Masuk Daftar
My Getplus

Pengungsian Lena Mokoginta dari Desa ke Desa

Perang Kemerdekaan memaksa Lena, istri kepala Kepolisian, mengungsi dari desa ke desa agar bisa berkumpul kembali dengan suaminya.

Oleh: Nur Janti | 11 Jul 2020
Lena Mokoginta-Soekanto berdiri di belakang Presiden Soekarno. (Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi).

HADIDJAH Lena Mokoginta-Soekanto lahir di Desa Kotabangon, Sulawesi pada 23 Mei 1912. Ayahnya pejabat Rijkbestuur yang dalam bahasa setempat disebut Yogugu. Sementara, ibunya merupakan putri sulung Raja Bolaang Mongondow.

Lena bersekolah di HIS Kotamobagu lalu melanjutkan ke MULO di Tondano, Sulawesi Utara selama enam bulan sebelum pindah ke MULO Pasar Baru. Ketika menginjak kelas dua, Lena pindah ke Christelijke MULO di Gang Menjangan. Di sinilah Lena berkawan dengan Johanna Tumbuan yang kemudian dikenal dengan Jo Masdani. Lena juga bergabung dengan Jong Celebes yang kala itu diketuai Empu Senduk (dr. Senduk).  

Ketika organisasi kedaerahan itu difusikan mejadi Indonesia Muda (IM), Lena terpilih menjadi ketua peretemuan tersebut. Di IM ia akrab dengan Soenarti, yang kemudian hari menikah dengan Soelistio Wironagoro. Soenartilah yang mengenalkan Lena pada kakaknya, Soekanto.

Advertising
Advertising

Baca juga: Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara

“Tadinya terjadi perang batin ketika aku hendak menentukan pilihan hati, siapa yang akan menjadi suami. Hati sudah tertambat pada Mas Kanto tapi sayang dia seorang pegawai pemerintah Belanda,” kata Lena dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi. 

Keraguannya terhapuskan setelah dinasihati Mr. Sartono. Kata Sartono, pilihan Soekanto justru mendapat dukungan dari para pemimpin pergerakan karena bila Indonesia merdeka kelak, mereka pasti membutuhkan personil yang ahli di bidang masing-masing. “Mendengar hal itu, mantaplah hatiku untuk memilih Mas Kanto sebagai suamiku,” kata Lena.

Di masa pendudukan Jepang, Lena dan Soekanto tinggal di asrama Sekolah Kepolisian di Sukabumi. Soekanto mengajar di sana. Sementara, Lena bergabung dengan Palang Merah di Rumahsakit Bunut, membantu dr. Abu Hanifah dan mengajar baca-tulis serta keterampilan lain pada perempuan muda buta huruf.

Setelah Proklamasi, Soekanto ditunjuk Bung Karno untuk membentuk polisi nasional yang disebut Jawatan Kepolisian, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disusun Awaloedin Djamin dan G Ambar Wulan, disebutkan, ketika ibukota pindah ke Yogyakarta, Kementrian Dalam negeri juga memindahkan kantornya, namun ke Purwokerto. Kantor Jawatan Kepolisian Negara yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga dipindah ke Purwokerto. Soekanto beserta staf memulai tugasnya di sana.

Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata

Kebetulan, ayah dari ajudan Kepala Kepolisian Negara Toti Soebianto menjabat sebagai Patih Banyumas yang berkedudukan di Purwokerto. Raden Mochammad Poerwodirejo (ayah Toti Soebianto) kemudian menyediakan tempat untuk dijadikan markas kepolisian negara. 

Lena mengikuti Seokanto pindah ke Purwokerto. Seminggu sekali, Soekanto berangkat ke Yogyakarta untuk melapor pada Bung Karno dan Hatta.

Pada Juli 1947, tentara Belanda membombardir Purwokerto. Penduduk kalang kabut, termasuk tantara Indonesia. Lena sendiri terpisah dari Soekanto yang sedang menghadap presiden di Yogyakarta. Lantaran tak memungkinkan bertahan di Purwokerto, ia pun berjalan kaki ke Yogyakarta dan mengungsi dari desa ke desa bersama pembantunya, Mbok Irah.

“Di desa pertama yang kami singgahi aku bertemu seorang teman, Zus Do Walandouw dan suaminya yang seorang dokter hewan, setelah berjalan dua hari kami bertemu dengan Keluarga Mudang,” kenang Lena.

Dalam perjalanan bersama keluarga Mudang, Lena bersimpati pada Nyonya Mudang, seorang putri Solo, yang harus meniti terjalnya tebing sungai. Namun Lena yang ingin lekas sampai ke Yogyakarta harus meninggalkan keluarga Mudang karena mereka harus beristirahat lantaran Nyonya Mudang sakit.

Baca juga: Lena Soekanto Mokoginta Pendiri Bhayangkari

Wajah Lena yang tak terlihat seperti orang Jawa membuat penduduk suka menanyakan identitasnya selama di perjalanan. Mbok Irah selalu pasang badan dan menjawab dalam bahasa Jawa bahwa Lena merupakan menantunya. 

Ketika keduanya sampai di sebuah desa, penduduk sudah mengungsi. Mereka lantas menginap di rumah lurah yang hanya dijaga oleh dua orang suami-istri lanjut usia. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Ketika sedang beristirahat di tepi sungai, Lena dikagetkan dengan kedatangan dua orang pemuda. Karena takut, Lena berusaha sembunyi namun kemudian diteriaki dua pemuda itu. 

“Bu Kanto, kami disuruh Bapak mencari Ibu!” teriaknya dari jauh. Lena kemudian diantar ke Wonosobo, kemudian melanjutkan perjalanan ke Magelang. Di sana sudah menanti suaminya. Begitu berkumpul lagi dengan Soekanto, Lena berangkat menuju Yogyakarta.

Di Yogya, mereka tinggal di kediaman Bung Hatta yang sudah ditinggal pergi pemiliknya mengungsi ke Madiun. Lena dan Soekanto mendapat kamar di depan. Alangkah senangnya Lena karena bisa berbaring di kasur setelah beberapa hari berjalan dan tidur tidak menentu.

TAG

polisi perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kapolri Pertama Itu Bernama Soekanto