PRO dan kontra mengenai hasil penelitian dekolonisasi bergulir di arena perdebatan para anggota Tweede Kamer atau Parlemen Belanda pada Rabu (14/6/2023) waktu setempat. Namun yang menjadi sorotan setelahnya adalah pernyataan Perdana Menteri (PM) Mark Rutte yang turut hadir di sela perdebatan.
Sebelumnya, 15 anggota parlemen yang masing-masing mewakili partainya mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian bertajuk “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950) sejak 2017 dan hasilnya dalam publikasi penelitian tiga lembaga Belanda medio Februari 2022 lalu, yang menyebutkan adanya kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur.
Pertama, soal aspek hukum. Penelitian itu cenderung menggunakan istilah “kekerasan ekstrem”, bukan “kejahatan perang”. Kedua, adalah soal tanggung jawab dan permintaan maaf pemerintah terhadap para korban dan veteran Belanda itu sendiri. Ketiga, soal kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang yang dianggap penjahat perang.
Baca juga: Perdebatan Alot Parlemen Belanda Mengupas Penelitian Dekolonisasi
PM Rutte sendiri hadir didampingi Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra dan Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren. Selain memberikan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem, PM Rutte menyampaikan pengakuannya terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 –pernyataan resmi pertama pemerintah Belanda setelah 78 tahun– ketika menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks, Corinne Ellemeet terkait pengakuan terhadap kemerdekaan RI.
“Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa keraguan/keberatan). Saya masih akan cari jalan keluar bersama presiden (RI) untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak,” ujar PM Rutte sebagaimana yang diterjemahkan kolega Arjan Onderdenwinjgaard.
Pernyataan PM Rutte itu jadi permulaan baru untuk membuka lebih terang sejarah hubungan kedua negara. Terkait pengakuan 17 Agustus 1945, sebelumnya Menlu Belanda Ben Bot pada 2005 juga sudah mengakui proklamasi kemerdekaan itu walau secara de facto semata, sementara pemerintah Belanda masih keukeuh menyatakan Indonesia meraih kedaulatannya pada 27 Desember 1949.
Kendati begitu, bukan berarti PM Rutte mengakui adanya kejahatan perang yang dilakukan militer Belanda selama periode 1945-1949 secara yuridis. Ia masih bersikeras menyebutnya kekerasan ekstrem dengan mendasarkan pernyataannya pada Konvensi Jenewa 1949.
“Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis,” tukas Rutte.
Baca juga: Dilema Belanda dalam Pengakuan Proklamasi 17 Agustus 1945