Hadirin khidmat. Di hadapan mereka pemimpin upacara mulai mengucapkan sumpah. Sambil menyumpah, ia memotong leher seekor ayam. Lalu membanting sebutir telur di atas sang hyang kalumpang.
"Seperti tubuh ayam yang telah mati, tak dapat hidup lagi. Seperti telur yang telah remuk berkeping-keping, takkan kembali utuh. Seperti pula kayu yang terbakar api, menjadi abu, hilang diterbangkan angin," katanya.
Sumpah itu diucapkan dengan jelas agar didengar oleh hadirin. Barang siapa yang berani mengganggu ketetapan tanah perdikan akan mendapat petaka, berakhir seperti sumpah yang telah mereka dengar.
Baca juga: Prasasti Berisi Kutukan
Kutukan bagi pelanggar biasanya kejam. Mereka yang melanggar kepalanya terbelah, perutnya robek, ususnya terburai, hati dan dagingnya dimakan, serta darahnya diminum oleh makhluk halus.
Masyarakat meyakini kutukan itu pasti terjadi. Tindakan memotong ayam dan memecahkan telur serta menabur abu dimaksudkan agar sumpah itu diamini oleh kekuatan gaib. Tujuannya agar ritual itu terhubung dan berefek secara magis.
Mencegah Penyalahgunaan
Timbul Haryono, arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa ritual penetapan tanah perdikan yang disebut manusuk sima diperlukan supaya tidak terjadi penyalahgunaan di kemudian hari. Dibuatkan pula piagam keputusan berupa prasasti.
"Diharapkan di kemudian hari tak ada orang yang melanggar. Pada prinsipnya tanah sima berlaku selama-lamanya," tulis Timbul dalam "Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengakapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna" yang terbit di jurnal Humaniora No. 12 September-Desember 1999.
Hampir 90 persen prasasti Jawa Kuno membicarakan sima. Status ini diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada raja. Sering pula diberikan kepada masyarakat untuk mengelola bangunan keagamaan.
Baca juga: Enam Prasasti Kutukan Sriwijaya
Status sima ditetapkan pada sebidang tanah sawah atau kebun atas perintah raja atau pejabat tinggi, yakni seorang bergelar rakai atau pamgat. Jika sudah berstatus sima, petugas pajak dilarang melakukan kegiatan di wilayah itu.
Sejak itu pertanggungjawaban penduduk berubah. Itulah mengapa penetapan tanah menjadi sima merupakan peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno.
"Semula penduduk bertanggung jawab kepada raja atau rakai, setelah tanahnya ditetapkan menjadi sima maka mereka bertanggung jawab kepada kepala sima," tulis Timbul.
Ritual Persumpahan yang Utama
Ritual persumpahan menjadi bagian terpenting dalam upacara penetapan sima. Bermacam sajian disiapkan, di antaranya kepala kerbau, seekor ayam jantan, sebutir telur, air, jarum, pemotong kuku dandang, seperangkat alat untuk makan dan minum, dan peralatan untuk membuka tanah dan persawahan.
Ahli epigrafi, Boechari menjelaskan seperangkat alat untuk makan dan minum yang disebutkan di antara sesaji itu masih belum jelas benar fungsinya. Mungkin hanya diisi dengan makanan dan minuman yang disajikan kepada dewa. Sementara hadirin tidak menggunakannya sewaktu makan minum bersama.
"Yang jelas ialah bahwa waktu makan mereka menggunakan daun," tulis Boechari dalam "Epigrafi dan Sejarah Indonesia" termuat di Melacak Sekarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Baca juga: Mencicipi Masakan Kuno
Pun fungsi kepala kerbau hanya dapat dikira-kira berdasarkan kebiasaan masyarakat sekarang. Kepala kerbau ditanam di suatu tempat di dalam tanah yang ditetapkan sebagai sima.
"Di dalam beberapa prasasti, di antaranya Prasasti Mantyasih, dikatakan juga kalau semua sesaji itu bisa dibayar dengan emas (inmas)," tulis Boechari.
Perlengkapan utama dalam ritual penetapan sima adalah sang hyang watu teas dan sang hyang kulumpang.
Menurut Timbul, sang hyang watu teas atau sang hyang watu sima adalah batu yang kemungkinan berbentuk lingga. Pemimpin upacara bergelar sang (pamgat) makudur menanam dan menempatkan batu itu di tengah tempat upacara (witana).
"Sampai sekarang telah ditemukan beberapa batu lingga semu yang bertulis," tulis Timbul.
Baca juga: Hukuman Kutukan dari Kerajaan Majapahit
Sementara itu, sang hyang kulumpang adalah batu lumpang yang kemungkinan besar berbentuk yoni.
Sang hyang watu sima dan sang hyang watu kulumpang memiliki fungsi utama dan sakral. Keduanya menjadi pusat proses upacara. Setelah upacara, hadirin menyembah sang hyang watu sima.
Setelah ritual utama selesai, hadirin makan dan minum bersama. Sajian dalam selamatan itu sering disebutkan dalam prasasti.
"Ada dendeng celeng, berbagai macam nasi; ada yang masih bisa diidentifikasikan, ada yang sudah tidak tahu. Ada nasi hunung, apakah itu tumpeng? Ikan asin (greh), sayur-sayuran, mereka juga minum tuak," kata Mimi Savitri, arkeolog UGM.
Usai makan dan minum bersama, sang makudur mulai mengucapkan kutukannya. Kutukan (sapatha) disampaikan bagi orang-orang yang mengubah ketentuan prasasti.
Baca juga: Ritual Darah Raja Nusantara
Menurut Boechari, sang makudur meminta bantuan kepada dewa-dewa dan makhluk halus yang menghuni berbagai tempat. Seperti dalam Prasasti Mantyasih (907) disebutkan nama-nama raja Mataram Kuno yang memerintah sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911).
Semua raja yang telah meninggal itu masuk dalam deretan dewa yang dimintai bantuan oleh sang makudur. "Keterangan itu menunjukkan bahwa nenek moyang kita masih berpegang teguh kepada pemujaan arwah nenek moyang," tulis Boechari.
Sebagai penutup upacara sekaligus bukti penetapan sima telah dikukuhkan, hadirin "menambah daun masing-masing".
"Mungkin yang dimaksud dengan ungkapan itu adalah hadirin membungkus apa yang masih tersisa dari hidangan-hidangan yang disuguhkan untuk dibawa pulang atau dalam bahasa Jawa, mbrekat," tulis Boechari.