TATKALA dilantik sebagai kepala Staf Umum TKR, Oerip Soemohardjo menghadapi berbagai persoalan. Personel TKR amat banyak. Di Jawa ada tujuh divisi pasukan, sedangkan di Sumatera tiga divisi. Jumlah itu melebihi kebutuhan. Kendala utama lainnya: minimnya jumlah perwira terdidik dan terlatih untuk memimpin pasukan.
Letnan Jenderal Oerip, pejabat tertinggi di jajaran militer Republik, putar akal. Dia panggil Samidjo, eks letnan KNIL jebolan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, ke markasnya di Jalan Gondokusuman, Yogyakarta. Keduanya lantas bertukar pikiran.
Menurut Samidjo, sebagaimana dituturkan kepada Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1950, hari itu tanggal 27 Oktober 1945, pukul 10 pagi, Oerip melontarkan instruksi lisan kepadanya: bentuk akademi militer di Yogyakarta dalam waktu singkat. Samidjo tertegun penuh tanya.
“Lalu bagaimana Pak, dengan guru-gurunya, gedung-gedung dan perlengkapannya?” tanya Samidjo.
“Cari sendiri!” jawab Oerip tegas.
Samidjo segera bergegas meski tanpa perencanaan, persiapan, dan materi. Modal satu-satunya hanyalah ide.
Perintah sederhana itu menjadi cikal-bakal berdirinya akademi militer nasional pertama di Indonesia: Akademi Militer (Akmil) Yogya.
Tuntutan Revolusi
Pada 31 Oktober, Oerip menandatangani pengumuman pembukaan Akmil Yogya. Kualifikasi yang diperlukan tidak muluk. Panggilan ditujukan kepada anak laki-laki berbadan sehat berumur 18 sampai 25 tahun. Untuk kelas perwira serendah-rendahnya tamatan SMP sementara kelas kader (bintara) minimal tamatan Sekolah Rakyat.
Keesokan harinya, “Panggilan Akademi Militer dan Sekolah Kader” mengudara di radio dan tersiar di suratkabar. “Mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh buat menumpahkan jiwa dan raga untuk Indonesia tetap merdeka” ialah prasyarat mutlak calon taruna, lansir Kedaulatan Ra’jat, 1 November 1945. Bersamaan dengan itu, perekrutan guru dan instruktur untuk Akmil Yogya juga diumumkan.
Tiga hari berturut-turut RRI Yogyakarta menyiarkan pengumuman itu. Rencana awal hanya menerima 180 taruna. Tanpa disangka, sekira 3.000 pemuda menyambut panggilan tersebut dan mendaftarkan diri.
Mereka datang dari berbagai daerah dan latar belakang. Tak hanya dari Jawa, pemuda Sumatera juga turut berpartisipasi. Di antara mereka bahkan ada yang telah jadi perwira atau berpengalaman di front tempur. Namun hanya 442 orang yang dinyatakan lulus sebagai taruna angkatan pertama. Masa didik untuk kelas perwira diproyeksikan selama enam bulan. Namun kemudian diperpanjang menjadi tiga tahun. Mereka dididik di gedung bekas sekolah Belanda, Christelijke MULO, di Kota Baru.
Oerip menunjuk Suwardi sebagai direktur Akmil Yogya pertama dan diberi pangkat jenderal mayor. Sedangkan jabatan wakil direktur disandang Samidjo dengan pangkat kolonel. Samidjo kemudian memimpin sekolah kader di Gombong. Posisinya di Akmil Yogya digantikan Wardiman. Mereka yang dipercayakan Oerip memimpin Akmil Yogya adalah alumni Akademi Militer Breda.
Dalam menjalankan program pendidikan, Akmil Yogya bukan tak mengalami kesukaran. Keterbatasan finansial, kurikulum, hingga seragam adalah rupa-rupa kendala yang dialami. Meski demikian, keterbatasan itu tak memupus semangat para taruna untuk menyelesaikan masa pendidikan.
Menurut Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo, alumni angkatan pertama Akmil Yogya, dikutip Moehkardi, memasuki Akmil Yogya mempunyai tujuan praktis: memperoleh pengetahuan militer agar dipraktikkan bilamana kembali ke front. “Mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pendidikan ini, sebab di Surabaya, Semarang, Magelang, dan Bandung, api pertempuran melawan Inggris dan Belanda sudah mulai berkobar.”
Ketika terjadi Pertempuran Surabaya bulan November, sebanyak 23 peserta Akmil Yogya diterjunkan ke front untuk memperkuat barisan artileri. Selama revolusi, taruna Akmil Yogya memang kerap diperbantukan pada operasi-operasi militer di Jawa, Sumatera, Bali, hingga Kalimantan. Di front, para taruna ini dikenal sebagai “Pasukan MA (Militer Akademi)”.
“Mereka menjadi salah satu pasukan yang paling dicari-cari Belanda karena dianggap sebagai pasukan terpilih dan potensial,” tulis Moehkardi.
Pasukan MA juga berperan untuk keamanan dalam negeri tatkala Peristiwa Madiun meletus tahun 1948. Mereka ditugaskan membantu Divisi Siliwangi untuk membebaskan Madiun dari pengaruh PKI.
Akmil Yogya disebut-sebut sebagai pelopor pendidikan perwira di zaman Indonesia merdeka. Sebab, sejurus kemudian, pembentukan sekolah perwira serupa diikuti di berbagai daerah. Akademi Militer Tanggerang didirikan di Jawa Barat, Sekolah Kadet Malang (Jawa Timur), Sekolah Kadet Berastagi dan Sekolah Kadet Parapat (Sumatra Utara), serta Sekolah Opsir Muda Palembang (Sumatra Selatan).
“Gagasan Oerip mendirikan sebuah akademi militer di Yogyakarta mampu memberikan angin segar pada dua harapan sekaligus. Harapan agar terciptanya suatu tentara profesional kelak, serta memenuhi kebutuhan mendesak akan perwira terlatih di masa perang kemerderkaan,” tulis Annisa Adelia Gitaprana dalam “Akademi Militer Yogya 1945-1950: Pembentukan Perwira di Tengah Desing Peluru”, skripsi di Universitas Indonesia.
Konseptor yang Terlupa
Kendati menginisiasi pembentukannya, Oerip jarang menampilkan diri di Akmil Yogya. Posisi Oerip selaku kepala Staf TKR memang tak memberinya banyak kesempatan bersua dengan para taruna.
“Tidak lebih dari dua kali. Itu pun pada awal Akmil saja. Sesudah itu semua di tangan direktur Akmil yang kemudian disebut gubernur Akmil. Taruna ya urusan dengan gubernur Akmil, bukan dengan kepala Staf TKR,” kata Sayidiman kepada Historia pertengahan Juli tahun lalu.
Menurut Sayidiman, Oerip adalah tipikal pemimpin yang rajin bekerja. Dia selalu ada di kantornya sesuai ketentuan tapi bukan orang yang suka menjadi perhatian orang.
“Pak Oerip adalah militer sejati, a no-nonsense man. Tapi dengan perasaan yang halus. Yang disampaikan beliau agar kita menjadi perwira yang baik, cinta tanah air dan bangsa, penuh rasa tanggung jawab, teguh disiplin,” kata Sayidiman.
Selama empat tahun lebih beroperasi, Akmil Yogya melantik 345 perwira muda. Semula Oerip berencana memberikan penataran kepada para perwira. Namun sambutan para perwira ternyata dingin.
Menurut sejarawan Amrin Imran, mereka yang tak menyenanginya mengatakan, Oerip terlalu dipengaruhi hal-hal yang berbau internasional; segala yang berbau internasional kerap diidentikkan dengan kolonialisme. Oerip kerap dikritik, tetapi dia tahu alasan sesungguhnya dari serangan yang dialamatkan kepadanya.
“Mereka yang menyerangnya adalah orang-orang yang tidak mampu untuk menempuh pendidikan teratur yang memerlukan otak dan pikiran,” tulis Amrin Imran dalam Jenderal Oerip Soemohardjo.
Tahun 1950, Akmil Yogya ditutup saat angkatan ketiga tengah berjalan. Alasannya, Angkatan Darat hendak fokus pada pembinaan dan pelatihan bagi perwira yang jumlahnya cukup banyak. Tujuh tahun berselang, Akmil Yogya berganti menjadi Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang.
Pada 22 Februari 1964, di pekarangan AMN, diresmikan batu peringatan untuk memperingati pendiri akademi militer tersebut: Oerip Soemohardjo. Pada batu peringatan terukir kata-kata penghormatan:
Bapak Oerip Soemohardjo
Seorang putra Indonesia
Yang menganggungkan kerja daripada kata
Yang mengutamakan dharma daripada minta
Dirgahayu! Semoga tetap hidup namanya.