Masuk Daftar
My Getplus

Terjebak di Plataran (1)

Bagaimana sekelompok kadet Akademi Militer Yogyakarta tak berdaya menghadapi operasi penyerangan mendadak yang dilakukan Kompi ke-3 Batalyon 1-15 RI Tentara Kerajaan Belanda.

Oleh: Hendi Johari | 27 Feb 2021
Peleton Z Pasukan MA yang ikut terjebak di Plataran (Koleksi Kolonel CPM Andi Chairoel/buku Akademi Militer Yogya karya Moehkardi)

Perbatasan Ciamis—Tasikmalaya, awal Maret 1949. Kabar sedih itu datang begitu tiba-tiba. Dari seorang rekannya di MBT (Markas Besar Tentara) Yogyakarta, Letnan Dua Sayidiman Suryohadiprojo mendengar karibnya Letnan Dua Utoyo Notodirjo telah tewas dalam suatu operasi penyerangan yang dilakukan oleh militer Belanda pada 24 Februari 1949 di dukuh Plataran (masuk dalam wilayah Desa Gatak di wilayah Sleman, Yogyakarta).

“Sejujurnya saya merasa kehilangan dan langsung menitikan air mata ketika mendapat berita Utoyo telah gugur,” kenang eks kadet Akademi Militer Yogyakarta (MA) angkatan pertama tersebut.

Sama seperti Sayidiman, Utoyo merupakan salah satu 5 lulusan terbaik angkatan pertama MA pada 1948. Ketika gugur di Plataran, lelaki yang masih kerabat dekat Kesultanan Solo itu tercatat sebagai perwira penghubung di SWK (Sub Wehrkreise) ke-104, di mana pasukan MA berada.

Advertising
Advertising

“Dia kerap bolak-balik pelosok-kota Yogya untuk menghadap Komandan Wehrkreise III Letnan Kolonel Soeharto dan Sri Sultan di Istana atau menyampaikan pesan kepada Kapten Marsudi, komandan gerilya kota Yogyakarta,” ungkap sejarawan Moehkardi.

Baca juga: Gebrakan Pertama Si Opsir Tua

Keberadaan Letnan Utoyo di Plataran pada hari nahas itu bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa yang tidak disengaja. Dia rencananya hanya singgah sebentar. Karena itu kendati dalam pertempuran tersebut Utoyo merupakan salah satu prajurit TNI yang paling tinggi pangkatnya, namun dia tak memiliki wewenang komando dan kurang dikenal oleh kesatuan-kesatuan yang lain.

“Lain cerita jika dia merupakan komandan dari seluruh kesatuan yang ada di Plataran saat itu: saya yakin dia akan lebih bisa memimpin perlawanan secara lebih teratur dan korban di pihak kita tidak harus jatuh begitu banyak,” kata Sayidiman.

Insiden di Plataran berawal dengan jatuhnya buku harian seorang VC (Vaandrig Cadet) bernama Abdul Djalil ke tangan militer Belanda. Sang empu buku harian sendiri tewas dalam pertempuran antara pasukan MA dari Peleton H2 dengan pasukan Belanda di Desa Sambiroto pada 22 Februari 1949.

Menurut Moehkardi, sejatinya militer Belanda sudah lama mengincar pasukan MA yang mereka anggap sebagai pasukan pilihan (keur-troepen). Penyebutan itu dilontarkan oleh Letnan Kolonel F. Scheers, komandan Batalyon I Resimen Infanteri ke-15 Tentara Kerajaan Belanda (KL) dalam bukunya yang berjudul Djokjakarta.

“Dengan terampasnya buku harian V.C. Abdul Djalil oleh militer Belanda, jalan untuk menemukan pasukan MA dan menghancurkannya menjadi terang,” ujar eks dosen sejarah di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) itu.

Buku harian sang kadet itu memang secara gamblang menyebut posisi-posisi pasukan TNI yang ada di bawah komando Wehrkreise III. Di antaranya dia menulis bahwa markas SWK 104 ada di Kringinan. Dan memang Desa Kringinan itu kemudian menjadi sasaran utama gerakan pembersihan yang dilakukan anak buah Letnan Kolonel J.Scheers, sebelum kemudian mereka melakukan pengejaran ke Plataran.

Baca juga: Bercanda Gaya Akademi Militer

Soal kemungkinan terjadinya gerakan pembersihan itu bukannya tidak disadari oleh pimpinan SWK 104 Mayor Soekasno.  Dalam rapat yang dilakukan pada 23 Februari 1949, Soekasno telah memutuskan untuk memindahkan markas SWK 104 ke Desa Gatak. Diputuskan pula, sambil melakukan gerakan pindah mereka akan melakukan serangan terhadap suatu pos penjagaan militer Belanda di Bogem pada dini hari 24 Februari 1949 .

“Kepada para kadet diperintahkan untuk langsung mencari basis baru di utara sehabis serangan ke Bogem itu,” ungkap Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945—1949.

Singkat cerita, begitu selesai menyerang Bogem, Peleton Z  Pasukan MA melaksanakan perintah itu. Namun dalam kenyataannya perintah tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Sebagian kadet MA masih juga ada yang kembali ke Kaliwaru. Sesampainya di markas lama mereka tersebut, karena rasa capek dan mengantuk yang sangat luar biasa, mereka tidur dan beristirahat.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Peleton H. Alih-alih bergegas pindah dari Selomartini, Desa Ngasem, mereka masih sempat tidur-tiduran dan duduk-duduk sembari menunggu hidangan kopi hangat yang tengah dibuat oleh Ibu Carik Selomartini.

Dalm situasi seperti itulah tetiba sekira jam 05.30, terdengar serentetan tembakan dari arah barat daya, pertanda patroli Belanda tengah menjalankan aksi. Penghuni dukuh (termasuk Bapak dan Ibu Carik Selomartini) langsung bergegas mengungsi ke arah utara. Para kadet sendiri yang baru beberapa menit beristirahat langsung menyebar.

Baca juga: Alat Perang Made in Republik

Sementara itu, ketika tembakan dari pihak militer Belanda itu berbunyi, Peleton H2 pimpinan V.C. Nawawi tengah berjalan menuju basisnya di Desa Sindon. Melihat anak buahnya sudah terlihat payah dan kelelahan, maka diputuskan untuk mengirim 10 sukarelawan ke arah sumber tembakan itu. Regu kecil tersebut dipimpin oleh Wakil Komandan Peleton H2, V.C. B. Sormin.

Begitu sampai di Desa Gatak, rombongan kecil pimpinan Sormin bertemu dengan Peleton Z. Selanjutnya mereka sama-sama  bergerak ke arah utara hingga sampailah di Plataran.

Beberapa saat sebelum tembakan berbunyi, Mayor Soekasno baru saja tiba di Desa Gatak. Dia lantas memerintahkan Kopral Pardi untuk menjerang air. Air masih mengepul ketika terdengar letusan senjata yang cukup nyaring. Cepat-cepat Mayor Sukasno memerintahkan Kopral Pardi untuk menyelidiki dari mana asal tembakan itu. Belum 15 menit berlalu, Kopral Pardi sudah kembali dengan tangan berlumur darah karena terkena tembakan.

“Belanda menyerang, Pak!” ujarnya sambil menahan rasa sakit.

Mayor Sukasno langsung memerintahkan semua staf-nya (termasuk Letnan Dua Utoyo) agar mundur ke utara, ke arah Kalibulus. Di arah selatan, tembakan terdengar semakin ramai pertanda posisi tentara Belanda semakin mendekat. Begitu rombongan terakhir staf SWK 104 yang dipimpin oleh Letnan Dua Utoyo tiba di Plataran, dari Desa Gatak tentara Belanda yang berasal dari Kompi ke-3 Batalyon 1-15 RI menghujani mereka dengan tembakan gencar.

Baca juga: Balada Seorang Instruktur Tua

Pasukan MA yang sudah berada di Plataran, secara spontan membalas tembakan itu. Terjadilah pertempuran yang sangat seru. Di tengah hujan peluru itulah terjadi perdebatan sengit di antara para kadet: apakah akan bertahan atau melakukan gerakan mundur.

Kedua keputusan itu memang sama sulitnya. Jika bertahan mereka jelas kekurangan orang dan kalah persenjataan. Tapi jika pun melakukan gerakan mundur, mereka mau tidak mau harus melewati medan terbuka  berupa sawah yang akan menjadikan mereka sebagai sasaran empuk tembakan dari darat dan udara.

Dalam kondisi panik itu, tetiba muncullah sebuah pesawat Capung (Piper Cub) di atas pertahanan mereka. Setelah berputar-putar mengawasi keadaan di bawah, pesawat kecil lalu menghujani Pasukan MA dengan granat. Otomatis situasi semakin tak terkendali. Tanpa komando, Pasukan MA bergerak panik ke segala arah.

“Mengapa tidak kalian tembak saja Capung itu!” teriak Letna Dua Utoyo.

Dia merasa kesal dan geregetan dengan situasi yang dilihatnya. Namun untuk mengambilalih komando, jelas Utoyo tidak berwenang. (Bersambung)

TAG

akademi-militer plataran ma yogyakarta insiden plataran

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal dari Keraton Terjebak di Plataran (2) Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Saat Pelantikan KSAD Diboikot Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Memori Getir Pembantaian Hama