Cara Pemerintah Kolonial Redam Bandit Sosial
Pejabat kolonial susah tidur karena aksi bandit sosial. Kerahkan jago, ronda malam, dan polisi untuk tekan perbanditan.
Malam di perdesaan Yogyakarta sepanjang 1860-an tidak pernah aman. Gerombolan kecu menyatroni rumah kepala desa penarik pajak (bekel) dan pemilik perkebunan. Mereka menjarah harta benda, menggondol hewan ternak, membakar gudang perkebunan, dan mengambil nyawa empunya rumah.
Kecu adalah gerombolan bandit. Paling sering beroperasi di Yogyakarta, Surakarta, Pasuruan, dan Probolinggo. Sebagian besar mereka tadinya kerja sebagai petani. Tetapi kehadiran perkebunan, pajak, dan kerja wajib sejak 1830-an mempersulit keadaan mereka.
Sebagai bentuk protes, petani bersulih kerja sebagai bandit, beraksi tiap malam, dan menargetkan sasaran tertentu seperti pemilik perkebunan, kepala desa, orang Eropa, dan golongan Tionghoa.
Karena itulah mereka disebut bandit sosial oleh sejumlah sejarawan seperti Hobsbawm, Sartono Kartodirdjo, dan Suhartono W. Pranoto. Para sejarawan sohor itu menyatakan mereka bandit dengan tujuan sosial-politik. Bukan kriminal biasa.
Baca juga: Asal Usul Bandit di Perdesaan
Suhartono W. Pranoto dalam Jawa Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850—1942 menyebut aksi bandit sosial, baik sendirian ataupun bergerombolan, bikin pejabat kolonial susah istirahat. Salah seorang residen mengatakan bahwa selama bertugas di Yogyakarta hampir tidak pernah dapat tidur karena banyaknya kecu.
Ronda Malam
Tersebab aksi bandit sosial begitu marak, wibawa pejabat kolonial menjadi cemar di hadapan penduduk. Mereka dianggap tidak bisa menciptakan rasa aman. Jika dibiarkan, akan banyak sas-sus di kalangan penduduk dan meragukan otoritas kolonial.
Maka untuk mencegah aksi perbanditan, pejabat kolonial mengedarkan pengumuman tentang bahaya kecu dan cara penanggulangannya kepada warga desa. Pengumuman termaksud antara lain berisi himbauan agar warga membangun pagar, menutup jalan masuk ke desa bila malam turun, dan menghidupan pos jaga (ronda).
Pos harus ada kegiatan dan penjaganya saban malam. Caranya dengan menggelar ronda malam secara rutin. Bergiliran dengan para jago beladiri rekrutan pejabat kolonial setempat.
Baca juga: Melihat Indonesia Melalui Pos Ronda
Peronda malam boleh membawa senjata untuk menjaga nyawanya. Biasanya granggang (tombak dari kayu aren) dengan mata tombak berbeda-beda, gembel (pentungan), dan tali dadhung (tali besar dan kuat).
Selain itu, grup ronda wajib membawa alat pemadam kebakaran. Antara lain tepas besar dari bambu atau rotan, kain lap, ruas bambu penampung air, dan ganthol (tangkai panjang untuk menarik sasaran).
Kalau selagi ronda malam warga menemukan aksi kecu, warga tidak boleh bertindak sendiri. “Kalau mungkin minta pertolongan untuk menangkapnya,” tulis Suhartono dalam “Kecu Sebuah Aspek”, termuat di Wanita, Kekuasaan, dan Kejahatan: Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa.
Warga juga harus mengumumkan kasus kecu ke antero desa lewat isyarat bebunyian. Misalnya dengan memukul kentongan di pos ronda.
Setiap ritme pukulan kentongan punya makna khusus. Pukulan berkali-kali (kenthong titir) menandakan ada kasus kecu. Dua kali (kenthong loro) pukulan berarti pencurian. Tiga kali pukulan (kenthong telu) menyuarakan kebakaran. Empat kali pukulan (kenthong papat) bersiaga hadapi banjir. Lima kali pukulan (kenthong lima) menyatakan pencurian hewan.
Warga desa sudah paham makna masing-masing bunyi kentongan itu. Jika mendengar isyarat itu, mereka mesti keluar rumah sesegera mungkin untuk memberikan pertolongan kepada peronda malam atau korban kecu.
Gerombolan kecu tidak pernah takut dengan sistem ronda dan kedatangan warga. Benggol, pemimpin kecu, telah menyiapkan segala macam strategi, senjata tajam, jimat, ilmu kebal, dan jalur pelarian gerombolannya. Dari ratusan kasus kecu selama 1860-an, warga hanya menangkap sedikit pelaku. Ini berulang terus pada tahun-tahun setelahnya.
Baca juga: Aksi Bandit Sosial di Perdesaan
Penangkapan seorang anggota kecu akan menjadi berita besar bagi desa setempat dan sekitarnya. Petugas kolonial akan datang ke desa tersebut dan menanyainya langsung tentang identitas diri dan kawanannya.
Tapi setiap anggota kecu terikat pada sumpahnya. Dia pantang mengatakan apapun perihal dunia, pemimpin, dan anak buahnya kepada siapa saja. Seringkali mereka memilih menerima siksaan berat dari petugas kolonial ketimbang harus memberikan informasi.
Setelah memperoleh siksaan berkali-kali, seorang kecu akan masuk penjara di luar Jawa. “Pada tahun 1890 banyak di antara kecu dibuang ke Padang,” catat Suhartono. Ini kaprah menimpa para benggol kelas berat dan berpengaruh. Hidup mereka juga bisa berakhir di tiang gantungan jika mengulangi aksinya setelah keluar penjara.
Masuk Organisasi
Nyatanya para benggol tidak jera dengan hukuman penjara. Mereka justru mendapat jaringan dan pengalaman baru di penjara. Ini membuka kesempatan mereka untuk beraksi lagi dengan cara berbeda. Ketika kembali ke Jawa, mereka menghimpun lagi kekuatan perlawanannya. Perbanditan pun terjadi lagi. Ronda malam tidak berpengaruh terhadap kasus perbanditan.
Pejabat kolonial akhirnya mereorganisasi kepolisian. Polisi mengambil-alih pos ronda dari penjagaan warga untuk menciptakan suatu sistem keamanan terpadu. Tujuannya untuk menekan aksi bandit. Konsekuensinya, jumlah anggota kepolisian pun harus ditambah untuk mengisi pos-pos ronda tersebut.
Baca juga: Polisi Zaman Kumpeni
Abidin Kusno dalam Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa menyebut upaya polisi menciptakan sistem keamanan terpadu gagal. “Banyak faktor yang ada di balik kegagalan negara kolonial dalam mengejawantahkan langkah-langkah keamanan terpadu,” catat Abidin.
Bandit-bandit sosial terus mewarnai malam di perdesaan. Sebab pemerintah kolonial tidak mampu melihat akar masalah kemunculan bandit sosial: tekanan dan desakan terhadap hidup petani.
Aksi bandit berangsur menurun ketika organisasi modern muncul di perdesaan pada paruh pertama abad ke-20. Organisasi termaksud membawa suara wong cilik seperti petani, buruh, dan kuli perkebunan.
Di Yogyakarta ada Personeel Fabriek Bond (PFB). Di Pasuruan dan Probolinggo, petani bergabung ke Sarekat Islam. Mereka menilai misi Sarekat Islam sejalan dengan protes mereka terhadap penetrasi perkebunan.
“Bukan hanya propaganda, tetapi melalui kerapian organisasi Sarekat Islam menghimpun kekuatan wong cilik untuk menghadapi perkebunan,” terang Suhartono. Statistik Suhartono menunjukkan peurunan aksi pembakaran perkebunan di Pasuruan dan Probolinggo setelah Sarekat Islam muncul.
Organisasi-organisasi politik dan buruh lainnya seperti Sarekat Rakyat dan Partai Komunis Indonesia turut menyulih aksi bandit menjadi tuntutan legal ke pemerintah dan pengusaha perkebunan. Sejak itulah perbanditan sosial menghilang. Berganti ke kasus perbanditan biasa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar