PERDANA Menteri Belanda Mark Rutte mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pernyataan itu disampaikan di sela sesi debat di Tweede Kamer (Parlemen Belanda) terkait penelitian “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945–1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945–1950) pada Rabu, 14 Juni 2023.
Rutte juga meminta maaf atas kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda kepada korban sipil di Indonesia selama masa revolusi. Ia menyebutnya kekerasan ekstem bukan kejahatan perang.
Rutte tidak mengakui adanya kejahatan perang militer Belanda. Alasannya, kata Rutte, “konflik ini mendahului Konvensi Jenewa (1949) dan ini perang kemerdekaan, oleh karenanya secara yuridis itu adalah konflik internal dan bukan konflik internasional. Interpretasi kami adalah bahwa kekerasan bisa disebut kejahatan perang jika terjadi setelah 1949.”
Baca juga: Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
Pengungkapan kejahatan perang atau kekerasan ekstrem militer Belanda selama masa revolusi telah dilakukan sejak tahun 1969. Merespons pernyataan Joop Hueting, veteran perang Belanda, yang mengungkap adanya kekejaman yang dilakukan militer Belanda, pemerintah Belanda menerbitkan Excessennota (Nota Ekses), yaitu laporan resmi pemerintah Belanda mengenai kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan tentara Belanda selama 1945–1949. Laporan ini menyebut 110 kasus kekerasan yang dilakukan tentara Belanda terhadap pejuang dan penduduk sipil Indonesia. Namun, kekerasan tersebut dinyatakan sebagai “ekses”, yaitu kejadian tidak disengaja yang dilakukan individu-individu tentara Belanda.
Selama lebih dari seperempat abad, versi sejarah resmi itu tak mendapatkan penentangan, walaupun diskusi publik dan polemik tentang perang terus berlangsung di berbagai media, forum, bahkan parlemen Belanda.
Baca juga: Alasan PM Belanda Menolak Istilah "Kejahatan Perang"
Baru pada lima tahun terakhir, Excessennota mendapatkan bantahan serius dari sejarawan Belanda. Dalam disertasinya, De Gecensureerde Oorlog yang dipertahankan pada 2013, Louis Zweers menyatakan bahwa pemerintah Belanda menutup-nutupi aksi kekerasan dan kejahatan perang yang dilakukan tentaranya di Indonesia selama 1945–1949. Remy Limpach, juga dalam disertasinya De Brandende Kampongs van General Spoor, menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan tentara Belanda pada dasarnya bersifat struktural, bukan semata-mata ekses. Karya Limpach telah diterjemahkan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945–1949.
Sejarawan lainnya, Geert Oostindie, menerbitkan Soldaat in Indonesie 1945–1950 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950. Dalam buku ini, Oostindie menyimpulkan bahwa kejahatan perang di Indonesia bersifat struktural.
Baca juga: Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda
Kebetulan karya-karya tersebut muncul setelah kasus kejahatan perang di Rawagede dan Sulawesi Selatan oleh Kapten Raymond Westerling dibawa ke pengadilan pada 2011 dan 2012. Pengadilan di Den Haag, Belanda memutuskan pemerintah Belanda harus meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Selain dua peristiwa tersebut, tentu saja masih banyak peristiwa kejahatan perang militer Belanda lainnya. Laporan khusus Historia di bawah ini mengangkat kejahatan perang selama revolusi kemerdekaan Indonesia, tidak hanya dilakukan tentara Belanda tetapi juga pihak Indonesia. Pada akhirnya perang hanya mengakibatkan kehancuran.
Kisah Pelanduk di Tengah Perang