Masuk Daftar
My Getplus

Final Piala Dunia Berujung Gempita dan Prahara

Usai final, publik Jerman bak bangkit dari kubur; Hungaria bergolak dan berujung prahara anti-Soviet.

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Nov 2017
Hungaria vs Jerman Barat dalam Final Piala Dunia 1954 di Bern, Swiss. (fifa.com).

Perang Dunia II membuat Eropa absen 16 tahun menggelar Piala Dunia. Turnamen paling banyak menyedot perhatian publik dunia itu baru kembali ke Eropa pada 1954 ketika Swiss menjadi tuan rumah.

Partai final menjadi momen paling menyita perhatian. Laga yang mempertemukan Jerman Barat, negeri yang baru lahir setelah perang, melawan Hungaria, salah satu kekuatan adidaya sepakbola Eropa pada 1950-an, itu bukan semata soal pertarungan di lapangan. Kekalahan Hungaria 2-3 menimbulkan dampak dahsyat di dalam negerinya.

Di atas kertas, Hungaria lebih superior. Dalam babak penyisihan, di mana kedua negara sama-sama menempati Grup 1, Hungaria dengan mudah membantai Jerman Barat 8-3. Oleh karena itu, kemenangan Jerman Barat di final yang berlangsung di Wankdorf Staduim, Bern itu mencetuskan ungkapan Wunder von Bern atau Keajaiban Bern dari publik Jerman.

Advertising
Advertising

Baca juga: Der Panzer Tersungkur di Piala Dunia

Hungaria sebetulnya mendominasi awal pertandingan puncak yang dimainkan pada 4 Juli itu. Ferenc Puskas dan kawan-kawan memimpin dua gol lebih dulu dan bertahan hingga sebelum turun hujan. Namun “semesta” seakan berbalik memihak Jerman Barat, hujan lebat yang turun kemudian membuat Fritz Walter dkk. bangkit memberi perlawanan sengit. “Seiring dengan turunnya hujan deras disertai badai, dua gol tercipta dan membawa tim Jerman bangkit,” tulis Jose Eduardo de Carvalho dalam History of World Cups.

Striker Helmut Rahn kemudian membalik keadaan menjadi 3-2 melalui sebuah gol di menit ke-84. Segenap pemain dan ofisial tim Jerman Barat berhamburan ke tengah lapangan untuk bereuforia. Terlepas dari beberapa keputusan kontroversial wasit William Ling asal Inggris, kemenangan itu juga disebabkan oleh lebih siapnya para pemain Jerman Barat tampil dalam situasi hujan berkat sepatu bola buatan Adi Dassler (Adidas).

Sepatu buatan Adidas itu memiliki pul-pul di alas yang lebih tinggi sehingga memberi traksi yang dibutuhkan dalam kondisi lapangan berlumpur. “Teknologi (sepatu Adidas) memberi para pemain keuntungan yang mereka butuhkan untuk bertahan dalam lapangan yang licin,” terang Amber J Keyser dalam Sneaker Century: A History of Athletic Shoes.

Baca juga: Piala Dunia yang Tak Diakui

Publik Jerman Barat langsung bersuka cita dan turun ke jalan merayakan kemenangan itu. “Kami tidak tahu seberapa penting kemenangan ini atau apa yang sedang menunggu kami di Jerman. Kami baru menyadarinya ketika kembali ke Jerman, saat kami melintasi perbatasan,” kenang Horst Eckel, eks mittelfeld (gelandang) Jerman Barat di skuad Piala Dunia 1954 kepada Spiegel, 7 Juni 2006.

Untuk kali pertama sejak kalah perang, rakyat Jerman kembali menemukan kebanggaan mereka sebagai sebuah bangsa. Jerman seolah lahir kembali. Gairah perekonomian Jerman Barat, yang sebelumnya kesulitan bernapas, seketika meroket. “Tim (Jerman Barat) merepresentasikan simbol identitas Jerman pascaperang. (Harian) Suddeutsche Zeitung contohnya, menggambarkan bahwa kemenangan itu menjadi cerminan awal keajaiban ekonomi dan pengaruh (politik) Republik Federal Jerman di Eropa,” ujar Sanna Inthorn dalam German Media and National Identity.

Baca juga: Klenik di Balik Final Italia vs Brasil

Sebaliknya, buat Hungaria kekalahan di final itu mendatangkan beberapa konsekuensi terhadap para pemainnya. Klimaksnya, sebuah prahara gerakan anti-Soviet yang berujung pada revolusi kendati akhirnya gagal menumbangkan pemerintahan pro-Soviet. “Ini semua kesalahan kami. Kami mengira telah menang (saat unggul 2-0), kemudian kami membiarkan dua kebobolan yang bodoh dan membiarkan mereka (tim lawan) bangkit,” cetus Puskas, sebagaimana dikutip Jonathan Wilson di buku Behind the Curtain: Football in Eastern Europe.

Kiper Gyula Grosics tak pernah menyangka dampak kekalahan itu sebegitu besar di negaranya, terutama di Ibukota Budapest. “Reaksi di Hungaria sangat buruk. Ratusan orang tumpah ke jalan-jalan setelah pertandingan. Dengan dalih sepakbola, mereka berunjuk rasa melawan rezim. Dalam unjuk rasa itu, saya yakin tertuai benih-benih pemberontakan 1956,” tutur Grosics.

Baca juga: Misteri Piala Dunia di Patagonia

Grosics sendiri ditahan tak lama sesudah itu. Dia sempat melarikan diri ke luar negeri bersama keluarganya tapi akhirnya dipaksa pulang. Dia pasrah ketika diharuskan tetap bermain di klub lokal Tatabanya Banyasz SC. Puskas “dihukum” tak boleh keluar Budapest, termasuk jika klubnya, Budapest Honved, memainkan laga tandang.

Kekalahan Hungaria menyemai benih-benih pemberontakan terhadap rezim Republik Rakyat Hungaria. Dua tahun berselang, antara 23 Oktober-10 November, revolusi akhirnya pecah di negeri itu.

Dalam catatan Komite Khusus untuk Masalah Hungaria yang dipaparkan di Majelis Umum PBB pada 1957, tindakan agresif dan kekerasan yang dilakukan pemerintah untuk meredam revolusi tersebut memakan korban sampai 3000 jiwa dari rakyat sipil. Adapun 200 ribu lainnya terpaksa mengungsi. Dua pimpinan revolusi, Imre Nagy dan Pal Maleter, dieksekusi Polisi Rahasia Hungaria AVH.

TAG

sepakbola piala dunia hungaria jerman

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Memburu Kapal Hantu Keponakan Hitler Melawan Jerman Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan