MATA dunia tertuju kepada Indonesia. Ironisnya bukan karena prestasi, tapi tragedi. Peristiwa pahit di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang pada 1 Oktober 2022 masuk dalam catatan hitam tragedi terbesar di stadion sepakbola. Ia menempati urutan kedua setelah Petaka Estadio Nacional di Lima, Peru, 58 tahun silam.
Dari beragam sumber disebutkan korban Tragedi Kanjuruhan mencapai 174 orang tewas sementara sekira 300 lainnya luka berat dan ringan. Sementara, versi Polri menyebutkan korban tewasnya 125 jiwa dan 325 luka-luka. Tragisnya, 33 di antara korban tewas masih anak di bawah umur.
Banyak media mancanegara menyoroti tindakan represif aparat keamanan. Terutama, dalam penggunaan gas air mata yang penggunaannya dalam pengamanan suporter di dalam stadion dilarang dalam regulasi FIFA.
Baca juga: Hilang Nyawa Suporter Bola Salah Siapa?
CBS News pada 2 Oktober melaporkan tragedi itu dengan tajuk “125 die as tear gas triggers crush at Indonesia soccer match”. Sementara, New York Times merilis dengan tajuk “Fans Fled as Police Fired Tear Gas, Causing Deadly Rush For Exits”. Reuters juga menyoroti hal yang sama lewat tajuk “Indonesia soccer stampede kills 125 after police use tear gas in stadium”.
Kendati sebelumnya pihak kepolisian mengatakan penggunaan gas air mata sudah “sesuai prosedur”, upaya tersebut tetap melanggar aturan FIFA yang dirilis pada 2012, yakni Stadium Safety and Security Regulations. Penggunakan senjata api dan gas air mata dalam prosedur pengamanan sama sekali tidak dibenarkan. Ada delapan poin terkait keamanan yang diatur regulasi tersebut: manajemen prosedur, stewards atau personil keamanan, kapasitas maksimal, antisipasi struktural dan teknis (stadion), crowd management, dan pelayanan darurat.
“Dalam hal keamanan, para stewards harus dilatih secara reguler dalam hal prosedur-prosedur darurat, penggunaan peralatan darurat, prosedur-prosedur evakuasi, dan pemeriksaan pra-pertandingan,” tulis Eric C. Schwarz dkk. dalam Managing Sport Facilities and Major Events.
Baca juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Sepakbola
Adanya pelanggaran prosedur pengamanan itu membuat pihak-pihak di luar dunia sepakbola pun ikut angkat bicara mengomentari Tragedi Kanjuruhan. Amnesty International salah satunya.
“Kami mendesak pihak terkait melakukan investigasi yang independen dan menyeluruh menyoal penggunaan gas air mata di stadion dan memastikan mereka yang terlibat dibawa ke persidangan terbuka. Kami juga mendesak kepolisian meninjau kebijakan penggunaan gas air mata dan senjata lainnya untuk memastikan tragedi memilukan itu terulang lagi,” ujar Amnesty International di laman resminya, 2 Oktober 2022.
Sejarah mengatakan, dari sejumlah petaka di dalam stadion yang terjadi di berbagai belahan dunia, semua tak lepas dari tindakan represif pihak keamanan. Termasuk lima petaka terparah berikut ini:
Tragedi Stadion Mateo Flores
Kondisi Stadion Mateo Flores (kini Estadio Nacional Doroteo Guamuch Flores) dan panitia pertandingan yang “mata duitan” jadi kombinasi menakutkan bagi suporter yang antusias ingin jadi saksi laga Grup 1 Kualifikasi Piala Dunia 1998 Zona CONCACAF (Amerika Tengah dan Karibia) antara tuan rumah Guatemala kontra Kosta Rika, 16 Oktober 1996. Panitia pelaksana (panpel) lokal mencetak tiket hingga 45.796, melebihi kapasitas stadion yang saat itu hanya bisa menampung 37.500 penonton.
Stadion yang dibangun pada 1948 itu punya lima sektor tribun. Akan tetapi desain stadionnya nyaris tak berubah seiring bergulirnya zaman hingga tak berbanding lurus dengan meningkatnya antusiasme penonton. Alhasil akses keluar-masuk di masing-masing tribun sangat tidak laik.
“Tragedinya terjadi saat masa pemanasan tim, di mana kerumunan suporter di tribun selatan bertumbangan, terdesak sampai ke pagar, dan terinjak-injak. Tercatat 83 orang dilaporkan meninggal (sumber lain menyebut 80-100 jiwa) dan antara 150-200 lainnya terluka. Kebanyakan korban tewas karena mengalami asphyxiation (kehabisan nafas, red.). Penyebabnya tak lain karena kelebihan kapasitas karena ribuan tiket tambahan tersebar secara ilegal,” ungkap John Nauright dan Charles Parrish dalam Sports Around the World: History, Culture and Practice.
Baca juga: Perang Sepakbola El Salvador dan Honduras
Laga Guatemala kontra Kosta Rika itu pun ditunda atas perintah langsung Presiden Guatemala, Álvaro Arzú, yang menyaksikan langsung dari tribun VIP. Selain menetapkan tiga hari berkabung, pemerintah Guatemala juga memerintahkan CDGA (Confederatión Deportiva Autonóma de Guatemala) menginvestigasi kasusnya didampingi tim evaluasi dari FIFA.
Untuk sementara, Timnas Guatemala mesti menjalani laga kandang kualifikasinya di Amerika Serikat, tepatnya di Stadion Memorial Coliseum, Los Angeles. Di sisi lain, investigasi menghasilkan fakta bahwa terdapat 13 oknum panpel diketahui terlibat sindikat tiket ilegal, namun tak satupun yang kemudian diganjar hukuman.
Dari evaluasi yang dilakukan, dikeluarkan keputusan yang mengharuskan pengelola stadion melakukan renovasi, khususnya di akses-akses keluar-masuk tribun. Untuk menghindari terulangnya tragedi, CDAG diharuskan mendesain ulang rencana evakuasi. Sementara FIFA melalui perwakilan Amerika Tengah, Rafael Tinoco, merekomendasikan stadionnya mesti dilakukan modifikasi untuk memenuhi standar keamanan yang ditentukan oleh komisi FIFA.
“Infrastruktur (stadion) yang sudah berdiri sejak 1950 itu harus dimodel ulang. Sebagai langkah pertama, bagian eksternalnya (akses) harus dimodifikasi,” ungkap Rafael Tinoco, utusan FIFA untuk Amerika Tengah, dikutip , 15 Oktober 2006.
Tragedi Stadion Dasharath Rangasala
Stadion di ibukota Nepal, Kathmandu, yang dibangun pada 1956 itu jadi venue utama dalam setiap laga-laga Timnas Nepal maupun event-event bergengsi level klub. Termasuk event Tribhuvan Challenge Shield yang mempertemukan klub tuan rumah Janakpur Cigarette Factory kontra Mukti Joddha asal Bangladesh pada 12 Maret 1988.
Namun, panpel agaknya kurang siap mengantisipasi faktor cuaca. Hujan deras yang turun di pagi harinya hingga membuat panpel ingin menunda pertandingan, berubah cerah pada siangnya. Panpel akhirnya memutuskan laga tetap digulirkan pada petang hari sesuai jadwal.
Keputusan panpel itu namun justru jadi blunder. Cuaca cerah petang itu tiba-tiba berubah menjadi hujan es disertai angin topan. Tak ayal 30 ribu penonton yang menyesaki Stadion Dasharath panik lalu mencari tempat berlindung.
Baca juga: Ada Apa dengan Sepakbola India?
Nahas bagi mereka, dari empat sektor tribun Stadion Dasharath, hanya tribun utama di sisi barat yang memiliki atap. Saat puluhan ribu penonton ingin memaksa masuk ke tribun utama, mereka dipukul mundur aparat keamanan.
“Badai yang disertai petir, angin kencang, dan hujan es membuat panik 30 ribu fans. Sejumlah saksi mata menyatakan banyak penonton yang berteriak histeris saat berusaha menyelamatkan diri menuju delapan pintu keluar tapi ironisnya hanya satu yang terbuka (di tribun selatan, red.),” demikian diberitakan suratkabar Los Angeles Times, 13 Maret 1988.
Puluhan ribu penonton itu pun berdesakan hingga saling menggencet di satu pintu keluar itu. Akibatnya, 93 orang tewas karena terinjak-injak dan kehabisan nafas dan lebih dari 100 lainnya terluka.
Usai tragedi itu, mulai dari panpel hingga aparat keamanan saling lempar tanggung jawab. Sebuah komisi yudisial yang dibentuk pasca-tragedi itu kemudian memutuskan pemerintah memberi santunan sebesar 450 dolar kepada keluarga korban tewas dan 90 dolar kepada keluarga korban yang terluka. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nepal, Keshar Bahadur Bista, dan Presiden ANFA (induk sepakbola Nepal) Kamal Thapa mengundurkan diri dari jabatannya.
Tragedi Hillsborough
Alan Radford, pemuda kelahiran Liverpool, selalu tak nyaman bahkan geram bila bertemu angka 97. Ia punya memori kelam dengan angka 97. Pasalnya, angka itu merupakan jumlah korban dari sebuah tragedi yang juga dialaminya.
“Jika saya melihat angka 97 di televisi, itu akan membuat saya marah. Hillsborough menewaskan lebih dari 97 orang. Saya yakin itu,” kata Radford kepada The Athletic, 15 April 2022.
Baca juga: Petaka di Stadion Ibrox
Hillsborough yang dimaksud Radford merupakan Tragedi Hillsborough yang terjadi di Stadion Hillsborough, Sheffield, Inggris pada 15 April 1989. Tragedi terjadi dalam helatan laga semifinal FA Cup yang mempertemukan Liverpool dan Nottingham Foreset. Saat laga, kericuhan terjadi hingga mengakibatkan 97 orang tewas dan 766 luka-luka.
Radford jadi satu dari sekian penyintas yang masuk daftar pemeriksaan “Taylor Report”, sebuah investigasi yang dilakoni hakim agung Lord Taylor. Sebagaimana Radford, Richard Wilson yang kelahiran Blackpool juga mengalami luka ringan saat berusaha menyelamatkan diri. Kendati luka fisiknya lekas sembuh, luka batinnya tetap belum hilang hingga ia acap menghindari kehidupan sosial karena tak ingin banyak mendapat pertanyaan dari keluarga dan kerabatnya.
“Saya teringat tentang bagaimana saya bisa selamat. Rasa bersalah saya masih sama sebagaimana di tahun 1989. Di dalam hati saya bertanya: ‘Siapa orang yang saya injak?’ Saya tahu saat itu saya berdiri di atas tubuh dua orang. Saya berpikir: ‘Apakah berat tubuh saya membunuh seorang anak?’” kenang Wilson pahit.
Baca juga: Lembaran Getir Tragedi Heysel
Baik Wilson maupun Radford di hari itu berada di tribun barat, lokasi tempat terjadinya desakan penonton terparah jelang laga dimulai. Sementara, dari luar, ribuan suporter lain memaksa masuk ke tribun barat meski panpel sudah mengatur fans Liverpool ke tribun utara dan barat. Tetapi karena keretaapi yang mengangkut massa Liverpool datang terlambat, para fans yang ikut telat itu mengalir secara spontan hanya ke tribun barat sebagai yang terdekat dari stasiun.
Ribuan fans yang memaksa masuk itu mengakibatkan ribuan lainnya yang sudah di dalam terhimpit dan tergencet sampai ke pagar pembatas besi yang lantas roboh. Sejumlah fans yang tadinya tergencet di pagar pun bertumbangan dan terinjak-injak oleh fans lain di belakang. Kekacauan makin parah lantaran aparat kepolisian menghalau suporter dengan cara-cara represif.
Tragedi itu kemudian jadi titik balik persepakbolaan Inggris setelah dilakukan transformasi lewat “Blueprint for the Future of Football” yang dikeluarkan FA (induk sepakbola Inggris). Selain peniadaan pagar pembatas di stadion-stadion, cetak-biru itu meneptakan penggencaran edukasi suporter oleh masing-masing klub, pengetatan pengawasan potensi hooliganisme lewat CCTV, dan penerapan prosedur pengelolaan dan pengamanan kerumunan suporter yang lebih humanis dengan mengandalkan stewards atau pihak keamanan masing-masing klub.
Tragedi Stadion Ohene Djan
Kombinasi antara panpel ceroboh, kondisi stadion buruk, dan tindakan brutal aparat keamanan sebagaimana yang terjadi di Guatemala pada 1996 terulang di Accra, Ghana, pada 9 Mei 2001. Hasilnya, hari itu Stadion Ohene Djan (kini Accra Sport Stadium) jadi saksi bisu momen terkelam sepakbola di Benua Hitam. Sebanyak 126 orang tewas dan ratusan lainnya mesti dirawat di rumahsakit.
Petakanya bermula dari kekecewaan puluhan ribu suporter klub Asante Kotoko. Lantaran timnya kalah 1-2 dari Accra Hearts of Oak, mereka bertindak anarkis dengan melempar kursi dan botol ke lapangan.
Tindakan itu kemudian diladeni aparat keamanan. Sejumlah akses keluar-masuk tribun sengaja dikunci aparat.
“Polisi lalu mulai menembakkan gas air mata ke tribun-tribun. Yang menyelamatkan saya adalah, saya melepas baju untuk menutupi mulut saya,” kata Deputi Menteri Olahraga Ghana Joe Aggrey yang turut terdampak gas air mata di tribun utama, dikutip BBC, 10 Mei 2001.
Baca juga: Anomali Kamerun yang Menggegerkan Dunia
Tembakan gas air mata dan peluru plastik dari aparat kepolisian itu lantas menyebabkan panic attack para suporter di sejumlah tribun. Lantaran sejumlah pintu sudah dikunci, beberapa akses yang tersisa jadi sasaran mereka untuk keluar sehingga menimbulkan bottleneck. Para para suporter menumpuk, saling menggencet, dan terinjak-injak.
Insiden pahit itu memicu keprihatinan Presiden Ghana, John Kufuor, yang lalu menetapkan tiga hari berkabung dan Premier League Ghana dihentikan selama sebulan. Pemerintah kemudian membentuk komisi independen untuk menginvestigasinya. Hasilnya, enam anggota kepolisian didakwa dengan pasal pembunuhan. Akan tetapi di persidangan, keenamnya dinyatakan tak bersalah. Jaksa gagal membuktikan gas air mata sebagai penyebab kematian 126 orang itu. Kematian mereka disebabkan karena terinjak-injak suporter lain.
Tragedi Estadio Nacional Peru
Dalam satu kedipan mata, euforia yang membuncah dari puluhan ribu fans Timnas Peru yang memadati Estadio Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964 berubah jadi amarah. Gol striker Victor Lobatón di masa injury time ke gawang Argentina dianulir wasit Ángel Eduardo Pazos asal Uruguay.
Padahal, saat itu Peru sedang tertinggal 0-1. Mereka hanya butuh hasil imbang untuk bisa lolos kualifikasi Zona CONMEBOL sehingga berhak berangkat ke Olimpiade Tokyo.
Baca juga: Jalan Panjang Panama ke Piala Dunia
Walau laga belum berakhir, Pazos terpaksa menghentikan pertandingan lantaran para suporter tuan rumah di beberapa tribun mulai bertindak anarkis. Beraneka macam benda berterbangan ke arah lapangan sebagai luapan emosi kekecewaan 45 ribu penonton.
“Setelah para pemain kedua kesebelasan dikawal aparat ke ruang ganti, seorang suporter, Negro Bomba, menyusup ke dalam lapangan untuk menyerang wasit. Polisi menghalaunya dengan brutal dan memancing amarah suporter lainnya. Polisi sampai harus menggunakan tongkat dan menembakkan gas air mata untuk membendung massa suporter yang membanjiri lapangan,” ungkap Nauright dan Parrish.
Tak hanya mengarah pada suporter yang menginvasi lapangan, polisi juga menembakkan gas air mata ke kerumunan suporter di tribun utara. Hasilnya, ribuan suporter di tribun itu panik. Sebagian besar gagal menyelamatkan diri lantaran akses pintu keluar yang terhubung dengan tangga terkunci. Tak ayal terjadi penumpukan mengerikan di beberapa tangga menuju pintu keluar. Tekanan dari himpitan ribuan orang itu akhirnya merobohkan pintu besi dan insiden saling menindih dan injak tak terelakkan. Petaka itu kemudian memakan korban jiwa hingga 328 orang dan 500 lainnya luka-luka.
“Tidak selesai sampai di situ, massa yang berhasil keluar melakukan pengerusakan terhadap sejumlah kendaraan. Para polisi berseragam yang ditemui di jalan-jalan jadi sasaran amuk. Kerusuhan menjalar sampai seantero kota hingga memaksa pemerintah menerjunkan militer dan menetapkan status darurat serta jam malam,” tandas Nauright dan Parrish.
Baca juga: Gempa Tak Halangi Chile Gelar Piala Dunia