Masuk Daftar
My Getplus

Timur Pane: Lakon Sang Bandit

Dia seorang penjahat yang mengangkat dirinya sebagai jenderal. Aksi eksentrik Timur Pane dalam kancah revolusi menghiasi sejarah perjuangan kemerdekaan.

Oleh: Martin Sitompul | 13 Nov 2017
Nagabonar, salah satu tokoh film Indonesia yang diinspirasi dari sosok Timur Pane. Sumber: youtube.com

Dia memiliki tubuh kecil dan pendek. Ada tanda kebiru-biruan di separuh muka bagian bawah.Matanya selalu awas dan menyorot liar. Demikian kesan M. Radjab tatkala bersua dengan Timur Pane. Radjab, wartawan Antara, utusan dari Kementerian Penerangan yang sedang bertugas mereportase perjuangan revolusi di Sumatera. Sementara Timur Pane, seorang pimpinan laskar yang punya reputasi: terkenal dan menggelisahkan di Sumatera Timur. Mereka bertemu di Prapat, kota tepi Danau Toba yang menjadi markas gerilya Timur Pane.

“Katanya, ia sendiri sudah banyak menyembelih orang di medan pertempuran. Kenekatan inilah yang menjadikannya terkemuka, ditakuti dan namanya terkenal,” tutur Radjab dalam memoarnya Tjatatan dari Sumatera tertanggal 15 Juli 1947. Kepada Radjab, Timur Pane sesumbar. Dia mengaku sanggup merebut kota Medan yang dikuasai tentara Belanda dalam waktu 24 jam. Yang menggelikan, Timur Pane mengatakan punya persenjataan yang cukup untuk berperang selama delapan belas tahun.

“Kadang-kadang saya mendapat kesan, bahwa omongannya melampaui garis kenyataan,” kenang Radjab.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Lagak Laskar Sumatra Timur

Jebolan Copet

Sebelum merintis nama sebagai pejuang bersenjata, Timur Pane berkecimpung di lembah kriminal. Semula, dia adalah pedagang jengkol dan sayuran di pasar Sambu kota Medan. Karena lihai dan berani, Timur Pane menjadi jagoan kota dengan keterampilan khusus: mencopet. Pemuda-pemuda pengangguran yang tak punya pekerjaan tetap ditampungnya sebagai anak buah. Kebanyakan tak bersekolah. Mereka biasanya dicap sebagai bandit atau bajingan.

“Sekalipun kebanyakan tidak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, pemuda-pemuda ini adalah unsur yang penting dalam pertempuran-pertempuran di tahun 1945 sampai 1947. Merekalah yang mengetahui setiap lika-liku jalan dan lorong di kota itu,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera.

Di masa Indonesia merdeka, Timur Pane ikut ambil bagian. Kelompoknya berafiliasi dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), barisan kelaskaran PNI di Sumatera Utara pimpinan Selamat Ginting. Setelah peristiwa di Jalan Bali, pasukan Selamat Ginting membutuhkan logistik persenjataan dalam jumlah besar. Persoalan ini dapat diatasi karena bantuan dari anak buah Timur Pane. Pencarian senjata menyasar gudang-gudang Jepang yang terletak di Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, dan Sunggal. Cara mendapatkannya acapkali dilakukan dengan pencurian dan perampokan.

Baca juga: 

Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan

Sejak Oktober 1945, kota Medan telah diduduki tentara Sekutu dan Belanda. Para barisan pejuang Republik turun ke fron untuk merebut kota. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan Pertempuran Medan Area. Timur Pane turut mengorganisasikan pasukannya dengan nama kelaskaran baru: Napindo Naga Terbang.

Meski membawakan nama Napindo, Timur Pane tak selalu mematuhi pimpinan Napindo. Hasrat kriminalnya ikut terbawa di medan laga. Dalam pertempuran Medan Area, misalnya. Naga Terbang lebih sering berada di garis belakang untuk mencari keuntungan materi.

“Pasukannya lebih suka menjarah kaum Tionghoa dan India kaya ketimbang menghadapi Belanda,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.

Aksi Sesuka hati

Selain penjarahan, penyelundupan juga menjadi andalan utama mereka. Karena tak mampu menembus kota Medan, pasukan Timur Pane beralih fron ke Deli-Serdang yang kaya hasil bumi. Pane memilih Perbaungan sebagai markasnya. Di sanalah Pane leluasa mengendalikan beberapa perkebunan (terutama karet) yang diselundukan ke Malaya melalui pelabuhan Pantai Labu dekat Lubuk Pakam. Kepiawaian berniaga itu membuat nama Naga Terbang menjadi besar dan kian tenar.

“Pada pertengahan 1946, dia [Timur Pane –red.] memimpin satu kekuatan bersenjata besar, yang dibangun dari sebuah geng Jalan Pemuda di Medan,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity.

Baca juga: 

Gertak Sambal ala Timur Pane

Dengan kekayaan yang dimilikinya, Naga Terbang “menggoda” banyak badan perjuangan lain untuk bergabung. Kekayaan itu pula yang menjadi senjata Naga Terbang untuk melenyapkan rival, dengan jalan membeli persenjataan mereka. Menurut Audrey Kahin, pasukan Timur Pane, Naga Terbang, mungkin barisan laskar yang terbesar dan bersenjata terbaik.

Pada Desember 1946, Timur Pane keluar dari Napindo. Dia kemudian membentuk pasukan Marsose yang anggotanya kebanyakan dari etnis Batak-Toba. Pasukannya menyingkir ke pedalaman dan membangun basis pasukan yang besar di Prapat. Secara sepihak, Timur Pane menyatakan dirinya berpangkat jenderal mayor. Beberapa anak buahnya juga diangkat sebagai kolonel dan opsir menengah lainnya.

“Tentara Marsose yang dipimpin Jenderal Mayor Timur Pane ini menyatakan dirinya telah masuk menjadi TNI dan dari pemimpin sampai anak buahnya memakai tanda pangkat militer,” tulis buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1952.

Tak sampai disitu, Timur Pane juga menuntut pengakuan resmi pemerintah atas pasukannya. Dia mendatangi Mr. S.M. Amin gubernur muda Sumatera Utara. Sebuah permintaan dilontarkan agar gubernur menganggarkan sebesar 120 juta gulden setiap bulan untuk pasukan Marsose. Timur Pane meninggalkan ancaman akan terjadi banjir darah bila permintannya tak dipenuhi.

Baca juga: 

Ketika S.M. Amin Dipalak Timur Pane

Ulah Timur Pane memantik perhatian Panglima Komandemen Sumatera, Letnan Jenderal Suhardjo Hardjowardjojo. Sebagaimana perintah Presiden Sukarno untuk menyatukan laskar dan tentara, pasukan Timur Pane terpaksa dilebur ke dalam TNI. Timur Pane menyetujui gagasan penyatuan. Sedangkan Suhardjo awalnya enggan. Alasannya, kesatuan Timur Pane dikenal tak disipilin. Dan lagi, Timur Pane tetap mempertahankan pangkat sebagai jenderal mayor. Namun mengingat besarnya jumlah laskar yang tergabung didalamnya maka penyatuan dipandang perlu agar dapat dikendalikan.

Pada 29 Juni 1947, Panglima Suhardjo membubarkan pasukan Marsose. Sepekan kemudian, dibentuk kesatuan Legiun Penggempur untuk mewadahi para mantan pasukan Marsose. Jenderal Mayor Timur Pane resmi menjadi panglima Legiun Penggempur Komandemen Sumatera.

TAG

Jenderal Tokoh-Batak Timur Pane

ARTIKEL TERKAIT

Sudirman dan Bola Sehimpun Riwayat Giyugun Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Pengemis dan Kapten Sanjoto Jenderal Disko Ancaman Pemakzulan Gubernur Jenderal VOC Gubernur Jenderal VOC yang Dituduh Korupsi Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Derita Istri Jenderal yang Disingkirkan: Sri Suharyati Sayidiman