisasi di GBK yang dimulai sejak Orde Baru, kini marak. Bangunan-bangunan komersial entah hotel atau mal terus berdiri. Kawasan GBK dengan luas nyaris 300 hektare kini dikelilingi gedung-gedung perkantoran, hotel, dan mal-mal lantaran kawasan itu merupakan magnet bisnis yang kuat. Lambat-laun, citra GBK sebagai venue bisnis lebih cemerlang ketimbang sebagai venue olahraga.

“Berdasarkan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) DKI Jakarta 2022, Kompleks GBK itu zonanya banyak. Ada RTH, perdagangan jasa skala kota seperti mal dan hotel-hotel, prasarana umum skala kota yang merupakan fasilitas-fasilitas olahraga, ada perkantoran, serta pertahanan dan keamanan,” kata Miya Irawati, direktur eksekutif Public Virtue Research Institute, menimpali.

Baca juga: Stadion GBK Kebakaran

Miya Irawati, direktur eksekutif Public Virtue Research Institute (Historia.id)

Sebagai magnet, kawasan GBK yang dikelola negara melalui Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) pun menjadi aset negara dengan nilai tertinggi. Menurut evaluasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), nilai aset kawasan GBK sampai 2018 mencapai Rp347 triliun.

“Rinciannya nilai tanah Rp345 triliun dan nilai bangunannya hampir Rp3 triliun. Nah PPKGBK hanya mengelola sekitar 36 persen dari total lahan. Dimanfaatkan sebagai kawasan olahraga hanya 52,83 persen. Lalu dikerjasamakan secara komersial 23,67 persen. Sementara 23,5 persennya untuk perkantoran pemerintah. Ini menjadi PR bersama bagaimana aset negara paling mahal ini dikelola dengan baik meskipun dikerjasamakan dengan swasta tapi benefit-nya tetap untuk publik,” kata Miya.

Kendati nilainya amat tinggi, komersialisasi GBK mengorbankan salah satu fungsi utamanya, yakni ruang publik. Akibatnya, hak warga atas akses ruang publik/fasilitas umum terbatas lantaran beberapa blok di kawasan GBK masih merupakan zona komersial.

Salah satu blok, yakni Blok 15, bahkan sejak lama hanya bisa diakses oleh kalangan berkantong tebal. Celakanya, blok komersial itu menimbulkan masalah yang masih bergulir hingga sekarang. Blok 15 sejak 1970-an merupakan lahan tempat berdirinya Hotel Hilton (kini Hotel Sultan). Hotel yang didirikan dan dioperasikan PT. Indobuildco –merupakan perusahaan milik Ibnu Sutowo, dirut Pertamina pertama– itu mendapat izin pengelolaan sejak 1970-an dari Gubernur DKI Ali Sadikin.

“Kita juga bisa melihat pandangan Bang Ali (Sadikin, Gubernur DKI periode 1966-1977) dalam risalah persidangan (tahun 2005). Dia bilang bahwa memang lahan itu dimandatkan Bung Karno ke Pertamina tapi di perjalanan kemudian Pak Ibnu Sutowo mendaftarkan atas nama perusahaan PT Indobuildco. Di situlah Bang Ali merasa ditipu. Dia awalnya percaya saja dikelola Pertamina dan dia menduga PT Indobuildco adalah anak perusahaan Pertamina yang ternyata bukan, melainkan perusahaan pribadinya,” papar Usman.

Baca juga: Dari Pertamina ke Pertamina

Usman Hamid, pengajar hukum STHI Jentera, UPN Veteran Jakarta dan direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (Historia.id)

Sengketa kepemilikan lahan pun muncul antara Setneg selaku wakil negara dengan PT Indobuildco.

Munurt Usman, pandangan Ali Sadikin itu diharapkan bisa jadi rujukan guna menyelesaikan sengketa hukum yang masih berlangsung hingga sekarang. Masalah sengketa lahan itu sendiri muncul setelah masa berlaku izin pengelolaan PT Indobuildco habis. Dalam lamannya pada Jumat, 26 Mei 2023, Setneg selaku payung PPKGBK menguraikan bahwa sedianya masa berlaku HGB 26 dan HGB 27 atas nama PT Indobuildco di blok tersebut sudah kedaluarsa pada 3 Maret dan 3 April 2023. 

“Jadi 279 hektare yang sudah terdaftar resmi hak kepemilikan lahan yang diterbitkan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Mungkin ada satu enclave yang diberikan izin gubernur saat itu dan kemudian habis. Langkah-langkah hukum sudah kita selesaikan secara perdata. Sudah sampai PK 4 kali, ditolak juga (oleh Mahkamah Agung),” kata Rakhman Afif Kusumo, dirut PPKGBK dalam diskusi yang sama.

Baca juga: Sengkarut Sengketa Stadion Andi Mattalatta

Dirut PPKGBK Rakhman Afif Kusumo (Historia.id)

Adanya putusan MA dianggap Usman sudah menyelesaikan masalah soal sengketa di GBK. Oleh karena itu, seyogianya PPKGBK mulai berkonsentrasi membenahi GBK dan mengembalikan fungsinya ke awal.

“Makanya soal pertanyaan GBK milik siapa, sederhana (jawabannya). GBK milik umum. Sukarno tidak mengatakan ini untuk pusat perbelanjaan atau untuk pengusaha tapi untuk umum, di mana hak atas kota milik publik bisa menggeser sudut pandang pembangunan dari sekadar tempat mencari keuntungan menjadi kota sebagai entitas politik, kota sebagai ekonomi dan ruang hidup, serta kebudayaan warganya. Kota yang menjadi ruang kolektif bagi warganya,” timpal Usman.

Apa yang diusulkan Usman sebetulnya sejalan dengan yang dipikirkan Dirut PPKGBK Rakhman Afif Kusumo.

“Hampir semua yang ada komersialnya di GBK skemanya BOT (Build Operate Transfer), mereka mendirikan bangunan tapi aset-aset itu akan diserahkan ke negara. Karena ke depannya kita juga ingin (GBK) sekelas dengan yang ada di New York atau Tokyo. Di Jepang ada namanya Tokyo Sport Complex yang di sekitar stadionnya ada mal dan pusat perkantoran tapi nyaman buat masyarakat beraktivitas. Kita ingin menambah lagi akses-akses publik, kemudian perlu lagi tambahan RTH,” timpal Rakhman dalam diskusi yang sama.

Baca juga: Dulu Sekadar Rawa, Kini Menjamu Pesta Olahraga Asia

Pandangan itu sejalan dengan adanya kebutuhan penambahan RTH ibukota yang disebutkan punya target 31 persen lahan untuk RTH pada 2030. Hanya saja, PPKGBK masih membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta via perjanjian hak guna bangunan (HGB) lantaran PPKGBK mengelola GBK tanpa APBN melainkan anggaran mandiri.

Singkatnya, sambil mencari pemecahan soal urusan pendanaan, seyogianya PPKGBK harus sudah berkonsentrasi mengembangkan GBK dan mengembalikannya ke publik lantaran soal kepemilikan lahan yang disengketakan telah selesai. Negara tidak berkewajiban untuk memperpanjang masa berlakunya.

“Dengan adanya putusan 4 kali PK dalam sengketa perdata, berarti itu sudah inkracht van gewijsde, berkekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan semua pihak. Dengan ini juga sebenarnya negara sudah bisa mengambil keputusan bahwa akan diambilalih pengelolaan lahan-lahan di sana karena sudah ada rencana memperluas kawasan hijau yang menurut saya akan dapat berpengaruh positif dalam pemenuhan hak warga akan kotanya,” tutur Usman.

Pada hakikatnya, lanjut Usman, sekitar 300 hektare kawasan GBK itu milik umum, sebagaimana visi Presiden Sukarno ketika mulai membangunnya lebih dari enam dekade lewat. Sukarno ingin kawasan itu menjadi kawasan olahraga dan politik yang keduanya sangat erat berkaitan dengan hak publik.

“Dulu Sukarno ingin menetapkan dua hal: venue politik dan venue olahraga. Venue olahraga jelas untuk warga. Bukan hanya warga Jakarta, bahkan warga dunia. Demikian juga venue politik, tempat wakil-wakil rakyat yang menjalankan aktivitas politik. Jadi jelas semuanya res publica, untuk urusan publik/umum,” tukasnya.

Baca juga: Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya

TAG

gelora bung karno bung karno sukarno stadion

ARTIKEL TERKAIT

Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Di Sekitar Indonesia Menggugat Bung Karno di Meksiko Kabinet 100 Menteri dan Kabinet Merah Putih Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini Bowo Kecil Ditimang Bung Karno Evolusi Angkatan Perang Indonesia Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967