Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya
Berdiri gagah sebagai venue olahraga berkat tangan orang Belanda, Bumiputera dan Tionghoa. Satu-satunya stadion yang punya pohon.
BANGUNAN stadion berbentuk oval bercat jingga kekuningan itu masih kokoh berdiri di seberang Taman Mundu, Jalan Tambaksari, Surabaya. Tak sulit untuk menerka bahwa gelanggang olahraga ini sudah melintas lorong zaman. Di atas gerbang utamanya tertulis plang nama yang mengingatkan pada perjuangan arek-arek Suroboyo: Stadion Gelora 10 November.
Stadion ini satu dari sedikit ikon legendaris Kota Pahlawan, Surabaya. Tidak hanya jadi saksi bisu perjalanan sejarah persepakbolaan Surabaya, namun juga beragam kegiatan politik, budaya, hingga keagamaan. Tak heran sejak 22 tahun lampau ia ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) bernomor urut 44 lewat Surat Keputusan Walikota Nomor 188.45/251/402.104/1996, sebagaimana yang tertera dalam Prasasti Lapangan Tambaksari.
Ya, stadion ini mulanya bernama Lapangan Tambaksari. Belum ada yang tahu kapan pastinya Lapangan Tambaksari lahir. Menurut beragam literatur yang ditelusuri, Lapangan Tambaksari eksis sebagai sebuah kompleks olahraga bagian dari proyek pembangunan Kota Surabaya tahun 1907-1923.
“Sejak awal sudah dinamakan Lapangan Tambaksari. Kompleksnya terbagi jadi tiga bagian. Lapangan A yang sekarang jadi Stadion Gelora 10 November, Lapangan B di sebelah selatan yang sekarang jadi Mess Persebaya, dan Lapangan C di sebelah timur yang sekarang jadi gedung olahraga,” terang pemerhati sejarah sepakbola Dhion Prasetya kepada Historia.
Penulis buku Persebaya and Them: Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo itu menambahkan, awalnya penampakan Lapangan Tambaksari belum seperti sekarang. “Ya hanya lapangan. Tribunnya sederhana, belum bertingkat seperti saat ini. Kalau bentuk aslinya hampir mirip dengan Stadion Gelora Pancasila (di Jalan Indragiri VI),” imbuhnya.
Pemerintah Hindia Belanda membangunnya untuk dipergunakan bagi orang-orang Belanda yang mulai keranjingan olahraga pada awal abad ke-20. Lapangan Tambaksari lalu dijadikan markas klub Soerabaiasche Voetbalbond (SVB).
Meski dijadikan kandang SVB, lapangan ini pernah jadi saksi bisu aksi boikot kompetisi Stedenwedstrijden (kompetisi internal NIVB, federasi sepakbola Hindia Belanda) oleh para pendukung sepakbola nasional pada 1932. Aksi boikot itu bikin rugi kompetisi secara ekonomi.
Baca juga: Pergerakan Nasional Aksi Boikot di Lapangan Tambaksari
Sementara, beberapa bulan pasca-Proklamasi, Lapangan Tambaksari dijadikan tempat Rapat Samudera (rapat raksasa) untuk show of force terhadap Jepang yang mempertahankan status quo jelang kedatangan Sekutu. Baru sesudah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, Lapangan Tambaksari diambil-alih Persebaya dan lima tahun berselang direnovasi untuk dijadikan stadion.
Baca juga: Kala Lapangan Tambaksari Dipenuhi Massa Rapat Raksasa
Mengutip suratkabar De Nieuwsgier 15 September 1954, renovasinya diketuai arsitek seorang Tionghoa Ir. Tan Giok Tjiauw. Dibuka secara resmi dengan nama Stadion Tambaksari pada 11 September 1954 oleh Walikota Moestadjab Soemowidagdo. Untuk meramaikan peresmiannya, dua laga persahabatan dihelat: Tiong Hwa Soerabaja vs West Java (tim A) yang berakhir 1-3 untuk West Java dan Persibaja (nama lawas Persebaya) vs West Java (tim B) yang berkesudahan 5-2 untuk tuan rumah.
Berganti Nama
Jelang Pekan Olahraga Nasional (PON) VII 1969, Tambaksari kembali dipercantik. Tribunnya direnovasi jadi bertingkat. “Renovasinya berjalan hampir setahun untuk persiapan PON. Dana renovasinya dari undian Lotto Surya (Lotere Totalisator Surabaya). Berbau judi memang, tapi karena waktu itu kan (panitia penyelenggara) enggak ada dana, ya diambilnya dari situ,” sambung Dhion.
Stadion Gelora 10 November Diresmikan Menjelang PON 1969 (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Uniknya, renovasi stadion tak menghilangkan beberapa pohon angsana yang ada di sekitar lapangan. Pohon-pohon itu difungsikan sebagai atap alami mengingat panasnya cuaca Kota Surabaya. “Mungkin satu-satunya di dunia yang ada pohon-pohon di tribunnya,” ujar peneliti sejarah olahraga cum dosen Universitas Negeri Surabaya Rojil Nugroho Bayu Aji kepada Historia.
Dalam peresmian renovasi itu, namanya ikut diganti. “Nah, saat peresmian, namanya berganti jadi Stadion Gelora 10 November. Nama yang diambil dari spirit perjuangan arek-arek Suroboyo pada Pertempuran 10 November 1945,” sambung Rojil.
Penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola: 1915-1942 dan Mewarisi Sepakbola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia itu menambahkan, seiring waktu stadion itu selain jadi markas tim Persebaya –sampai 2017 sebelum pindah ke Gelora Bung Tomo– juga menjadi magnet bagi beragam kegiatan akbar di Kota Pahlawan. Seperti, kegiatan rutin kebaktian bersama, Salat Idul Fitri, Pengajian Nuzulul Quran 1990, hingga konser World Tour band Sepultura pada 1992.
Seni Relief Stadion
Sepengamatan Historia, stadion gagah itu juga sarat pesona artistik. Relief yang menggambarkan sejumlah olahragawan dari berbagai cabang olahraga melekat di badannya. “Itu reliefnya yang bikin maestro seni rupa Tedja Suminar. Beliau seniman dari Akademi Kesenian Surakarta. Pembuatannya bersamaan dengan renovasi jelang PON 1969,” tutur pemerhati budaya Dhahana Adi Pungkas kepada Historia.
Tedja Suminar alias The Tiong Tien (Foto: Koleksi Dhahana Adi, Surabaya Punya Cerita Vol. 1)
Ipung, begitu biasa dia disapa, mengungkapkan dalam bukunya Surabaya Punya Cerita: Volume 1, bahwa figur mendiang Tedja Suminar merupakan orang Tionghoa yang lahir pada 15 April 1936 dengan nama The Tiong Tien. Dia anak ke-10 dari saudagar palawija asal Ngawi The Kiem Liong. Sang maestro mengganti namanya jadi Tedja Suminar kala masuk Akademi Kesenian Surakarta pada 1957.
“Ukiran relief di stadion itu hasil desain dari sketsa Tedja Suminar berdasarkan permintaan langsung dari Raden Soekotjo, walikota Surabaya saat itu dalam menyambut PON VII tahun 1969,” kata Ipung.
Baca juga:
Surabaya dan Sepakbolanya
Persebaya dalam Pusaran Masa
Mengenal Lebih Dekat Stadion Patriot Candrabhaga
Tambahkan komentar
Belum ada komentar