NAGABONAR, seorang pencopet di Medan yang keluar-masuk penjara di masa Jepang, tak kuasa menahan arus revolusi. Dia menjadi tentara garis depan. Sesekali dia masih mencopet. Kariernya melesat hingga jadi komandan sebuah laskar. Sebagai komandan, dia bisa seenaknya menurunkan pangkat Lukman dari mayor menjadi sersan mayor.
Film Nagabonar garapan Arul Sani itu memang kocak dan mengejek kepahlawanan. Namun, kisah semacam itu bukan hanya terjadi dalam dunia fiksi. Film itu sendiri terinspirasi pengalaman Timur Pane, pemimpin geng copet di Medan, yang ikut berjuang menghadapi Belanda.
Baca juga: Timur Pane Lakon Sang Bandit dan Timur Pane Si Jenderal Bohongan
Selama masa revolusi, para bandit dihadapkan pada pilihan: menjadi seorang kriminal atau pejuang. Beberapa di antara mereka mencampuradukkan keduanya.
Revolusi adalah kesempatan bagi mereka untuk meraih keuntungan materi, jabatan, atau legitimasi. Dan negara membutuhkan mereka, yang umumnya tergabung dalam kelaskaran atau badan-badan perjuangan, untuk menghadapi Belanda.
Baca juga: Suradi Bledheg Si Bandit Gunung dan Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan
Namun, seiring menguatnya posisi negara, mereka perlahan disingkirkan –kendati ada juga yang beruntung seperti Bang Pi’i alias Imam Syafi’i, raja copet Senen yang menjabat menteri keamanan rakyat.
Sejak itu, bandit, parewa, jago, leggaong, bromocorah, perampok, pembunuh, bajak laut, atau apapun namanya kembali ke dunia hitam. Dan sejarah –terutama versi resmi– tak memberikan tempat, kecuali mencap mereka sebagai penjahat.*
Baca laporan khusus bandit-bandit revolusioner berikut ini:
Kisah Naga Terbang dan Gagak Hitam