Masuk Daftar
My Getplus

Terjebak di Plataran (2)

Kisah sekelompok kadet Akademi Militer Yogyakarta yang terlibat pertempuran brutal dengan Kompi ke-3 Batalyon 1-15 RI Tentara Kerajaan Belanda

Oleh: Hendi Johari | 06 Mar 2021
Pasukan Belanda dari Batalyon 1-15-RI tengah beraksi di palagan Yogya (Arsip Nasional Belanda)

Eks Sersan J.A. Roubos masih ingat kejadian itu. Suatu pagi dia dan anak buahnya dari Peleton 2 Kompi ke-3 Batalyon I Resimen Infanteri ke-15 melakukan raid (penyerbuan mendadak) ke suatu basis gerilyawan Republik. Akibat aksi itu, kubu TNI menjadi kocar-kacir dan panik. Tanpa ampun pasukan Roubos terus memburu mereka dengan mengikuti jejak mundur para gerilyawan tersebut: merambah sawah-sawah yang padinya sudah setinggi kira-kira 50-70 cm.

“Dalam gerakan pembersihan itu, Roubos mengaku berhasil menewaskan seorang Jepang dengan bayonet-nya. Ini jelas agak ganjil, karena di tubuh MA tak ada seorang pun eks tentara Jepang” kata sejarawan Moehkardi.

Mantan dosen sejarah AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) itu mendengar langsung pengakuan tersebut dari rekaman wawancara Roubos dengan Kolonel C.A. Heshusius. Pada April 1977, Kepala Sectie Krijgsgeschiedenis Koninklijke Landmacht (Seksi Sejarah Perang Tentara Kerajaan Belanda) tersebut mengirimkan rekaman itu kepada Moehkardi.

Advertising
Advertising

Baca juga: Desersi Jepang Masa Perang Kemerdekaan

Menurut sumber Belanda tersebut, raid ke Tlatar (Plataran) merupakan salah satu bukti keberhasilan operasi pembersihan militer Belanda di Indonesia. Bahkan karena keberhasilan itu pula, pada 1950 Sersan Roubos diganjar oleh pemerintah Belanda dengan penghargaan bintang De Bronzen Leeuw.

De Bronzen Leeuw merupakan bintang yang dianugerahkan oleh Kerajaan Belanda atas seseorang yang telah memperlihatkan keberaniannya dan kekuatan kepemimpinannya dalam suatu pertempuran yang menguntungkan pihak militer Belanda.

Berdasarkan wawancara Heshusius yang dikutip oleh Moehkardi dalam bukunya Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945—1949 itu, disebutkan sebenarnya pasukan Belanda yang terlibat dalam raid di Plataran jumlahnya tidak memadai yakni 75 orang (setengah kompi).  Jumlah itu masih dibagi menjadi 3 peleton tidak lengkap yang berisi masing-masing 25 prajurit.

“Tiap peleton diperkuat dengan 3 Bren dan masing-masing memegang Sten, Karabein dan granat,” ungkap Moehkardi.

Dalam serangan itu, Peleton II pimpinan Roubos menjadi ujung tombak dengan melakukan gerakan dari arah selatan. Sementara Peleton I berada di sayap kanan dan bergerak dari arah timur sedangkan Peleton III menyokong gerakan Peleton II dari belakang. Peleton III inilah yang kemudian melakukan gerakan meningkar lewat Karangbatu di utara terus ke timur dan menghabisi anak-anak MA.

Saat bergerak ke Plataran itulah tetiba suara Bren menyalak dari kubu TNI dan sempat membuat gerakan pasukan Belanda terhenti. Namun anehnya, itu terjadi hanya sejenak. Rupanya suara senjata berat tersebut berasal dari Letnan Dua Utoyo Notodirjo.  

Utoyo yang melihat situasi sangat kacau berinsiatif mengambil Bren dari seorang kadet MA yang terluka lantas memberikan perlindungan kepada kawan-kawannya yang tengah melakukan gerakan mundur tak teratur. Namun malang saat menembakan senjata Bren itulah  sebutir peluru menembus helm baja Utoyo hingga menyebabkan dia tewas seketika.

Baca juga: Terjebak di Plataran (1)

Nasib serupa juga dialami V.C. Husein. Tidak sempat mundur dari Plataran, Husein justru bertemu dengan Roubos dan anak buahnya di tengah sawah. Maka terjadilah pertarungan jarak dekat dengan menggunakan bayonet yang berakhir dengan terbunuhnya Husein.

Husein yang memiliki ciri fisik dan sikap seperti seorang serdadu Jepang rupanya dikira serdadu Jepang beneran oleh Roubos. Bisa jadi karena itulah, serdadu-serdadu Belanda (termasuk Roubos) yang mengepungnya memperlakukan jasad Husein begitu brutal: kepalanya dipenggal dan tak pernah ditemukan kembali.

“Faktor dendam karena pernah dikalahkan Jepang pada 1942 menyebabkan serdadu-serdadu Belanda itu berlaku sadis terhadap Husein,” ungkap Moehkardi dalam suatu wawancara dengan saya pada 2017.

Selain Utoyo dan Husein, ikut gugur juga beberapa alumni dan kadet MA lainnya yakni Letnan Dua Sukoco A, V.C. Soemartal, V.C. Sarsanto, V.C. Soeharsoyo, V.C. Soebijakto ditambah seorang prajurit TP (Tentara Pelajar) bernama Marwoto. Sementara V.C. Sutopo dan V.C. Sunarto B mengalami luka yang cukup parah.

Baca juga: Lelucon Para Kadet

Insiden Plataran menjadi pelajaran terbaik bagi para alumni dan kadet MA bahwa suatu kesatuan pasukan tanpa adanya komando yang jelas hanya akan membinasakan pasukan tersebut. Dan memang saat terjadi peristiwa itu, semua kekuatan TNI yang berkumpul di sana memang sama sekali tak terkoordinasi karena niat mereka hanya singgah dan lewat saja.

“Jadi begitu mereka panik, anak-anak MA langsung digiring ke killing ground (kawasan pembantaian),” ungkap Moehkardi.

Sebaliknya bagi pihak militer Belanda sendiri, Insiden Plataran adalah “keuntungan yang tak disengaja”. Apa sebab? Karena seperti dikatakan oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya, pertempuran itu sebenarnya sama sekali tak pernah direncanakan.

“Karena sasaran gerakan pembersihan Belanda semula adalah Kringinan yang disangka masih menjadi markas gerilya MA,”ungkap Daud.

Hingga kini masyarakat Plataran selalu mengenang insiden tersebut. Mereka menghormati alumni dan kadet MA yang gugur sebagai para pahlawan yang pemberani terutama V.C. Husein. Secara turun temurun dikisahkan oleh orang-orang Plataran bagaimana saat menjelang detik-detik kematiannya yang tragis Husein mengamuk bak seekor banteng ketaton (terluka).

Begitu berkesannya masyarakat Plataran terhadap sosok lelaki Sunda kelahiran Sukabumi tersebut hingga namanya diabadikan sebagai nama mata air di kampung itu.

TAG

pertempuran plataran perang kemerdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Saat Pelantikan KSAD Diboikot Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Memori Getir Pembantaian Hama Bambang Utoyo, KSAD Bertangan Satu Jenderal Belanda Tewas di Lombok