SETELAH terseok-seok di dua laga awal, kini Lionel Messi dkk. bisa menarik nafas. Tiket perempatfinal Copa América 2019 sudah di tangan. Kemenangan Argentina atas Qatar di laga terakhir Grup B menghidupkan kembali asa meraih trofi yang sudah lama mereka rindukan.
Kemenangan itu juga jadi kado spesial buat Messi. Laga melawan Qatar, salah satu tim tamu Copa America 2019, yang dihelat pada Senin (24/6/2019) itu tepat di hari ulang tahunnya yang ke-32.
“Sekarang kami baru memulai perjuangan di kejuaraan ini. Sekarang waktunya (juara) atau tidak sama sekali!,” ujar Messi kala diwawancara TyC Sport usai laga, Senin (24/6/2019).
Masih ada tiga anak tangga lagi yang mesti dilalui Argentina untuk menggapai titel Raja Amerika Selatan. Bukan rahasia lagi bahwa Messi punya sejarah buruk di Copa América sebagaimana Diego Maradona, legenda sepakbola Argentina yang sering dipersamakan dengan Messi.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Messi pertamakali turun di Copa América pada 2007. Dia hanya bisa membawa Argentina jadi runner-up. Di edisi 2011, tim Tango bahkan hanya sampai perempatfinal. Messi kembali gigit jari di Copa América 2015 dan 2016 lantaran kalah di final. Nasib buruk Messi kian lengkap di edisi 2016 lantaran dia gagal bikin gol di drama adu penalti.
“Begitulah akhirnya. Sudah berakhir buat saya dan timnas. Sudah empat final. Memenangkan Copa adalah hal yang paling saya inginkan tapi tak pernah terwujud. Sakit rasanya tidak juara,” kata Messi, dikutip Rik Sharma dalam “The Curse Goes On” yang dimuat dalam The Blizzard: The Football Quarterly, Issue Twenty Two.
Nasib sial yang menimpa Messi seolah kutukan, sebagaimana yang juga dirasakan Maradona. Padahal, sejarah Copa América sangat erat kaitannya dengan Argentina sebagai pemrakarsa turnamen.
Turnamen Tertua
Dalam persepakbolaan internasional, Copa América diakui sebagai turnamen intra-benua tertua. CONMEBOL (Konfederasi Sepakbola Amerika Selatan) mengakui turnamen Campeonato Sudamericano de Fútbol pada 1916 sebagai pendahulu Copa América. Namun, sejatinya ada satu turnamen antarnegara di Amerika Selatan yang enam tahun lebih tua tetapi tak diakui CONMEBOL.
Andreas Campomar dalam ¡Golazo!: A History of Latin American Football menguraikan, turnamen antarnegara Amerika Latin sudah eksis sejak 1910 lewat Copa Centenario Revolución de Mayo. Turnamen yang berlangsung pada 29 Mei-12 Juni 1910 di Buenos Aires itu diadakan untuk memperingati 100 tahun Revolusi Mei, revolusi pertama dalam menentang kolonialis Spanyol yang berhasil dilakoni negeri-negeri terjajah macam Río de la Plata (nama lawas Argentina), Bolivia, Paraguay, Uruguay, dan sebagian wilayah Brasil.
Argentina mengundang Uruguay, Cile, dan Brasil. Namun Brasil mundur sebelum laga usai. Argentina jadi pemenang dalam gelaran dengan sistem mini-liga itu setelah dua kali menang dan memuncaki klasemen akhir.
Baca juga: Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat
Perhelatan itu jadi momen pertama kompetisi sepakbola yang dilakoni lebih dari dua tim, namun tak diakui CONMEBOL. Sebelumnya, laga-laga hanya sekadar dilakoni dua tim, seperti Copa Newton, Copa Lipton, dan Copa Premier Honor Argentino yang hanya menampilkan Argentina dan Uruguay.
Setelah CONMEBOL lahir, pada 1916 ide untuk membuat turnamen negara-negara “serumpun” di selatan Benua Amerika muncul dari Héctor Rivadavia Gómez, presiden pertama CONMEBOL. Argentina mendapat kehormatan jadi tuan rumahnya. Turnamen berbarengan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Argentina (9 Juli 1816).
Turnamennya dinamai Campeonato Sudamericano de Fútbol. Digelar 2-17 Juli 1916 di Buenos Aires dan Avellaneda, partisipannya terdiri dari Argentina, Uruguay, Brasil, dan Cile.
Sistem turnamennya setali tiga uang dengan pendahulunya, yakni sistem mini-liga dengan pemuncak klasemen jadi juaranya. Menariknya, trofi yang diperebutkan sama trofi turnamen tahun 1910, piala berbahan perak dengan dimensi tinggi 77 centimeter dan bobot 9 kilogram. Trofi itu merupakan sumbangan Menteri Luar Negeri Argentina Ernesto Bosch.
Baca juga: Misteri Piala Dunia di Patagonia
Uruguay keluar sebagai pemenang turnamen edisi 1916 dengan total dua kali menang dan sekali imbang. Meski begitu, Cile sempat mengungkit isu rasisme kala memprotes komposisi skuad Uruguay di laga pembuka. Namun protes itu di-peti-es-kan CONMEBOL.
“Delegasi Cile protes bahwa Uruguay memainkan dua ‘budak Afrika’ ketimbang memakai pemain asli Uruguay. Juan Delgado dan Isabelino Gradín, keduanya pemain Afro-Uruguay, menjadi dua pemain pertama yang tampil di turnamen internasional. Gradín sendiri mencetak dua gol ke gawang Cile,” sambung Campomar.
Seiring perjalanan masa, partisipan turnamen Campeonato Sudamericano de Fútbol terus bertambah. Sistem dan formatnya pun diubah menjadi babak gugur. Dari era ini, Argentina bersama Uruguay langganan juara. Dalam kurun 1916-1967, Argentina 12 kali juara. Tiga di antaranya, dilakukan berturut-turut, dari 1945 sampai 1947.
Baca juga: Pemain Tunadaksa Penentu Juara Piala Dunia
Namun, peruntungan Albiceleste (julukan Argentina) berubah di era Copa América. Dalam sistem baru ini, 10 tim Amerika Selatan mesti melayani juga tim-tim tamu dari benua lain. Sejak 1993, biasanya CONMEBOL mengundang dua tim tamu, seperti Kosta Rika, Honduras, Jamaika, Amerika Serikat, Meksiko, Jepang, dan Qatar. Rencananya Australia diundang pada edisi 2020. So far, Meksiko yang punya catatan terbaik dengan jadi runner-up pada 1993.
Sejak era baru, dimulai dari tahun 1975, inilah Argentina hanya mampu dua kali juara, yakni tahun 1991 dan 1993. Bila dihitung sejak keikutsertaan pertamanya pada 1916 hingga Copa América edisi ke-46 tahun ini, Argentina baru 14 kali juara. Mampukah Messi membimbing rekan-rekannya menggapai trofi yang sudah lama dirindukan itu?