Untuk mempertahankan hegemoninya, Sriwijaya, sejauh yang sudah ditemukan, mengeluarkan enam prasasti kutukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan penguasa.
"Prasasti-prasasti yang berisi kutukan adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya. Ini sebagai bukti bagaimana ia (Sriwijaya, red.) diakui," ujar Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia.
Prasasti kutukan dari masa Sriwijaya yang ditemukan di Palembang, yaitu Prasasti Bom Baru, dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Baturaja ditemukan di Baturaja. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sementara Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung.
Baca juga: Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad
Dari enam buah prasasti, lima buah di antaranya dalam keadaan utuh. Sementara yang paling lengkap isi persumpahannya hanya Prasasti Telaga Batu.
Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) berasal dari abad ke-7, berbahasa Melayu Kuno, dan ditulis dengan aksara Pallawa. Pada bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra. Pada bagian bawah tengah terdapat semacam cerat tempat mengalirnya air.
Mereka yang diancam dengan kutukan adalah pengkhianat dan yang berhubungan dengan pengkhianat, mata-mata para datu yang berkuasa di mandala-mandala Sriwijaya, berkomplot dengan musuh atau berkomplot untuk menentang Sang Datu Sriwijaya, serta tak patuh pada Kedatuan Sriwijaya.
Bukan cuma pengkhianat yang akan dihukum. Anak-anaknya, istri, anak cucu, kerabat, dan teman-temannya juga terancam.
Peringatan ini ditujukan pula kepada para putra raja Sriwijaya (rajaputra), menteri (kumaramatya), bupati (bhupati), panglima (senapati), pembesar atau tokoh lokal terkemuka (nayaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (haji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja atau buruh (tuha an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyaksi nijavarna), ahli senjata (vasikarana), tentara (catabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kayastha), pengrajin (sthapaka), kapten kapal (puhavam), peniaga (vaniyaga), hingga pelayan raja (marsi haji), dan budak raja (hulun haji), bahkan tukang cuci sekalipun.
"Apabila kalian tak setia kepadaku, kalian akan mati oleh kutukan ini," demikan ancaman dalam prasasti itu.
Baca juga: Kekuatan yang Mengancam Sriwijaya
Sejarawan Jerman, Herman Kulke, dalam “Kedatuan Srivijaya-Imperium atau Keraton Sriwijaya?” yang termuat di Kedatuan Sriwijaya, menjelaskan sebagaimana dalam prasasti orang-orang berbahaya di kedatuan itu bukan saja para pangeran dan komandan yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang, bisa sangat berbahaya.
"Engkau akan mati oleh kutukan ini yang terminum olehmu. Aku akan memberi perintah untuk menghukum dirimu," demikian kutukan itu kepada mereka.
Ancaman juga ditujukan kepada mereka yang berani merayu dan membujuk selir-selir raja Sriwijaya dengan tujuan mengetahui keadaan di dalam istana. Juga kepada dukun yang tahu bagaimana caranya membuat orang jadi sakit hati. Lalu mereka yang memanfaatkan hal-hal berbau magis, menyebabkan pikiran orang lain menjadi gila, dengan cara menggunakan berbagai benda, abu, obat-obatan atau mantera, tanpa mengindahkan perintah. Mereka termasuk yang tak patuh pada Sriwijaya akan mati karena kutukan ini.
"Kedamaian abadi akan menjadi buah yang dihasilkan kutukan ini," catat prasasti itu.
Prasasti kutukan lainnya adalah Prasasti Kota Kapur. Menurut Sondang M. Siregar, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam "Prasasti-Prasasti Kutukan dari Masa Sriwijaya", termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, prasasti itu salah satu dari lima prasasti kutukan yang dibuat Dapunta Hyang, penguasa dari Kadatuan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis pada 686 dan ditemukan 12 abad kemudian di pesisir barat Pulau Bangka.
Di dalamnya disebutkan nama Kadatuan Sriwijaya. Ancaman ditujukan kepada daerah-daerah di pedalaman yang memberontak dan bersekongkol dengan pemberontak, berbicara dengan pemberontak, mengenal pemberontak, dan mendengarkan kata pemberontak.
Baca juga: Tiga Faktor yang Membuat Sriwijaya Jadi Kerajaan Kuat
Pun mereka yang mengganggu ketenteraman jiwa, membuat orang sakit, dan membuat orang gila. Mereka yang menggunakan mantra, racun, racun upas, tuba, dan ganja untuk tujuan itu.
"Yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini mati juga kena kutuk," seru prasasti itu.
Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di Lampung Selatan mungkin berasal dari akhir abad ke-7. Isinya tak jauh beda. Di dalamnya disebutkan ancaman kepada para pemberontak dan mereka yang tak setia kepada pemerintah.
"… yang memberontak, berkomplot dengan pemberontak, bicara dengan pemberontak, tahu pemberontak, tak setia kepadaku, akan terbunuh oleh kutukan…," seru prasasti itu.
Baca juga: Pemberontakan Terhadap Sriwijaya
Prasasti Karang Berahi yang ditemukan di Kabupaten Merangin, Jambi, memiliki kesamaan dengan Prasasti Kota Kapur, kecuali pada bagian akhirnya.
"Jika orang takluk setia kepadaku, dan kepada mereka yang oleh saya diangkat menjadi datu, maka semoga usaha mereka diberkahi juga marga mereka dan keluarganya berhasil kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segala untuk semua negeri mereka," kata prasasti itu pada bagian akhirnya.
Prasasti Bom Baru yang ditemukan di tepian Sungai Musi diperkirakan berasal dari abad ke-7. Isinya tak beda jauh. Prasasti ini mengancam para pemberontak dan warga yang tak setia pada Sriwijaya. Juga kepada mereka yang menyebabkan orang hilang ingatan, sakit, gila, dan mengguna-guna supaya tunduk pada kemauannya. Mereka inilah rakyat yang durhaka yang akan dibunuh oleh sumpah.
"…dikatakan durhaka…apabila tak berbakti dan tunduk…dibunuh oleh sumpah dan disuruh supaya hancur oleh…," kata prasasti itu. "Tapi bila berbakti dan tunduk kepadaku, ia akan menemukan perbuatannya kembali, sentosa selamat dengan sanak keluarganya."
Tak semua prasasti kutukan memiliki struktur kalimat yang lengkap karena tulisan sudah sangat aus dan tak terbaca. Sebagaimana Prasasti Jabung. "Keadaannya sudah aus sehingga tidak dapat terbaca dengan lengkap," jelas Sondang.
Baca juga: Di Balik Prasasti Kutukan Sriwijaya
Sementara Prasasti Baturaja yang ditemukan pada September 2018 hanya tersisa patahan bagian atasnya. Ia juga memuat kutukan bagi pengkhianat dan pemberontak. Penemuan Prasasti Baturaja ini pun menambah jumlah temuan prasasti dari masa Sriwijaya di wilayah Sumatra Selatan.
Berdasarkan paleografinya prasasti itu sama dengan aksara yang digunakan dalam penulisan Prasasti Talang Tuwo (684). Ia ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
Sondang menjelaskan, kutukan ini merupakan pesan penting yang disampaikan si pembuat prasasti kepada masyarakat di lokasi prasasti itu ditempatkan. "Mungkin di daerah itu terdapat permasalahan sehingga prasasti kutukan harus dibuat," kata Sondang. "Banyaknya prasasti Sriwijaya yang berisikan kutukan dan diletakkan di berbagai tempat mengindikasikan adanya masalah pada masa Sriwijaya."
Sementara kalau menurut arkeolog Puslitarkenas, Bambang Budi Utomo Prasasti persumpahan Karang Berahi, Kota Kapur, Palas Pasemah, dan Jabung ditempatkan untuk mengantisipasi supaya masyarakat yang sudah ditaklukkan Sriwijaya tidak memberontak. "Bukan karena ada masalah baru dibuat prasasti, tetapi ditaklukan dulu baru dibuatkan prasasti," jelasnya. "Kala itu sumpah sangat populer dan dipercaya betul."