Masuk Daftar
My Getplus

Pembantaian di Puri Cakranegara

“Cawe-cawe” Belanda di Pulau Lombok meninggalkan pembantaian di Puri Cakranegara. Harta rampokannya diangkut ke Eropa.

Oleh: Randy Wirayudha | 31 Okt 2023
Sisa bangunan bale kambang yang pada perang 1894 jadi gudang senjata dan mesiu bagi pasukan Puri Cakranegara (BPCB Bali/kemdikbud.go.id)

WARISAN benda bersejarah Indonesia asal Pulau Lombok untuk kesekian kalinya dipulangkan dari Belanda. Sebanyak 335 harta karun Lombok jadi bagian dari 472 benda bersejarah yang direpatriasi, di mana serah terimanya sudah diresmikan pada 10 Juli 2023 silam.

Sebelumnya, Kakawin Nāgaraktâgama yang diangkut ahli sastra Dr. Jan Laurens Andries Brandes dari Lombok ke Belanda, juga sudah dipulangkan ke tanah air pada 1970-an berbarengan dengan mahkota Lombok. Ratusan harta karun Lombok itu juga turut ditampilkan dalam pameran di Museum Nasional Jakarta sepanjang 27 November-10 Desember 2023.

“Ada persetujuan kebudayaan (RI-Belanda) 1968, lalu dibentuknya komite 1975 dan dari Belanda itu mulai dikembalikan naskah Nāgaraktâgama dari Mpu Prapanca. Dikembalikan 1978 (bersamaan) arca Pradnyaparamita, naskah-naskah Lombok, Mahkota Lombok, dan beberapa benda milik Pangeran Diponegoro,” ujar I Gusti Agung Wesaka Puja, ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda dalam program “Dialog Sejarah: Ada yang Mau Pulang” di akun Youtube Historia.id, 28 Juli 2023.

Advertising
Advertising

Ratusan harta karun dan kitab kuno itu merupakan benda bersejarah hasil rampokan Belanda kala melancarkan ekspedisinya pada akhir 1894. Ekspedisi tersebut mengakhiri kekuasaan para raja Bali di Pulau Lombok.

Baca juga: Melongok Harta Karun Lombok

Beberapa harta karun Lombok yang dipulangkan ke Indonesia (Riyono Rusli/Historia)

Ekspedisi Diplomasi, Ekspedisi Pembalasan

Pulau Lombok sejak paruh kedua abad ke-19 dikuasai para bangsawan Bali-Mataram atau kadang disebut Kerajaan Mataram Karangasem. Meski begitu, kekuasaannya tak lepas dari belenggu kolonialisme Belanda.

“Pada 1843 pemerintah Hindia Belanda memiliki perjanjian dengan raja-raja Bali-Mataram yang menyebutkan pulau (Lombok) itu merupakan wilayah Hindia Belanda meski pemerintahan lokalnya diserahkan kepada para raja. Kendati begitu, Belanda selalu menaruh curiga dan khawatir mereka beraliansi dengan Inggris karena para raja Bali-Mataram memiliki kapal-kapal uap dan senjata api yang dibeli dari Singapura,” tulis Carsten Stahn dalam Confronting Colonial Objects: Histories, Legalities, and Access to Culture.

Kesempatan untuk melakukan pasifikasi dan penaklukan total baru hadir pada 1891. Tepatnya ketika datang surat dari tujuh pelarian datu suku Sasak, penduduk muslim Lombok, kepada residen Bali Utara dan Lombok tertanggal 9 Desember 1891. Surat yang berisi keluhan akan penindasan para penguasa Bali-Mataram itu diteruskan ke pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta), hingga parlemen Belanda di Den Haag.

“Para (penduduk) Muslim Sasak memberontak terhadap pajak yang tidak adil, eksploitasi, dan penindasan oleh penguasa Bali, Anak Agung Gde Ngurah Karangasem. Pemerintah kolonial lalu mendapat dukungan parlemen untuk intervensi, di mana langkah pertamanya Belanda memblokade jalur impor dan suplai senjata dari Singapura,” tambahnya.

Baca juga: Pasang Surut Hubungan Islam-Hindu di Bali

Konflik internal ini dianggap Belanda sebagai kesempatan untuk pasifikasi Lombok. Toh Belanda juga ingin menguasai secara total jalur perdagangan di perairan Bali dan Lombok sekaligus ekspansi kontrol politik.

Maka Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck mengonsolidasi pasukan ekspedisi dari Batavia dan Surabaya untuk berangkat ke Lombok pada 30 Juni 1894. Sebagaimana diungkapkan ungkap Willard A. Hanna dalam Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History, banyak dari anggota pasukaanya merupakan tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) veteran Perang Aceh.

“Ekspedisinya dipercayakan di bawah komando Mayjen (Jacobus Augustinus) Vetter dengan Mayjen P.H. van Ham sebagai deputinya. Armada ekspedisinya berkekuatan empat kapal perang dan 11 kapal angkut. Pasukan daratnya terdiri dari 107 perwira Belanda, 1.320 prajurit (termasuk 175 kavaleri), 948 pasukan KNIL, 216 pelayan, 64 pengawas, dan 1.718 buruh paksa,” tulis Hanna.

General-Major Jacobus Augustinus Vetter (tengah, duduk) bersama para para perwiranya di pasukan ekspedisi (Wikipedia)

Kekuatan Belanda itu jelas tak sebanding dengan jumlah pasukan Raja Agung Ngurah Karangasem. Catatan Kapten W. Cool dalam De Lombok Expeditie, Kerajaan Mataram Karangasem setidaknya memiliki 6.000 prajurit ditambah pasukan bantuan dari Bali pimpinan Gusti Jelantik berkekuatan 2.000 prajurit dengan persenjataan modern.

Armada ekspedisi Belanda tiba di pesisir Lombok pada 5 Juli 1894. Tak ingin terlibat konfrontasi langsung, Jenderal Vetter lebih dulu mengirim utusan yang membawa ultimatum buat Raja Agung Ngurah Karangasem di Puri Cakranegara.

“Ultimatumnya berisi beberapa syarat, termasuk di antaranya pengalihan kekuasan raja kepada putranya, Anak Agung Petut (Ketut, red.) yang dianggap lebih kooperatif dengan kepentingan-kepentingan Belanda. Syarat lainnya adalah pengaturan untuk membuat perjanjian baru dengan pemerintah kolonial dan membayar ganti rugi ongkos ekspedisi,” sambung Stahn.

Baca juga: Pasang-Surut Hubungan Bali dengan Bangsa Asing

Jenderal Vetter menuntut pesan itu dijawab pada 6 Juli saat matahari terbenam. Raja Agung Ngurah Karangasem lantas mengirim utusannya untuk meminta penundaan selama tiga hari. Tapi karena Jenderal Vetter bersikukuh pada deadline ultimatum pertamanya, ia memerintahkan pasukannya mendarat di Ampenan pada 7 Juli.

“Dalam perjalanan dari Ampenan menuju Puri Cakranegara, pasukan Jenderal Vetter bertemu pasukan Gusti Jelantik. Gusti Jelantik lalu terlibat pembicaraan yang hangat dengan para perwira Belanda dan berjanji akan menemui mereka lagi selepas Gusti Jelantik menemui raja dan (putra mahkota) Gusti Made,” sambung Hanna.

Anak Agung Ketut (kiri) dan Gusti Jelantik (Wikipedia)

Pasukan Belanda lagi-lagi memberi ultimatum kepada Gusti Jelantik dan raja dengan tenggat waktu 11 Juli. Menjelang jatuh tempo ultimatum, akhirnya datang utusan dari Puri Cakranegara.

Raja akhirnya menerima tuntutan Belanda dan memerintahkan putranya, Anak Agung Gusti Made, yang menentang Belanda serta mengotaki penindasan rakyat Sasak, untuk melakukan bunuh diri. Sesuai tuntutan awal, Anak Agung Ketut pun dijadikan penguasa baru Lombok pada 12 Juli 1894.

Baca juga: Fotografer Bersaudara dalam Perang Lombok dan Aceh

Di luar dugaan, Anak Agung Ketut kemudian justru berbalik 180 derajat memandang benci Belanda. Gegaranya ia membaca seluruh isi tuntutan Belanda dengan dibantu penerjemah. Sebelumnya, lantaran hanya bisa berbahasa Bali Anak Agung Ketut nyaris tak tahu apa-apa tentang tuntutan Belanda yang dituliskan dalam bahasa Melayu-Jawa.

Anak Agung Ketut yang marah pun melancarkan serangan mendadak terhadap kamp-kamp pasukan Belanda di sekitar Puri Cakranegara pada senja, 25 Agustus 1894. Jenderal Vetter masih bisa kabur menyelamatkan diri, sementara deputinya, Jenderal Van Ham tewas.

“Hampir 100 prajurit Belanda tewas dan 250 lainnya terluka. Sisanya ditawan, ditelanjangi, disiksa, dan dibunuh dengan brutal. Serangan itu menandai salah satu kekalahan paling memalukan Belanda di abad ke-19. Oleh media massa Belanda, peristiwa itu dicap sebagai ‘Pengkhianatan Lombok’,” lanjut Stahn.

Lukisan serangan Belanda ke Puri Cakranegara karya Jan Hoynck van Papendrecht (Tropenmuseum)

Gubernur Jenderal Van der Wijck yang mendengar kabar itu langsung naik pitam. Pasukan ekspedisi kedua segera ia kirim. Bala bantuan yang lebih besar untuk menyokong Jenderal Vetter itu tiba pada 1 September 1894.

“Bala bantuan yang datang di bawah pimpinan (Jenderal) M. Segov dan Kolonel J.J.K. De Moulin yang diperkuat tentara dari Bangkalan di bawah pimpinan Letkol Raden Mayangkoro,” tulis buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat keluaran Depdikbud 1978.

Hingga 29 September, pasukan Belanda memberangus kubu-kubu pertahanan Bali-Mataram. Pada 19 Oktober, mereka berhasil menempatkan moncong meriam-meriamnya mengarah ke kota Mataram. Selama pengepungan, Belanda membombardir Puri Cakranegara selama berminggu-minggu hingga 17 November.

“Kejatuhan kota Mataram menjatuhkan moril pasukan Bali dan menimbulkan panik di Cakranegara. Banyak penduduk di Cakra yang ingin menyerah, yang lain berusaha mengungsi ke gunung-gunung, sebagian mencari perlindungan pada rakyat Sasak dengan berjanji masuk Islam,” tambah buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat.

Baca juga: Banjir Darah di Puri Smarapura

Baru pada 18 November pasukan Belanda merangsek masuk ke Puri Cakranegara. Raja Anak Agung Ketut ikut tewas dengan gagah berani di muka istananya. Sementara beberapa keluarganya, termasuk Anak Agung Karangasem, mengungsi ke pedalaman.

Di hari itu, kota Mataram, Puri Cakranegara, dan segenap Lombok jatuh ke tangan Belanda. Bayarannya lima perwira dan 44 prajurit Belanda tewas, serta 106 lainnya terluka. Adapun di pihak Bali-Mataram tercatat 800 jiwa tewas dibantai Belanda di Puri Cakranegara.

Seiring operasi-operasi “pembersihan” hingga Desember 1894, Belanda merampok harta kerajaan dan sejumlah naskah kuno, termasuk Kakawin Nāgaraktâgama, dari Puri Cakranegara. Sebagian dijual untuk menyantuni keluarga pasukan KNIL yang tewas, sebagian lagi diangkut ke Belanda.

Baca juga: Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL

 

TAG

lombok penjajahan-belanda bali hindia-belanda pembantaian repatriasi

ARTIKEL TERKAIT

Memori Getir Pembantaian Hama Karya Seniman Belanda yang Tertinggal di Istana Bogor Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Keris Pusaka dari Puri Smarapura Rotterdam Pulangkan 68 Artefak Jarahan ke Indonesia I Nyoman Ngendon, Perupa Pita Maha yang Terjun ke Medan Perang Jenderal Belanda Tewas di Lombok Hilangnya Pusaka Sang Pangeran Seputar Prasasti Pucangan Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi