Baku Pukul di Penjara Digul
Kesengsaraan di pengasingan menyulut perkelahian sesama orang pergerakan hingga memakan korban jiwa.
Dua narapidana yang kasusnya pernah bikin geger publik berduel di Lapas Gunung Sindur. Mereka adalah Very Idham Henyansyah alias Ryan Jombang terpidana hukuman mati kasus mutilasi berantai, dengan Habib Bahar bin Smith, ulama Front Pembela Islam terpidana kasus penganiayaan sopir taksi. Cekcok diantara keduanya dipicu perkara utang-piutang. Akibatnya, Bahar Smith menghajar Ryan Jombang sampai babak belur. Meski terjadi penganiayaan, Ryan Jombang dan Habib Bahar dikabarkan telah berdamai.
Perkelahian dipenjara memang acap terjadi. Kehidupan penjara yang keras kerap menyulut perselisihan di antara para penghuni penjara. Tidak hanya penjara yang menghukum pelaku kriminal, fenomena seperti itupun berlaku pula di penjara pengasingan kaum pergerakan. Tempat pembuangan yang bertempat di pedalaman Papua itu dikenal dengan nama Kamp Interniran Boven Digul atau Tanah Merah. Inilah penjara yang dibuat pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membungkam gerakan orang-orang bumiputra sejak akhir 1920-an hingga 1943.
Di Digul, orang-orang pergerakan yang diasingkan dibikin merana. Tidak hanya raga, jiwa para penghuni kamp ikut dipasung sebab tempat ini terisolasi dari dunia luar. Bentang alamnya yang penuh rawa dan belantara jadi sarang penyakit malaria. Jatah ransum bagi para digulis ini terbatas sedangkan kandungan gizinya jauh dari cukup. Mereka yang tidak kuat mental tinggal di sana akan mengalami depresi bahkan menjadi gila. Kondisi hidup yang sengsara turut mempengaruhi hubungan antar digulis yang menghuni kamp pengasingan.
Baca juga:
“Tidak sedikit penderitaan orang-orang itu. Penderitaan itu lebih hebat lagi, karena diantara orang buangan tidak ada persatuan,” kata Mas Marco Kartodikromo dalam Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel. Mas Marco termasuk dalam kelompok digulis gelombang pertama yang diasingkan setelah pemberontakan PKI tumpas pada November 1926.
Menurut Mas Marco, perkelahian sesama digulis biasanya timbul karena terjadi saling menyalahkan diantara mereka. Marco menyebut Moehamad Sanoesi selalu menuding kegagalan pucuk pimpinan pusat PKI sebagai penyebab orang-orang komunis dibuang ke Digul. Namun, Sanoesi juga dimusuhi karena dianggap sebagai mata-mata pemerintah. Pada 16 November 1927, seperti dicatat Marco, terjadi pertengkaran antara Sanoesi dengan Aliarcham dan Ngadiran. Untung sekali Sanoesi tidak berani melawan.
“Umpama berani,” kenang Marco, “pasti ia masuk liang kubur, paling tidak diangkut ke rumah sakit.” Mas Marco sendiri wafat di Boven Digoel pada 18 Maret 1932 akibat terjangkit penyakit malaria.
Baca juga:
Kisah lebih gamblang mengenai perkelahian orang pergerakan di Boven Digul dituturkan oleh I.F.M Chalid Salim, eks digulis yang menetap disana antara 1928—1943. Dalam memoarnya Lima Belas Tahun Digul: Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Salim mengatakan pertengkaran diantara mereka seringkali terjadi karena perbedaan paham politik maupun perbedaan latar belakang kultur. Apalagi, pemerintah Belanda suka menawarkan iming-iming tertentu agar para kaum interniran ini mau berkompromi dengan pemerintah. Keadaan ini lambat laun menyebabkan ketegangan dan saling mencurigai diantara para digulis.
Petaka lain ialah perkara perempuan. Dahaga akan hasrat biologis memang rentan memantik konflik pada lingkungan masyarakat yang sungguh kekurangan populasi perempuan seperti di Digul. Di samping itu, berbagai sengketa keluarga, permusuhan-permusuhan pribadi, dan saling mengusik merusak suasana yang pada mulanya rukun. Biasanya, jalan keluar dari permasalahan tersebut diselesaikan dengan dua cara. Orang-orang berwatak keras akan menempuh jalan perkelahian fisik. Mereka yang lain mencoba dengan solusi melarikan diri dari pengasingan yang ujung-ujungnya menantang bahaya dari alam atau penduduk lokal.
"Kalau seandainya di antara para interniran itu pernah terjadi perselisihan ataupun perkelahian bahkan sampai mengakibatkan ada korban yang jatuh, maka hal inipun tidak usah mengherankan kita," tulis tim peneliti Departemen Sosial dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan Ex Digul. Pemerintah Belanda mengambil kesempatan dari peristiwa perkelahian yang terjadi dengan membesar-besarkan beritanya pada surat kabar. Dengan demikian, citra negatif akan melekat kepada kaum pergerakan di kamp pengasingan.
Baca juga:
Pada 24 Agustus 1934, Salim mencatat, rekannya Machoedoem Sati, dikeroyok oleh beberapa orang interniran yang bersenjatakan parang di Tanah Tinggi - tempat pemukiman digulis kelas kakap berjarak 30 km dari Tanah Merah. Dengan tangan kosong, Machoedoem Sati yang mahir ilmu silat Minangkabau itu menangkis serangan lawannya yang bersenjata tajam. Tidak urung, Sati mendapat luka-luka pada 83 tempat. Ototnya tanpa ampun tersayat-sayat oleh parang yang tajam. Beruntungnya, Sati masih bisa selamat dari tragedi berdarah itu.
Kali lain, titimangsa 4 Januari 1934, masih di Tanah Tinggi, terjadi lagi perkelahian antar kelompok. Soewirdjo ditemukan luka parah sedangkan Idroes sudah disembelih oleh kawan-kawan senasibnya. Salim dan para Digulis di Tanah Tinggi sungguh sakit hati melihat kondisi mayat Idroes yang mengenaskan. Bukan saja batok kepalanya luka, mukanya juga habis dikoyak dan kepalanya hampir terpenggal.
Menurut Salim, hingga tahun-tahun terakhir dalam kamp interniran, masih saja terjadi peristiwa tikam-menikam diantara para digulis. Pada tahun 1936 dua kali, tahun 1937 sampai tujuh kali, dan pada 1938 ada tiga kali terjadi perkelahian. Salim mengenang pengalaman itu dengan penuh getir.
“Tak dapat disangkal bawah Tanah Merah tanahnya menjadi merah karena darah yang tertumpah dalam perkelahian antara sesama kaum yang terbuang!” tuturnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar