Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Garda Bahari di Awal Revolusi

BKR Laut, embrio TNI AL, garda terdepan di utara Jakarta setelah Proklamasi kemerdekaan. Berkonflik pertama dengan Sekutu dan Belanda.

Oleh: Randy Wirayudha | 15 Sep 2019
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI, kemudian TNI AL) di Cirebon siap menghadapi serangan Sekutu, Agustus 1946. (IPPHOS/ANRI).

KETIKA berpidato menyambut HUT TNI AL ke-74 pada Selasa, 10 September 2019, KSAL Laksamana Siwi Adji menekankan fakta historis bahwa TNI AL berembrio dari kekuatan rakyat. “Bersama rakyat, TNI AL siap membangun SDM unggul, pondasi Indonesia Maju,” ujar Laksamana Adji di dermaga Koarmada I Pondok Dayung, Jakarta Utara.

Eksisnya TNI AL, 10 September 1945, berangkat dari lahirnya Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Sejalan dengan pembentukan tentara resmi oleh pemerintah, nama itu pun selanjutnya berubah secara berurutan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dan terakhir TNI AL. 

Ia merupakan badan perjuangan yang diisi para pelaut yang digembleng sejak zaman Belanda, Jepang, ditambah para pemuda dan buruh pelabuhan di kota-kota pesisir.

Advertising
Advertising

“Selama 74 tahun TNI Angkatan Laut menunjukkan jati dirinya sebagai komponen pertahanan negara yang tangguh di tengah perubahan lingkungan strategis yang kian dinamis,” lanjut Adji dalam amanatnya selaku inspektur upacara.

Baca juga: Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia

Selaras dengannya, maka defile kali ini tak hanya diikuti satuan-satuan di TNI AL, namun juga satu barisan BKR Laut lengkap dengan atribut masa 1945. Pasukan BKR Laut memang bukan diisi para pejuang sebenarnya, namun oleh puluhan reenactor (pereka ulang sejarah) dari Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Surabaya. Kehadiran para reenactor justru mendapat tepuk tangan riuh, termasuk dari KSAL, lantaran mencerminkan pasukan laut di masa awal kemerdekaan. 

Berdirinya BKR Laut Pusat, menurut Zamzulis Ismail dan Burhanuddin Sanna dalam Siapa Laksamana R.E. Martadinata, dibidani sejumlah pelaut di kantor bekas gedung Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) Kali Besar Barat yang lantas disahkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Markas pertamanya di gedung SMA Budi Utomo, Jalan Budi Utomo (kini SMA Negeri 1 Jakarta).

“Dipelopori oleh kelompok pemuda pelaut bekas siswa dan guru SPT serta pelaut-pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisha, Akatsuki Butai yang antara lain dikoordinasikan oleh Mas Pardi, Adam, RE Martadinata, R. Soerjadi, Oentoro Koesmardjo dan Jasanatakoesoemah, pada tanggal 10 September 1945 berhasil dibentuk BKR Laut Pusat.”

Bara di Utara Jakarta

Kedaulatan republik yang baru beberapa pekan lahir mulai terusik dengan kedatangan Sekutu, 16 September 1945. Adalah BKR Laut dan para pemuda pelabuhan yang pertamakali berkontak dengan Sekutu di Tanjung Priok. Mereka datang disertai Belanda (NICA).

“Karena sikap serdadu-serdadu Inggris dan NICA sangat angkuh dan sama sekali tidak mau menghargai aparatur pelabuhan RI, maka terjadilah bentrokan senjata antara mereka dengan para pemuda pejuang (BKR Laut, red.) di sekitar Menara Air, Stasion (Stasiun Tj. Priok), dan Zeeman’s Huis (mess pelaut),” ungkap tim Dinas Sejarah Militer Kodam V Jaya dalam Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tanggerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan R.I.

Barisan BKR Laut di HUT TNI AL ke-74 oleh puluhan reenactor Bekasi, Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya. (Ist/Indra Eka Saputra).

Pasukan BKR Laut di Utara Jakarta dipimpin Matmuin Hasibuan, pemuda Batak yang sebelumnya “bos” buruh pelabuhan. Oleh Letkol Moeffreni Moe’min, pemimpin BKR Jakarta Raya, Hasibuan dan Martadinata ditunjuk jadi penanggungjawab pengamanan wilayah Utara Jakarta merangkap BKR Laut Cabang Jakarta.

Baca juga: Moeffreni Moe'min, Komandan Para Pejuang

Hasibuan bersama pasukannya baku-tembak dengan pasukan Inggris dan NICA mengakibatkan markas BKR Laut terpaksa dipindah. Menukil Sejarah Teluk Jakarta karya Dinas Museum Sejarah dan DKI Jakarta, markas BKR Laut dipindah dari gedung SMA Budi Utomo ke Gang Z, mengungsi ke kantor Jawatan Pelabuhan dan lantas ke Cilincing. Sampai awal Oktober 1945, Inggris dan NICA sudah menguasai Priok dan kemudian memperluas basis hingga ke Cilincing. 

Hasibuan dan pasukannya mendapat bantuan serdadu dari segala pelosok Utara Jakarta dan Bekasi untuk membuat perimeter pertahanan di sekitar Jembatan Kali Kresek, Cilincing. Di Jembatan Kali Kresek inilah sekira 6 Oktober 1945 pecah pertempuran pertama antara serdadu laut republik (per 5 Oktober BKR Laut berubah menjadi TKR Laut) dengan Sekutu dan NICA. Meski skala kecil, pertempuran tergolong sengit lantaran berlangsung sehari semalam. Inggris sampai mengerahkan pesawat-pesawat P-40-nya untuk mematahkan perlawanan kaum republik.

“Cilincing merupakan medan pertempuran yang menguntungkan pihak RI karena daerah penuh ditumbuhi pepohoan mangrove, banyak sungai kecil, jalannya tak beraspal, sempit dan berbelok-belok,” lanjut tim Kodam Jaya.

Baca juga: Menggelorakan Kembali Perlawanan Dahsyat di Bekasi

Perimeter di Jembatan Kali Kresek akhirnya jebol juga. Pada 10 November, Sekutu dan NICA sudah merangsek ke arah Koja, Jembatan Tinggi, dan Pasar Ikan. Sejak jebolnya “gerbang” Priok, teror-teror terhadap rakyat meningkat di berbagai pelosok Jakarta. Kondisi tersebut membuat PM Sutan Sjahrir mengeluarkan maklumat pada 19 November 1945. Seluruh satuan TKR diperintah meninggalkan Jakarta. 

Sisa TKR Laut pimpinan M. Hasibuan yang sebelumnya berbasis di Priok dan Cilincing, pun menyingkir ke Babelan, Bekasi. Mereka mengonsolidasikan kekuatan dengan Laskar Hisbullah pimpinan KH. Noer Ali di Utara Bekasi. Sementara, Martadinata dan KSAL Laksamana III Mas Pardi sudah pindah ke Yogyakarta pada 15 November 1945. 

Di Bekasi, pasukan Hasibuan lagi-lagi terlibat pertempuran sengit. Bersama Laskar Hisbullah, TKR Laut terjun di Palagan Sasak Kapuk (kini Pondok Ungu), 29 November 1945. Tiada yang menang dalam palagan ini. 

Baca juga: Prahara di Pinggir Jakarta

Beberapa hari setelahnya, KH Noer Ali prihatin dengan tertangkapnya Hasibuan oleh NICA. Hasibuan ditangkap pada 5 Desember 1945 saat berperjalanan bersama wedana Priok Hindun Witawinangun ke kantor penghubung TKR di Jalan Cilacap, Jakarta. 

“Mereka ditahan dan disiksa NICA di Kamp Polonia hingga Hindun Witawinangun tewas. Madnuin (Hasibuan) juga disiksa, namun selamat. Ia baru dibebaskan 15 Desember 1945,” tulis Ali Anwar dalam biografi KH Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang menyebut. 

Setelah Agresi Militer Belanda I, KH Noer Ali dan Hasibuan terus mundur dari Bekasi. KH Noer Ali akhirnya menyingkir ke Yogyakarta dan pasukan Hasibuan hijrah ke Tegal. 

TAG

tni tni al

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Kisah Kaki Prabowo Muda Jenderal-jenderal Madura Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Soeyono Apes Setelah Kudatuli Suluh Dumadi yang Membela Nasution Dianggap PKI, Marsudi Dibui Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib KNIL Pakai Pendeta dan Ulama