HINGGA kini, Bali masih menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia. Bagi warga asing tak lengkap rasanya jika mengunjungi Indonesia tanpa menikmati suasana Bali. Gelar salah satu ‘surga dunia’ pun tak ayal disematkan kepada pulau di sebelah timur Jawa tersebut.
Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukan bahwa tiap tahunnya jumlah kunjungan pelancong asing ke Bali selalu meningkat. Hingga Juli 2019, dilansir bali.bps.go.id, telah ada 3,4 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali.
Walau menjadi destinasi terfavorit di Indonesia, tidak semerta-merta menjadikan Bali sebagai daerah yang aman. Dari daftar kota-kota teraman tahun 2019 yang dipublikasikan Majalah CEOWORLD, di situs resminya ceoworld.biz, bulan Agustus lalu, Bali menempati urutan 212 dari 334 kota di dunia.
Namun sejarah bangsa ini mencatat rakyat Bali abad ke-16 hingga abad ke-18 merupakan sosok masyarakat yang ramah. Jaminan perlindungan dan keamanan didapatkan oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang berkunjung ke sana. Mereka membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi para penjelajah itu membangun kehidupannya di Pulau Dewata.
Baca juga: Bali Sebelum Dikuasai Majapahit
Hubungan Erat
Kontak pertama rakyat Bali dengan bangsa asing dimulai sekitar abad ke-16. Kapal penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tercatat merapat di pantai Bali pada 25 Januari 1597. Selama 30 hari lamanya de Houtman beserta anak buahnya menjelajah sebagian besar pulau itu.
Ia lalu mencatat semua hal yang dilihat dan didengarnya dalam sebuah laporan perjalanan, yang kemudian oleh peneliti Belanda Cornelis Lekerkerker dalam Bali en Lombok: Overzicht der Litteratuur Omtrent deze Elianden tot einde 1919, disebut Bali Verslag.
Menurut Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali, Cornelis de Houtman dan awak kapalnya diterima dalam suasana yang baik oleh masyarakat Bali. Hal itu tentu membuat de Houtman terkejut. Mengingat selama ini kedatangannya selalu mendapat penolakan dari masyarakat di daerah-daerah yang ia singgahi.
“Kunjungan Cornelis de Houtman di beberapa tempat sebelumnya boleh dikatakan kurang berhasil. Ia disambut dengan penuh kecurigaan oleh masyarakat setempat sehingga menimbulkan beberapa insiden,” tulis Sutaba.
Baca juga: Upaya Memajapahitkan Bali
Keramahan penguasa serta rakyat Bali diterima baik oleh de Houtman. Ia lalu mengutus dua orang bawahannya, Lintsgentsz dan Manuel Rodenberch untuk menyampaikan rasa hormat dan memberikan sejumlah buah tangan kepada Raja Gelgel.
Dalam Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok: Pertjobaan sebuah Studi Hukum Internasional Regional di Indonesia, E. Utrecht menyebut jika tindakan de Houtman itu merupakan percobaan pertama Belanda menjalin hubungan diplomasi dengan salah seorang raja di Pulau Bali.
“Namun kesempatan ini rupanya belum dimanfaatkan untuk mengadakan suatu traktat atau kontrak antara kekuatan politik Belanda dengan salah seorang raja Bali,” ungkap Sutaba.
Pada saat de Houtman meninggalkan Bali, Manuel Rodenberch dan seorang kawannya, Yacob Claess, tidak turut serta. Keduanya memutuskan untuk tinggal lebih lama di Bali. Mereka bermaksud meneliti masyarakat di sana dan membuat laporan yang lebih rinci mengenai kehidupan di Bali.
Pada 1601, Belanda singgah di Bali untuk kedua kalinya. Kali ini Cornelis van Heemskerck yang dipercaya memegang kendali kapal. Meski beda pimpinan, kedatangan orang-orang Belanda ini tetap disambut dengan hangat oleh masyarakat Bali.
Baca juga: Riwayat Islam di Bali
Menurut Utrecht kedatangan Heemskerck merupakan tindak lanjut dari hubungan sebelumnya. Dalam kesempatan ini Heemskerck menyampaikan surat dan hadiah dari Pangeran Maurits (memerintah 1590-1625) untuk penguasa Bali.
Sebagai balasan, raja Bali menghadiahi Heemskerck seorang gadis bangsawan Bali. Walau mulanya sang kapten menolak, namun berkat saran dari Rodenberch akhirnya diterima pula.
“Sebab bila hadiah itu ditolak berarti suatu penghinaan kepada raja Bali, sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan yang telah terjalin baik itu.”
Mengalami Keretakan
Seiring waktu berjalan, hubungan Bali dengan orang-orang Eropa semakin erat terjalin, terutama sekitar abad ke-17 dan abad ke-18.
Hal itu disebabkan oleh peningkatan jumlah perdagangan budak di Bali. Umumnya para budak ini dikirim ke tempat-tempat strategis yang menjadi pusat pemerintahan Belanda, seperti Batavia, Maluku, dan Sumatera.
Di kalangan orang-orang Eropa budak dari Bali cukup terkenal. Budak laki-lakinya dikenal memiliki kesetiaan yang besar dan keinginan belajar yang tinggi. Sementara budak perempuan Bali dikenal sebagai pengasuh yang baik, serta pandai dalam melakukan perawatan kesehatan.
Baca juga: Pasang Surut Hubungan Islam-Hindu di Bali
Setelah H.W. Daendels (1808--1811) menduduki jabatan gubernur jenderal, Belanda memulai serangkaian penguasaan di Nusantara, tidak terkecuali Bali.
Daendels berusaha mendirikan pemerintahan kolonial di sana. Ia memulainya dengan mengirim Van den Bahl sebagai konsul dan pengawas perdagangan di Bali.
Ketika Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengambil alih kekuasaan, peraturan perdagangan budak di Bali dihapuskan. Bukannya senang, hal itu malah mendapat reaksi keras dari raja Buleleng dan Karangasem. Dua kerajaan itu lalu melakukan serangan terhadap orang-orang Inggris di Banyuwangi.
Mengetahui penyerangan itu, Raffles merespons balik dengan menundukkan Buleleng dan Karangasem. Setelah itu kerajaan-kerajaan di Bali menyutujui gagasan penghapusan perbudakan di wilayahnya.
“Namun demikian rupanya perdagangan budak masih berlangsung terutama oleh orang-orang Cina,” ungkap Utrecht.
Tahun 1817 rombongan Belanda pimpinan Van den Broek tiba di Bali. Ia bermaksud mendirikan pangkalan dagang di sana. Namun, usahanya itu mengalami kegagalan karena sikap raja-raja Bali yang mulai berubah terhadap orang-orang Eropa.
Kesalahpahaman yang sebelumnya jarang terjadi pun kini menjadi hal yang lumrah, dan kecurigaan-kecurigaan terhadap orang-orang Eropa mulai menumpuk di dalam diri rakyat Bali.
Baca juga: Dalam Sistem Tanam Paksa, Petani Ditindas Belanda dan Pejabat Bumiputera
Tahun 1824, melalui perantara pedagang Arab, Belanda berusaha membujuk raja-raja Bali membuka wilayahnya untuk perdagangan mereka. Tawaran tersebut ternyata ditolak oleh sebagian besar raja-raja Bali.
Pada 1827, J.S. Wetters berhasil mendapatkan kepercayaan dari para penguasa Bali. Ia pun akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengatur perdagangan di pulau itu.
Rupanya kelonggaran dari penguasa Bali itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperlemah hukum di Bali. Mereka mencoba menanamkan kekuasaan mereka secara mutlak di Bali. Namun, berbagai usaha pelemahan itu selalu berujung kegagalan.
“Pada saat itu Bali hanya mengenal satu hukum saja, yaitu hukuman mati. Di samping itu kesewenang-wenangan seorang raja tidak dapat dirubah sedikitpun,” tulis Sutaba.
Puncak retaknya hubungan Belanda dengan rakyat Bali terjadi saat para kolonial itu mencampuri urusan internal kerajaan-kerajaan di Bali.
Pemerintah Belanda sebelumnya telah memutuskan untuk memperoleh pengaruh politik di sana. Bagi mereka cara terbaik untuk melakukannya hanyalah dengan turut ambil bagian di dalam pemerintahan raja-raja Bali.
Sebagian penguasa dan rakyat yang tidak menghendaki hal itu terjadi akhirnya menentang keras tindakan orang-orang Belanda.
“Usaha Belanda untuk ikut berperan dalam pemerintahan kerajaan Buleleng tampak dalam berbagai perjanjian. Tujuan sebenarnya ialah untuk menjerat secara diplomatis supaya Bali dapat dijajah dengan mudah tanpa mempergunakan intervensi bersenjata karena yang terakhir ini akan memerlukan biaya dan kurban yang besar,” tulis Sutaba.
Baca juga: Mitos 350 Tahun Penjajahan