Dapunta Hyang Sri Jayanasa memerintahkan para bawahannya untuk membangun taman. Dia ingin menanaminya dengan pepohonan. Sebutlah kelapa, pinang, aren, sagu, dan pepohonan yang buahnya bisa dimakan. Ada pula bambu haur, vuluh, pattum, dan pepohonan lainnya.
“Semoga yang ditanam di sini, buahnya dapat dimakan. Semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk,” seru baginda.
Keinginan penguasa Sriwijaya itu terekam dalam Prasasti Talang Tuo dari 606 Saka (684).
Slamet Muljana dalam Sriwijaya mengungkapkan, prasasti itu dikeluarkan setelah sang raja menundukkan Kerajaan Melayu. Prasasti itu juga menyebut Dapunta Hyang membangun kebun-kebun lain yang disebut parlak, waduk (tavad), dan telaga (talaga).
Baca juga: Taman-taman Surgawi
Pierre-Yves Manguin dalam “Palembang dan Sriwijaya” termuat di Kedatuan Sriwijaya menjelaskan, tavad dalam bahasa Melayu modern merujuk pada perbuatan menghalangi sebuah badan air untuk menciptakan kolam. Sementara istilah talaga berasal dari India, menjadi telaga dalam bahasa Melayu modern, yang merujuk pada danau kecil atau tasik.
“Jadi, raja telah membangun beberapa kebun dengan tasik-tasik, kolam atau badan air yang ditahan oleh waduk agar semua orang dapat mendapat berkat,” kata dia.
Manguin menduga kolam dan taman itu kemungkinan bagian dari bangunan hidraulis yang ada pada saat itu. Bentuknya mungkin terinspirasi dari Kota Nalanda yang menjadi tujuan dan asal para peziarah Buddha yang berhenti di Sriwjaya.
“Kita dapat mempercayai bahwa pusat itu mungkin juga telah mempengaruhi konsep-konsep arsitektur para raja Nusantara dan pertama-tama mereka yang di Sriwijaya,” jelasnya.
Taman itu rupanya berhasil dibangun, kendati kini tak jelas bagaimana rupanya. Namun, keberadaannya terbukti lewat penelitian arkeologi di wilayah Palembang pada awal 1990-an.
Baca juga: Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati
Arkeolog senior Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo mengatakan, penelitian itu mengungkap adanya kandungan serbuk sari dari bermacam-macam tanaman, sebagaimana disebut dalam Prasasti Talang Tuo.
“Yang tidak ketemu cuma tanaman jenis bambu. Dalam prasasti disebut bambu, tapi tidak ketemu serbuk sarinya karena bambu tindak meninggalkan serbuk sari,” katanya ketika ditemui di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (11/7).
Dari temuan itu, Bambang menduga lokasi Taman Sriksetra tak jauh dari letak Bukit Siguntang, di barat laut Kota Palembang. Lahannya berkontur dengan lembah dan sungai kecil. Ini terlepas dari dugaan ada beberapa taman yang dibangun oleh Sri Jayanasa berdasarkan keterangan prasasti.
“Bukit Siguntang itu tempat paling sucinya. Ini (taman dan Bukit Siguntang, red.) saling berhubungan dan menunjukkan kriteria kelengkapan suatu perkotaan,” kata Bambang.
Di balik kemungkinan adanya pusat kota yang lengkap dengan taman kota, prasasti itu lebih jauh mengungkapkan harapan di balik pembangunannya. Menurut Slamet Mulyana, taman itu adalah hadiah bagi rakyat. Namun di balik keinginan untuk beramal, pemberian hadiah itu juga disertai doa agar Dapunta Hyang memperoleh pula kebaikan. Artinya sesuai ajaran Buddha, taman yang dibangun Sri Jayanasa itu merupakan persembahan dengan tujuan mencapai level tertinggi dalam kehidupan Buddha yang dijalaninya.
Baca juga: Dari Hutan Jadi Taman
George Coedes dalam Kedatuan Sriwijaya berpendapat, seruan Sri Jayanasa menunjukkan adanya pemahaman Mahayana. Prasasti Talang Tuo pun menjadi bukti tertua yang berangka tahun tentang adanya aliran itu di Nusantara. Di Jawa, aliran itu tak terbukti ada sebelum tahun 778, yaitu dengan munculnya Prasasti Kalasan.
“Dapat dipahami betapa penting Prasasti Talang Tuo yang menyatakan Mahayana sudah ada di Sriwijaya sejak 684,” katanya.
Prasasti itu pun menjadi salah satu bukti komitmen pemimpin terhadap lingkungan hidup sebagaimana diungkap Yenrizal dalam “Makna Lingkungan Hidup di Masa Sriwijaya: Analisis Isi pada Prasasti Talang Tuwo” yang diterbitkan Jurnal ASPIKOM.
Yenrizal menyoroti, prasasti yang dibuat sekira 1.300 tahun lalu itu, telah berbicara pelestarian lingkungan yang tak hanya ditujukan pada manusia, tetapi juga pada semua makhluk.
“Kendati sudah terjadi ribuan tahun lalu, tapi nilai-nilai ini masih relevan dan tepat untuk dilakukan,” catatnya.