Batalion Paradja
MARTIN Marseha Paradja, salah satu tokoh pemberontakan kapal De Zeven Provincien, merupakan putra seorang pendeta di Timor yang berasal dari Pulau Sabu. Walaupun dia berasal dari keluarga terdidik, tapi tidak terlepas dari sejarah kampungnya di Messara, satu-satunya kampung yang berperang dengan Belanda pada 1905 di bawah pimpinan Mola Mone.
“Agaknya sisa-sisa kebencian pada Belanda itu sudah tertanam sejak masa kecil, walau dia sendiri bekerja di Angkatan Laut Belanda,” kata Peter A. Rohi.
Menurut Peter, pemuda-pemuda NTT pada masa revolusi mendirikan Batalion Paradja. Batalion ini memliliki Kompi Berani Mati yang dipimpin Kapten Hendrik Rade. Dia dan wakilnya Jeremias Henuhili dan Letnan Fernandes tewas dalam pertempuran di Wates. Mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta.
Sebelum menjadi Batalion Paradja, para pemuda NTT berhimpun dalam Laskar Sunda Kecil (LSK), selain GRISK (Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil) yang dipimpin oleh Johannes Leimena dan I.R. Lobo.
Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Nusa Tenggara Timur, I.H. Doko menjelaskan bahwa setelah badan-badan kelaskaran diharuskan meleburkan diri ke dalam satu wadah perjuangan bersenjata, yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada 1947, maka Laskar Sunda Kecil menjelma menjadi Batalion Paradja. Batalion ini berada di bawah komando Brigade XVI/ Brigade Seberang yang dipimpin Letnan Kolonel A.G. Lembong. Salah satu anggota Batalion Paradja adalah Frans Seda, yang kelak menjabat menteri di era Sukarno dan Soeharto.
“Batalion Paradja setelah pengakuan dan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 praktis telah meleburkan diri ke dalam kesatuan TNI,” tulis Doko, “sedang anggota-anggotanya yang terbanyak telah kembali ke masyarakat untuk meneruskan perjuangannya mengisi kemerdekaan Indonesia.”
Baca juga: Mengecup Hidung, Salam Khas Orang Sawu
Melacak Julian Hendrik
SELAIN Paradja, Kawilarang, Gosal, dan Rumambi, nama lain yang disebut-sebut sebagai pemimpin pemberontakan adalah Julian Hendrik. Dialah yang kali pertama memimpin rapat di bioskop Sabang untuk menjelaskan situasi terakhir dan mengajak berontak.
“Sebelumnya saya menemukan makam Kawilarang di Pemakaman Kristen di Tanjung Pinang, setelah diberitahukan seorang kerabat di sana. Saya juga sudah menemukan makam bersama kerangka para pemberontak yang tewas di atas kapal itu di TMP Kalibata, di mana nama Martin Paradja tertera paling atas,” kata Peter A. Rohi.
Setelah menemukan makam nama-nama itu, Peter penasaran melacak Julian Hendrik. Kesulitan pertama, ketika masuk pendidikan KIS di Makassar mengubah nama aslinya, Bangngu Ludji He dengan nama baptis Julian Hendrik. Pada 2012, Peter mengajak anaknya ke Pulau Sabu. Dari kampung ke kampung mereka berbicara dengan orang tua-orang tua mencari jejak mantan anggota Angkatan Laut. Nama-nama yang didapatkan dari angkatan lebih muda dan memperoleh pensiun, berarti mereka bukan dari angkatan yang memberontak.
Sedang dalam proses verbal di Landraad (Mahkamah Angkatan Laut) di Surabaya, Julian Hendrik ditulis lahir di Desa Aimano di Seba. Sedangkan nama desa itu tidak terdapat di Nusa Tenggara Timur. “Akhirnya dengan metode intelijen komunikasi sebagaimana saya dapat di KKO-AL, menganalisa tulisan/steno, saya pun menemukan desa itu bernama Eimau,” kata Peter.
Peter dan anaknya langsung menuju desa Eimau menemui kepala desanya untuk mencari nama Julian Hendrik atau nama siapa saja yang mantan anggota Angkatan Laut Belanda yang berasal dari desa itu. Kepala Desa Eimau, Semuel Ludji He mengatakan hanya almarhum kakeknya, Bangngu Ludji He, yang menjadi anggota Angkatan Laut dari desanya. Tapi dia menambahkan, setelah keluar dari penjara Sukolilo, Madura, kakeknya pulang membawa “surat merah” atau pemecatan dan dalam keadaan sakit. Tak lama kemudian dia meninggal dan dimakamkan di tanah kelahirannya. “Nah, itulah yang kami cari. Mantan Angkatan Laut yang pernah dihukum dan dipecat yang berasal dari desa Eimau di Sabu,” ujar Peter.
Mengenai namanya, Peter menjelaskan bahwa umumnya nama asli tetap berbekas dalam nama baptis. Orang-orang Tionghoa juga berbuat begitu. Misalnya, Han menjadi Handoko atau Handoyo. “Luji He membalik nama Luji dengan Julian dan He menjadi Hendrik. Nama ini kemudian kami konfirmasi dan diakui oleh seorang kepala suku bernama Nego Ratta,” kata Peter.
Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015, Peter bersama Samuel Ludji He, pemerintah Kabupaten Sabu, dan masyarakat mengadakan peletakan batu pertama renovasi makam Julian Hendrik.
Baca juga: De Zeven Provincien Kapal Hukuman
Kawilarang Sebagai Nama Kapal
PENGADILAN Tinggi Militer Hindia Belanda di Batavia menjatuhkan vonis paling berat kepada Josias Kolondam Kawilarang selama 18 tahun. Hakim bertanya kepada Kawilarang, “Apakah terdakwa ingin menyampaikan komentar atas vonis ini?”
Kawilarang menyahut: “Ada yang Mulya, saya sebagai salah seorang pemimpin pemberontak sudah divonis selama 18 tahun. Sungguhpun begitu, sekalipun dihukum mati saya akan terima dengan lapang dada yang Mulya.”
“Kenapa?” tanya Hakim. Dengan lantang Kawilarang mengatakan: “Karena saya adalah orang pribumi pertama yang dapat menjadi nakhoda pada suatu kapal perang yang menjadi kebanggaan Kerajaan Belanda.”
“Suasana jadi hening dan diam, hingga bila saja ada jarum jatuh akan terdengar gemerincing, demikian tulis wartawan harian Mainichi Shimbun yang meliput pengadilan itu yang dalam ulasannya memuji keberanian dan keteguhan sikap Kawilarang,” kata Harry Kawilarang, keponakan Josias Kolondam Kawilarang.
Kawilarang dan para pemberontak ditahan di penjara Sukolilo, Madura. Setelah Belanda bertekuk lutut, Jepang membebaskan semua tahanan. Kawilarang pulang ke Tondano. Setelah Indonesia merdeka, pelaut-pelaut eks De Zeven Provincien dipanggil untuk bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia.
“Kawilarang diaktifkan kembali menjadi sersan dan akhirnya meninggal dunia dalam tugas di Daeral-2 (Daerah Angkatan Laut) Tanjung Pinang pada tahun 1960 dengan pangkat peltu pelaut,” tulis Cornelis Kowaas dalam Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra.
Tentino Kawilarang, cucu Josias Kolondam Kawilarang, mengatakan bahwa kakeknya kemudian ditetapkan sebagai perintis kemerdekaan. “Kami mendapat surat dari pemerintah berupa sertifikat sebagai perintis kemerdekaan anumerta, tanpa tunjangan. Dan kami mencoba mengajukan nama Josias Kolondam Kawilarang sebagai nama salahsatu kapal perang Indonesia,” kata Tentino.
Menurut Peter, baru pada 1980, Menteri Sosial Soepardjo memberi penghargaan bagi para pemberontak kapal De Zeven Provincien sebagai perintis kemerdekaan.*
Baca laporan khusus pemberontakan kapal De Zeven Provincien sebagai berikut: