Dalam film Jenderal Soedirman (2015), digambarkan suasana rapat pemilihan panglima Tentara Keamanan Rakjat (TKR) pada 12 November 1945 berlangsung hangat. Namun sejatinya, situasi dalam rapat tersebut berlangsung kacau, tidak disiplin dan sangat panas. Menurut Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, sejak awal pun sudah ada kesan bahwa rapat perwira itu tidak akan berjalan tertib. Laiknya para koboy, para peserta datang ke ruangan rapat dengan masing-masing menyandang pistol di pinggang. Belum lagi di antara mereka yang membawa samurai dan klewang.
“ Saya menyebutnya sebagai “rapat koboy-koboyan”, “ ujar Didi dalam biografinya: Pengabdian bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono.
Didi menyebut kekacauan itu terjadi justru disebabkan oleh kekurangtegasan Oerip yang menjadi pimpinan rapat. Namun dirinya paham jika Oerip tidak bisa mengendalikan para peserta rapat yang sama sekali sebagian besar masih asing bagi dirinya. “ Saya kira itu berhubung dengan situasi yang apabila tidak dihadapi secara bijaksana, malah akan tambah memanas,” ujar Didi.
Kesemrawutan semakin menjadi-jadi saat setiap orang yang tampil bicara di forum selalu diteriaki kata “jelek” lalu dipaksa untuk turun dari mimbar. Tak terkecuali, Menteri Pertahanan Suljodikusumo dipaksa untuk turun dari mimbar, walaupun ia belum selesai berpidato. “Pokoknya rapat itu jauh dari sikap kedisiplinan dari sebuah organisasi tentara,” kenang mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut.
Tiba pada sesi pemilihan Panglima Besar, suasana semakin riuh dan kacau. Setiap orang memaksakan diri untuk bicara di forum itu. Karena situasi demikian, atas usul Komandan Divisi V TKR Banyumas Kolonel Soedirman, maka rapat diskor selama beberapa saat. Namun begitu dimulai kembali, rapat ternyata langsung diambilalih oleh Kolonel Hollan Iskandar. “ Saya pikir sebagai seorang bekas anggota PETA, sejak semula Hollan memiliki visi untuk menjadikan Panglima Besar TKR datang dari kalangan PETA,” ujar Rushdy Hoesein.
Kecurigaan Rushdy berkelindan dengan analisa Salim Haji Said. Menurut pakar militer Indonesia tersebut, bukan rahasia lagi, jika kala itu para perwira TKR alumni PETA “mencurigai” Oerip sebagai pro Belanda. Mengutip hasil wawancara dirinya dengan Nasution, Said menyebut sesungguhnya telah terjadi “kudeta” terhadap Oerip dalam rapat itu. “ Pak Nas bilang ke saya: ia sangat mencurigai PETA-PETA itu sudah melakukan rapat gelap di luar sebelumnya,” ujar Said kepada Historia.
Di bawah pimpinan Hollan Iskandar maka proses pemilihan pun dilakukan lewat cara pemunggutan suara. Delapan kandidat pun bermunculan di papan tulis. Mereka adalah Sri Sultan Hamenkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, Pardi dan Nazir.
Selanjutnya, proses pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat dan mengacungkan tangan satu persatu, begitu nama para kandidat disebutkan oleh panitia. Lewat cara tersebut, sesi pemilihan berlangsung sampai tiga kali. Sesi pertama dua orang kandidat gugur. Berikutnya, dua orang kandidat gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, Soedirman unggul dengan 22 suara mengatasi perolehan Oerip yang hanya 21 suara.
Sejatinya, kemenangan Soedirman tak lepas dari peran Kolonel Muhamad Nuh yang menyumbangkan 6 suara. Saat diwawancarai oleh Noor Johan Nuh (yang tak lain adalah putra dari Muhamad Nuh), Nasution membenarkan bahwa suara wakil dari TKR Sumatera itu secara signifikan adalah penentu gagalnya Oerip menjadi Panglima Besar TKR.
“ Kolonel Muhammad Nuh hadir membawa surat dari Koordinator/ Organisator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani yang menetapkan dirinya sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra,” ungkap Noor Johan dalam blog pribadinya.
Konfrensi ala koboy itu berakhir dengan disepakatinya Soedirman selaku Panglima Besar TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo tetap duduk sebagai Kepala Staf Umum TKR. Menurut sejarawan Moehkardi, terpilihnya Soedirman tidak terlepas dari nama harumnya saat bersama pasukannya berhasil menghalau Inggris di Ambarawa dan Magelang beberapa bulan sebelum momen pemilihan Panglima Besar TKR itu berlangsung.
” Itu harus diakui, sedang nama Pak Oerip saat itu hanya populer di kalangan anggota TKR eks KNIL saja,” ungkap mantan dosen sejarah di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) tersebut.