Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan
Tokoh kriminal legendaris yang telah mengukir reputasinya sejak zaman kolonial. Paling berbahaya di kawasan pantai timur Sumatra menurut catatan berita sezaman.
Kota Pematangsiantar gempar. Dua bandit kelas kakap dikabarkan kabur dari Penjara Soekamoelia. Mereka adalah Amat Boyan dan Paulus Aritonang.
“Penjahat terkenal melarikan diri dari penjara di Siantar,” demikian suratkabar De Sumatra Post, 2 Mei 1938 memberitakan. “Di antara para pelarian ada juga Amat Boyan, salah satu pencuri paling berani dan paling berbahaya di Pantai Timur.”
Amat Boyan disebut De Sumatra Post melarikan diri bersama Paulus Aritonang dan Bahrum. Berdasarkan catatan jejak kriminalnya, Bahrum merupakan narapidana kasus pencurian. Sementara, Amat Boyan dan Paulus adalah komplotan yang acap beraksi merampok mobil-mobil yang melintasi jalur Siantar-Tebing Tinggi. Dari ketiganya, Amat Boyan menjadi buronan nomor satu. Nama belakang Boyan menunjukkan dia berasal dari keturunan Bawean.
Baca juga: Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Dari suratkabar, berita soal Amat Boyan menyebar dengan cepat ke tengah masyarakat. Augustin Sibarani masih berusia 10 tahun yang duduk di kelas 5 sekolah dasar pribumi (HIS) ketika mendengar nama Amat Boyan di kedai kopi Mang Fout. Dari obrolan warung kopi itu, Amat Boyan digambarkan berbadan kurus tapi tangannya kuat bagaikan besi. Sementara itu, Paulus seorang jagoan berkelahi. Ia bisa memukul roboh siapa saja dan punya keahlian melompat seperti bajing. Kebrutalan mereka jadi pembicaraan khalayak. Berbagai surat kabar, lokal maupun koran berbahasa Belanda, turut pula menyoroti kasus ini.
“Berita hebat ini sampai dimuat dua halaman penuh dan dipasang sebagai bahan berita utama selama hampir lebih daru seminggu,” kata Augustin Sibarani yang belakangan kondang sebagai seniman karikaturis dalam Karikatur dan Politik.
Amat Boyan memang bukan sembarang kriminal. Jejak kejahatannya tercatat dalam surat-suratkabar berbahasa Belanda yang terbit di Sumatra sepanjang tahun 1930-an.
De Sumatra Post, 7 Juni 1934 menyebut Amat Boyan melakukan perampokan Toko Pen milik seorang Tionghoa di Kapiteinsweg (kini Jl. Pandu), Medan. Dalam aksinya yang dilancarkan pada pagi buta itu, Amat Boyan mendobrak pintu toko. Setelah berhasil masuk, dia menganiaya pemilik toko klontong lalu membenamkan ke dalam parit.
Amat Boyan kemudian berhadapan dengan reserse polisi yang telah mengintainya. Ia pun diringkus. Pada 31 Januari 1934, Amat Boyan divonis hukuman penjara dua tahun enam bulan.
Baca juga: Cara Pemerintah Kolonial Redam Bandit Sosial
Di dalam penjara, Amat Boyan tetap berulah. Hukumannya ditambah sembilan bulan setelah menyerang sipir penjara dengan sepotong besi. Amat Boyan berdalih ia dianiaya sipir sehingga memendam dendam. Tuduhan penganiayaan itu tak terbukti.
“Penjara Soekamoelia diganggu oleh aksi napi Amat Boyan yang berusaha merobohkan sipir saat hendak kabur. Langkah penjaga berikutnya adalah menarik pistol dan tembakannya—tidak pasti apakah ada tembakan, tapi bagaimanapun juga tahanan itu tidak terluka parah,” demikian diberitakan Deli Courant, 7 Juni 1934.
Amat Boyan kemudian dipindahkan ke Penjara Nusakambangan, Jawa Tengah. Alih-alih tobat setelah bebas, Amat Boyan justru kembali menebar keresehan. Mulai dari merampok, menggarong toko-toko di pecinan, hingga mencegat mobil yang lewat. Daerah operasinya bergeser ke kawasan kota Tebing Tinggi, Serdang Bedagai. Reputasinya kian menyolok sebagai “perampok modern Delian”.
Amat Boyan, menurut De Sumatra Post, 1 Juli 1937, dicurigai atas kasus pencurian besar yang terjadi pada bulan Juni di Dillenburgstraat, Tiga Tonga, Simalungun. Pemilik rumah yang seorang Tionghoa disergap olehnya dan langsung dipukuli begitu membuka pintu. Kerugian korban diperkirakan sebesar 500 gulden. Peristiwa itu menyeret Amat Boyan kembali ke rumah tahanan setelah ditangkap di Medan.
“Setelah kembalinya Amat Boyan, kami menangkap para rampok di Medan, yang pergi dengan mobil untuk merampok orang. Sekarang mereka semua telah ditangkap dan Amat Boyan termasuk di antara mereka. Apakah Amat Bojan adalah pemimpin perampokan itu masih harus ditentukan,” kata suratkabar tersebut.
Baca juga: Duel Preman Medan Zaman Perang Kemerdekaan
Pada akhir April 1938, Amat Boyan melarikan diri dari Penjara Soekamoelia. Padahal, ia seperti disebut Deli Courant edisi 2 Mei 1938, sedang menjalani masa kurungan enam tahun penjara. Amat Boyan kabur bersama konconya Paulus Aritonang dan Bahrum. Seorang narapidana bernama Sintong alias Entong telah kabur lebih dulu.
De Sumatra Post memberitakan desas-desus yang beredar di kalangan bumiputra: Apakah Amat Boyan memiliki ilmu hitam sehingga selalu berhasil lolos dari penjara? Demikian rumor yang santer beredar.
“Hadiah ditawarkan untuk penangkapan mereka,” tulis De Sumatra Post, 4 Mei 1938. Masing-masih kepala dihargai sebesar 50 gulden bagi siapa saja yang menangkap atau memberitahukan keberadaan Amat Boyan dan kawan-kawan.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya
Rupanya, selama di penjara, Amat Boyan hidup bak pengasa di antara sesama tahanan. Ia menentukan kapan seseorang harus masuk ke ruangan besar atau ke dalam sel. Ketika seseorang dipanggil ke ruangan besar, tempat Amat Boyan berada, ia harus menyerahkan uang atau barang berharga. Jika menolak, ia akan dihajar. Amat Boyan juga disebut-sebut menyuap petugas penjara. Kali lain, Amat Boyan memerintahkan tahanan lain memukuli petugas polisi. Demikian penuturan para tahanan yang menjadi saksi dalam persidangan ulang Amat Boyan seperti diberitakan De Sumatra Post, 11 Juli 1938.
“Amat Boyan menerima banyak makanan dari luar, termasuk makanannya dan gergaji itu pasti diselundupkan dengan makanan yang biasa dilihatnya melalui jeruji. Amat Bojang sendiri mengaku pernah menerima gergaji dari seorang mantan penjaga kunci,” tulis De Sumatra Post.
Gergaji itulah yang digunakan Amat Boyan untuk mematahkan terali besi penjara. Amat Boyan naik ke punggung Bahrum kemudian menggergaji jeruji di atas selnya. Selanjutnya, ia menyerahkan gergaji itu kepada Basri di kamar sebelah.
Baca juga: Baku Pukul di Penjara Digul
Tiga minggu lamanya Amat Boyan berkeliaran di dunia bebas. Pada 15 Mei 1938, ia ditangkap polisi di Teluk Mengkudu, Tebing Tinggi. Amat Boyan, diberitakan Deli Courant edisi 16 Mei 1938, terciduk saat mengenderai sepeda dengan gembira. Ia berlagak polos, seperti pura-pura tak tahu menjelang penangkapan. Dalam tas Amat Boyan, polisi menemukan pisau belati dan sebuah jimat. Bahrum menyusul ditangkap kemudian di Labuhan Deli sedangkan Paulus Aritonang di dekat Tanjung Balai.
Hukuman penjara ternyata tak mempan menghentikan Amat Boyan. Ia kemungkinan bebas ketika Jepang datang pada awal 1942. Amat kemudian kembali ke Medan, melanjutkan petualangannya di dunia kriminal. Pada zaman revolusi, Amat Boyan bahkan memimpin Pasukan Cap Kampak setelah bergabung ke dalam Laskar Pesindo pimpinan Sarwono.
“Amat Boyan, salah seorang resedivis yang amat bengal, ‘king’ daripada penjahat di kota Medan kala itu,” tulis Biro Sejarah Prima dalam Medan Area Mengisi Proklamasi.
Baca juga: Hikayat Amat Boyan dan Pasukan Cap Kampak
Dasarnya bandit, Amat Boyan sukar dikendalikan. Sekalipun berada dalam kelompok Pesindo yang berjuang menghadapi Belanda di Medan, ia terus menjalankan aksinya merampok, khususnya terhadap komunitas Tionghoa. Amat Boyan pada akhirnya menemui ajalnya di tangan Laskar Pesindo yang telah merekrutnya. Penggempuran terhadap Amat Boyan terjadi di dekat Brastagi pada minggu terakhir April 1946.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar