BORUSSIA Dortmund jadi tim asal Jerman ketiga yang menantang Real Madrid di final Liga Champions. Sepanjang sejarahnya, termasuk ketika kompetisi teratas sepakbola Eropa itu masih bernama European Cup, El Real selalu punya catatan positif, termasuk kala tim ibukota Spanyol itu masih diperkuat pemain legendaris Ferenc Puskás pada 1960.
Real Madrid mesti meladeni Dortmund demi memetik mahkota Eropa ke-15 pada partai final musim 2023-2024 ini di Stadion Wembley di Inggris, Sabtu (1/6/2024) malam waktu setempat. Bila berhasil, catatan rekor yang dimiliki bakal makin jauh meninggalkan tim-tim raksasa lain, di mana yang terdekat hanya AC Milan dengan tujuh gelar European Cup/Liga Champions.
Sejak di fase grup, Real Madrid sama sekali belum pernah keok. Tim yang diarsiteki Carlo Ancelotti itu melaju sampai partai puncak usai di semifinal melewati laga home-away sengit kontra raksasa Jerman Bayern Munich dengan kemenangan agregat 4-3. Sementara, Dortmund sempat dua kali kalah di fase grup dan laga tandang di perempatfinal meski masih sanggup mencapai final usai menang agregat 2-0 dari Paris Saint-Germain.
Kebetulan atmosfer anak-anak asuh Ancelotti juga tengah on fire. Pasalnya Madrid belum lama ini sudah memastikan gelar juara La Liga yang ke-36 kali dengan dua laga tersisa.
“Bagi saya sebagai pelatih, ini musim terbaik. Tim tampil fantastis, kami laik memenangkan La Liga. Kami bereuforia tapi kami masih harus berjuang karena belum memainkan laga terpenting (final Liga Champions, red.). Sampai 1 Juni nanti, semua hal akan jadi prioritas kedua. Kami fokus memenangkan Liga Champions,” kata Ancelotti dikutip Reuters, Rabu (15/5/2024).
Baca juga: Momen Carlo Ancelotti 'Nongol' di Layar Perak
Puskás Pahlawan & Rekor Madrid di Hampden Park
Malam itu, 18 Mei, di Glasgow, Skotlandia 64 tahun silam, Stadion Hampden Park begitu sesak dengan manusia di segala penjuru tribunnya. Lebih dari 127 ribu penonton hadir untuk jadi saksi mata final European Cup musim 1959-1960. Kala itu Real Madrid untuk kali pertama menghadapi tim asal Jerman, Eintracht Frankfurt, untuk berebut trofi Eropa.
Legenda hidup Manchester United Sir Alex Ferguson mengaku jadi salah satu dari lautan manusia di laga historis itu. Kala itu, Sir Alex masih berusia 18 tahun dan tengah meniti karier sebagai pemain di klub Skotlandia, Queen’s Park.
“Saya beruntung ada di final European Cup antara Real Madrid dan Eintracht Frankfurt di Hampden pada 1960. Saya mendapatkan tiketnya di Schoolboy Enclosure karena Hampden saat itu juga menjadi kandang Queen’s Park,” kenang Sir Alex di laman resmi Manchester United, 24 April 2020.
Baca juga: Sir Alex vs Wenger Antara Konflik dan Respek
Mayoritas penonton yang notabene warga Skotlandia itu mendukung Real Madrid. Pasalnya salah satu tim ibukota Skotlandia, Glasgow Rangers, “dipermak” Frankfurt dengan skor agregat 12-4 di laga home-away semifinal.
Di sisi lain, Madrid yang kala itu diasuh pelatih Miguel Muñoz tengah berambisi mengukir rekor baru: lima kali juara Eropa berturut-turut. Dalam empat edisi pertama European Cup sejak musim 1955-1956, Madrid sama sekali tak terkalahkan di final.
Lagipula, Alfredo Di Stéfano dkk. juga sedang butuh afirmasi sebagai tim terbaik dari Spanyol. Terlebih dalam persaingan domestik pada La Liga musim 1959-1960, Madrid harus puas hanya jadi runner-up. Rival abadinya, Barcelona, juara hanya karena unggul selisih gol dari Madrid di akhir musim.
Padahal, Madrid sedang diperkuat skuad “Los Galacticos”-nya dengan Ferenc Puskás yang jadi penopang Di Stéfano di lini depan. Puskás direkrut Madrid pada 1958 saat usianya sudah tidak muda lagi, 31 tahun, serta baru bebas dari larangan dua tahun bermain dari UEFA.
Larangan itu dikeluarkan UEFA atas desakan politis dari pemerintah Hungaria gegara Puskás enggan balik ke ibukota Hungaria meski masih berstatus pemain klub Budapest Honvéd. Toh negerinya pada 1956 juga sedang terjadi huru-hara revolusi kaum mahasiswa menentang pemerintahan yang pro-Uni Soviet.
“Tetapi saat final European Cup 1959 (musim 1958-1959) yang laganya digelar di Stuttgart, ia dilarang (pemerintah) Jerman Barat. Puskás terpaksa harus menyaksikan laga final (Madrid vs Stade de Reims) dari tribun ketika rekan-rekan setimnya mengangkat trofi European Cup untuk keempat kalinya berturut-turut,” tulis David Bailey dalam Magical Magyars: The Rise and Fall of the World’s Once Greatest Football Team.
Baca juga: Tamu Istimewa Jagoan Eropa di Jakarta
Puskás dilarang karena usai laga final Piala Dunia 1954 antara Jerman Barat vs. Hungaria, yang dikenal sebagai laga “The Miracle of Bern” itu, ofisial Hungaria menuding skuad Der Panzer menggunakan suntikan doping demi bisa menang dramatis 3-2. Hal itu ditegaskan lagi oleh Puskás ketika ia diwawancarai Majalah Prancis France Football.
Imbasnya, Puskás “di-cancel” otoritas Jerman Barat. Baik Kementerian Dalam Negeri maupun federasi sepakbola Jerman DFB mengeluarkan sanksi untuk Puskás: ia dilarang bermain di tanah Jerman.
Laga final European Cup 1959 jadi bukti tegasnya larangan Jerman Barat, di mana Madrid terpaksa tak memainkan Puskás. Larangan itu juga masih berlaku dan Frankfurt berpotensi batal tampil di final European Cup 1960.
“Pasalnya DFB juga melarang klub-klub Jerman untuk melakukan pertandingan melawan tim yang diperkuat Ferenc Puskás. Larangan itu dampak kemarahan atas klaim Hungaria bahwa tim (nasional Jerman) 1954 menggunakan doping,” tulis Ulrich Hesse dalam Tor! The Story of German Football.
Baca juga: Final Piala Dunia Berujung Gempita dan Prahara
Puskás hanya bisa pasrah saat dipaksa membuat surat permintaan maaf formal kepada DFB –penelusuran bertahun-tahun kemudian tudingan itu terbukti. Lagipula saat itu belum ada kewajiban untuk tes doping. Surat itu Puskás diterima DFB dan mereka memberikan izin untuk Frankfurt tetap berlaga melawan Madrid selang beberapa jam sebelum kick off pukul 19.30.
“Pada akhirnya final 18 Mei 1960 digelar. Para pemain Real Madrid berjalan di lorong stadion menuju lapangan dengan sinar lampu yang terang dan gema sorakan 127.621 penonton yang jadi rekor tersendiri di final European Cup. Dengan suhu udara sekitar 40 derajat Fahrenheit (4,4 derajat celcius), para pemain memutuskan mengenakan jersey putih lengan panjang,” tulis Steven G. Mandis dala The Real Madrid Way: How Values Created the Most Successful Sports Team on the Planet.
Madrid memang tertinggal lebih dulu lewat gol Richard Kress di menit ke-18. Namun sisanya Frankfurt tak sanggup membendung “dynamic duo” Di Stéfano- Puskás.
“Setelah tertinggal 0-1 dan kemudian mereka menciptakan lagi peluang yang membentur mistar gawang, kami saling melirik satu sama lain dan berpikir, ‘apakah ini benar terjadi?’ Namun setelah kami mampu memberi perlawanan dan membalikkan keadaan, saya ingat penonton Skotlandia menyemangati dan memberi aplaus,” kenang punggawa Madrid, Canário dos Santos, dikutip Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona, Real Madrid, and the World’s Greatest Sports Rivalry.
Baca juga: Santiago Bernabéu "Bapak Real Madrid"
Meski sudah tak lagi muda, Puskás tampil gemilang dengan menyumbang empat gol. Sedangkan Di Stéfano juga mencetak hattrick-nya, sebelum Frankfurt memperkecil skor dengan dua gol “penggembira”.
“Itu malam terbaik yang pernah saya lalui,” ujar Puskás singkat.
Meski terpaksa, kebesaran hati Puskás untuk meminta maaf berbuah manis. Madrid digdaya melibas Frankfurt, 7-3, di laga yang dipimpin wasit Jack Mowat asal Skotlandia itu. Skor tersebut sampai saat ini masih jadi skor terbesar dalam sejarah final European Cup/Liga Champions.
Setelah peluit panjang dibunyikan tanda laga berakhir, Puskás cs. larut dalam euforia. Madrid mencatatkan rekor memenangkan trofi Eropa lima kali beruntun.
“Saat kami melihat Rangers kalah (agregat) 12-4 di semifinal, kami berpikir para pemain Frankfurt bagaikan dewa tapi kemudian mereka dibantai 7-3 di final. Seperti itulah hebatnya Real Madrid. Sempat tertinggal tapi Puskás dan Di Stéfano mencetak tujuh gol di final. Para penonton bertahan di stadion untuk ikut selebrasinya,” tandas Sir Alex.