Masuk Daftar
My Getplus

Moeffreni Moe'min, Komandan Para Pejuang

Berwatak tegas namun sikapnya luwes dan egaliter, lelaki Betawi ini dihormati semua kalangan.

Oleh: Hendi Johari | 11 Nov 2018
Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min dan staf-nya Mayor Soeroto Koento. Sumber: Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati

SEJARAWAN Rushdy Hoesein punya cerita, semasa masih aktif di Resimen V Cikampek pada sekira 1947, Pramoedya Ananta Toer pernah ditugaskan untuk membuat laporan suatu pertempuran. Singkat cerita laporan telah selesai. Namun sang komandan yang dia perlukan untuk membubuhkan tanda tangannya tak jua dia temukan, sementara laporan penting itu sedang ditunggu oleh para petinggi tentara di Yogyakarta. Pram yang saat itu berpangkat sersan mayor akhirnya membuat keputusan sendiri: laporan dikirim tanpa tanda tangan pimpinan. Belakangan sang komandan mengetahui hal itu dan langsung menyembur Pram dengan teguran kemarahan.

“Saya tersinggung sekali lantas mutung dengan dunia militer,” ujar Pram seperti disampaikan kepada Rushdy pada sekira tahun 1980-an. Siapa yang menjadi komandan Pram dalam kisah itu?

Baca juga: Dihadang TKR di Dawuan

Advertising
Advertising

Dia tak lain adalah Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min, komandan Resimen V Cikampek pada awal-awal revolusi berlangsung. Terhadap sebuah keputusan yang telah diambilnya, Moeffreni memang kerap bersikap kepala batu. Dia seolah tak mengenal sikap kompromi dan tawar menawar. Seperti keputusannya yang terpaparkan dalam sebuah kisah di buku Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati. Lewat telepon dari Jakarta, saat itu  Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin meminta pasukan Moeffreni agar mengembalikan  hasil rampasan dalam pertempuran di Dawuan kepada Inggris.

“Maaf Pak, saya tidak dapat melaksanakan perintah itu,” ujar Moeffreni

“Tapi kalau tidak dilakukan, Cikampek akan dibom oleh mereka,” tukas Amir.

“Saya sudah memperhitungkannya, Pak. Di sini tiap hari telah dibom oleh mereka. bahkan hingga Tambun,” ungkap Moeffreni.

Amir Sjarifoeddin pun tak bisa berkata-kata apa lagi.

Didikan Jepang

Bisa jadi ketegasan  didapatkan Moffreni saat  dia berada dalam didikan militer Jepang. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia, Moeffreni merupakan angkatan pertama di Seinen Dojo (Balai Pendidikan Pemuda) Tangerang pada 1943. Dia satu angkatan dengan para pemuda yang kelak menjadi  para tokoh militer Indonesia seperti Supriyadi, Daan Mogot, Jono Suweno dan Kemal Idris.

Baca juga: Putra Betawi dalam Pusaran Revolusi Indonesia

Pengetahuan militer Moeffreni semakin mantap, manakala dia melanjutkan pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Boei Gyugun Kanbu RensentaiBogor. Lepas Boei Gyugun Kanbu Resentai, dia kemudian didapuk melatih calon instruktur PETA. Di sinilah dia berkenalan dengan pemuda Soeharto yang merupakan salah satu peserta pendidikan tersebut.

“Bahkan bisa dikatakan saat itu  Moeffreni cukup dekat hubungannya dengan Soeharto, “ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Pernyataan Rushdy itu didasarkan pada pengalaman Susila Budi (putra pertama Moeffreni) yang sempat bertemu dengan Soeharto waktu dia masih menjadi presiden. Susila ingat, Soeharto langsung sumringah ketika tahu bahwa dirinya adalah putra Moeffreni Moe’min.

“Nasi goreng buatan bapakmu enak sekali,” kata Soeharto.

Namun dalam biografinya, nasi goreng itu disebutkan bukanlah bikinan Moeffreni sendiri, melainkan buatan  ibunya Moeefreni. Rupanya setiap mendapatkan kiriman nasi goreng dari Mohammad Moe’min (ayah Moeffreni) yang kerap datang menjenguk, Moeffreni pasti menyisihkannya buat Soeharto.

Pemimpin BKR Jakarta

Ketika nama Moeffreni (yang sedari awal sudah digadang-gadang) tidak ada dalam daftar Pahlawan Nasional tahun ini, banyak kalangan yang kecewa. Terutama para tokoh Betawi. Bisa jadi harapan mereka agar Moeffreni diangkat menjadi Pahlawan Nasional begitu besar. Saat memperingati 73 tahun Peristiwa Lapangan IKADA dua bulan lalu, sejarawan J.J. Rizal menyatakan bahwa sejatinya pemerintah Republik Indonesia sangat pantas untuk mengangkat Moeffreni Moe’min sebagai Pahlawan Nasional.

“Saat itu, di jasnya (Moeffreni) menaruh dua dinamit dan dipinggangnya terselip pistol. Karena dia harus pasang badan saat keselamatan Bung Karno, Bung Hatta, serta anggota kabinet yang dijemput oleh Soebijanto Djojohadikoesoemo (selama rapat Ikada)," ujar Rizal di hadapan pers.

Baca juga: Yang Terlupa dalam Rapat Raksasa Ikada

Namun menurut Rushdy Hoesein, peran sebagai pengawal Sukarno-Hatta dalam Peristiwa IKADA 1945 itu hanyalah sebagian kecil jasa Moeffreni. Sesungguhnya peran signifikan Moeffreni dalam sejarah adalah saat dia memimpin Resimen V Cikampek. Di sini bisa dikatakan, Moeffreni berhasil membangun koordinasi yang kompak antara tentara dengan lasykar di front Jakarta Timur.

Keberhasilan tersebut tak lepas dari peran Moeffreni saat aktif memimpin para pemuda Jakarta menjelang terjadinya Proklamasi 1945. Bersama koleganya di Prapatan 10, lelaki Betawi kelahiran 12 Februari 1921 itu lantas mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Jakarta Raya yang bermarkas di Jalan Cilacap.

Menurut sejarawan Robert Briston Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries, Moeffreni pun memiliki jaringan yang cukup luas di luar PETA. Dia tergolong akrab dengan para jagoan dan jawara Jakarta seperti Haji Darip, Panji dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Jadi bisa dikatakan, sosok Moefreni cukup disegani oleh semua kalangan hingga saat Resimen V Cikampek ada di bawah kendalinya, situasi front Jakarta Timur (termasuk Karawang-Bekasi), perlawanan terhadap militer Inggris dan Belanda berlangsung kompak.

“Dia bisa menciptakan situasi harmonis antara tentara dan lasykar, hingga dianggap komandan oleh seluruh pejuang” kata Rushdy Hoesein.

Justru itulah yang tidak bisa dilakukan oleh Mayor Soeroto Kunto, penerus Moefreni di Resimen V Cikampek. Kendati penunjukan Mayor Soeroto Kunto sendiri dilakukan atas pilihan Moeffreni, nyatanya situasi di front Jakarta Timur sepeninggal Moeffreni menjadi kacau. Alih-alih terkendali, bentrok antara lasykar dengan tentara kerap berlangsung. Puncaknya terjadi ketika Mayor Soeroto Kunto sendiri hilang bersama empat prajurit Resimen V Cikampek lainnya di wilayah Warung Bambu (antara Karawang-Cikampek) pada 27 November 1946.

Baca juga: Yang Hilang di Tengah Revolusi

Dinusakambangkan

Lepas dari Resimen V Cikampek, Moeffreni dipindahtugaskan ke Cirebon sebagai komandan Resimen XII. Baru beberapa hari menjadi Danres XII, tugas berat sudah diterimanya dari Panglima Divisi Siliwangi untuk mengamankan berlangsung perundingan antara pihak Indonesia dengan Belanda di Linggajati dari 10-15 November 1946.

Tapi lagi-lagi Moeffreni bisa melaksanakan tugas tersebut. Bukan hanya soal pengamanan di wilayah sekitar tempat perundingan saja, dia pun berhasil “menjinakan” satu batalyon lasykar rakyat dari Karawang yang rencananya akan menyerang Linggajati.

Dengan cara persuasif, Moeffreni menjemput langsung kedatangan pasukan lasykar itu di stasiun Cirebon. Mereka kemudian disambut hangat dan langsung ditampung di asrama-asrama milik Resimen XII. Tak lupa mereka pun disuguhi makan dan minum ala kadarnya.Setelah tenang barulah Moeffreni berdiskusi dengan pentolan-pentolan lasykar itu.

Selidik punya selidik, ternyata para anggota lasykar tersebut terprovokasi oleh satu berita hoax yang sudah kadung tersebar di Karawang. Tersebar kabar bahwa Cirebon sudah diserbu oleh satu kekuatan besar terdiri dari pasukan Belanda-Inggris. Karena itu mereka dating ke Cirebon untuk membantu para pejuang setempat menghadapi serbuan tersebut.

Moeffreni kemudian menjelaskan bahwa tak ada serbuan gabungan itu. Yang ada, kata Moeffreni, Cirebon kedatangan ratusan  jurnalis dan diplomat asing (terutama dari Inggris dan Belanda)yang datang untuk mengikuti dan meliputi berlangsungnya perundingan di Linggajati. Setelah diyakinkan begitu, akhirnya pasukan dari Karawang pulang kembali ke kota asalnya dan pertemuan di Linggajati pun sukses hingga akhir.

Sang komandan lalu ditugaskan ke front Bandung Timur. Namun tidak lama dan dia balik kembali ke Cirebon. Lagi-lagi tugas di Cirebon hanya dijalaninya empat bulan saja. Kolonel A.H. Nasution, atasannya, lantas menugaskan Moeffreni menjadi Direktur Pendidikan Perwira Divisi Siliwangi di Garut. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, saat militer Belanda menyerang Garut pada Juli 1947, Moeffreni tertangkap dan menjadi tawanan perang di pulau Nusakambangan.

Tiga tahun lamanya Moeffreni menjadi tahanan perang Belanda. Baru pada awal 1950, dia dibebaskan dan ditugaskan di Resimen Bogor. Tahun 1960, dia kemudian mengajukan pengunduran diri dari dunia militer dan sempat aktif sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi ABRI.

Komandan para pejuang itu  akhirnya menutup mata di Rumah Sakit Pertamina Jakarta pada 27 Juni 1996. Kendati tahun ini, nama Moeffreni Moe'min belum mendapat tempat sebagai Pahlawan Nasional, namun tidak berarti itu mengecilkan jasa-jasanya di masa lalu bagi negeri ini.

TAG

pejuang sejarah-revolusi militer

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Murid Westerling Tumbang di Jogja Jenderal Orba Rasa Korea Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Tentara Jepang Bantai Pejuang Semarang di Rumah Sakit Soeyono Apes Setelah Kudatuli