Masuk Daftar
My Getplus

Taman-taman Surgawi

Mulai dari nilai estetis hingga ekologis, taman-taman berdiri di berbagai belahan bumi; menghiasi babakan-babakan peradaban. 

Oleh: M.F. Mukthi | 28 Okt 2011

TAMAN ibarat paru-paru. Ia membuat nafas kita tetap segar di tengah kepungan asap knalpot kendaraan yang kian berjibun. Dengan pepohonan yang menghijau, taman ibarat kain busa yang menyerap air agar sebuah kota atau bangunan tak terendam banjir. Ia juga enak dipandang, memperindah kota ataupun bangunan. Ia menjadi ruang publik tempat kita bisa bercengkerama bersama keluarga. 

“Bagi saya, taman kota sangat bermanfaat,” ujar Tantri Aristya, seorang ibu rumahtangga asal Denpasar. Tantri biasa bertemu dengan teman atau bersepeda dan berjalan-jalan bersama keluarga di Taman Lumintang atau Taman Renon. “Taman perlu dipelihara dan dilestarikan, dijaga kebersihaannya karena taman tempat kita refresing atau olah raga yang tidak  memerlukan biaya.” 

Ada banyak fungsi sebuah taman. Tak heran jika taman selalu hadir dalam sejarah peradaban manusia, dengan konsep yang berubah dan berkembang seiring zaman. “Taman telah lama menjadi subjek dari mitologi populer. Deskripsi penuh warna dari kebun kuno muncul dalam berbagai cerita rakyat dan dongeng dari seluruh dunia,” tulis Karen R. Jones dan John Wills dalam The Invention of The Park: Recreational Landscapes from The Garden of Eden.

Advertising
Advertising

Awalnya, hanya raja, bangsawan, atau orang kaya yang membangun taman dan bisa menikmati keindahannya. Para raja Assyria dan Babylonia membangun banyak taman, terutama untuk tempat menyalurkan hobi berburu mereka. Umumnya berbentuk hutan dengan pohon-pohon besar dan hewan-hewan seperti singa, gazelle, atau lainnya. 

Deskripsi tertulis mengenai pemandangan taman pertama yang diketahui, tulis John dan Wills, berasal dari Epos Gilgamesh, sebuah puisi epik dari Babylonia yang berasal dari sekira 2000 SM. Tapi jauh sebelumnya, raja-raja Mesir lalu diikuti para raja Assyria sudah membangun taman-taman nan indah.

Ratu Semiramis membangun taman gantung sekira abad ke-8 SM –kendati orang lebih mengenal taman serupa yang dibangun Nebuchadnezzar II dari Babylonia. Penerusnya, Sennacherib, juga gandrung taman. Dia membangun banyak taman. Salah satunya di Gunung Amanus yang menjadi tempat rekreasi favorit. Taman-tamannya bisa dilihat banyak orang dari kejauhan, sehingga para pelancong menjulukinya “taman kebaikan hati”. Namun, “beberapa taman dan koleksinya lebih mengandung muatan politis sejak didirikan karena ia merupakan simbol penaklukan Babylonia, yang akhirnya berada di bawah kontrol Assyria selama pemerintahan Sanherib,” tulis Allison Karmel Thomason dalam Luxury And Legitimation: Royal Collecting In Ancient Mesopotamia.

Ashurbanipal, yang hidup sesudahnya, merupakan raja yang mengabadikan Epos Gilgamesh, yang ditulis pada lempengan-lempengan tanah liat. Dari lempengan-lempengan itulah dia diketahui akrab dengan taman. Dia sering digambarkan dengan aktivitasnya di taman, termasuk mengadakan pesta kebun. Tamannya dipenuhi hewan, bebungaan, dan pepohonan seperti anggur. Sewaktu membuatkan rumah untuk seorang perempuan, Ashurbanipal melengkapinya dengan sebuah kebun yang luas. Tak seperti dua pendahulunya yang menjadikan taman sebagai simbol penaklukan terhadap alam, melalui taman-tamannya Ashurbanipal lebih menggambarkan kekuasaan politiknya. 

Tak kalah dengan Assyria, bangsa Babylonia juga gemar membangun taman. Yang termasyhur adalah Taman Gantung Babylonia, terletak di kota Babel. Taman ini merupakan taman kerajaan yang dibangun Raja Nebuchadnezzar II, sekitar tahun 605 SM, sebagai hadiah kepada istrinya Amyitis (anak raja Medes). Amyitis yang rindu kampung halaman, mengalami depresi. “Raja memutuskan meredakan depresinya dengan menciptakan ‘tanah airnya’ melalui pembangunan sebuah gunung buatan dengan atap kebun,” tulis  HYPERLINK "http://www.unmuseum.org" www.unmuseum.org.  

Tinggi Taman Gantung sekira 24 meter. Teknologinya sangat maju untuk ukuran zamannya; dindingnya terbuat dari bata lempung dengan tambahan timah agar kedap air. Dinamakan Taman Gantung karena dari kejauhan pepohonan dan tanamannya seperti melayang di udara. Namun taman itu akhirnya musnah oleh gempa pada abad ke-2 SM. 

Orang-orang kaya Mesir Kuno mendirikan taman-taman untuk melindungi beragam hewan, yang dalam tradisi mereka merupakan makhluk penting, lambang dari kekuasaan bahkan dewa. Hierakonpolis dianggap sebagai taman tertua yang dibangun penguasa lokal pada pertengahan milenium kedua sebelum masehi (SM). 

Pharao Akhenaten –dikenal dengan Amenhotep IV– yang berkuasa sekira 3500 tahun silam malahan sudah memiliki taman yang lebih terstruktur. Ada bangunan berkubah untuk kandang singa, antelop, atau hewan lain. Ada kolam untuk ikan dan unggas. Di tengahnya, ada istana kecil. Ia juga rindang dan hijau oleh pohon palem, kurma, sycamore, bebungaan, dan tanaman rambat. Di luar temboknya, ada rumah berkamar tiga untuk penjaga, penduduk, dan para pelayan. 

Penguasa Mesir Kuno lainnya yang membangun taman adalah Thutmose III dengan kebun botaninya dan Ramses III dengan taman megah di bekas kediaman para pendahulunya. 

Di Yunani, pendirian taman berawal dari perluasan hutan di sekitar Kuil Academus. Cimon (510-450 SM) menyusul kemudian dengan memperluas Akademi Athena dan mendirikan taman kota dengan penanaman pohon-pohon tambahan dan arena olahraga. Umumnya, taman di Yunani dibangun oleh orang kaya sehingga terkesan elitis. Baru pada masa berikutnya mereka membangun taman untuk melestarikan lingkungan  –bahkan mereka memiliki aturan yang melarang melukai atau menebang pohon (Code Yunani). 

Taman-taman itu umumnya berupa hutan kecil dengan pohon-pohon rindang. Arsitekturnya ditata secara apik, yang dipengaruhi oleh taman Assyria atau Persia. Biasanya bebungaan, belukar, jalan kecil, patung, gua, dan air mancur ditambahkan untuk memperindah taman. “Warga Yunani menganggap penting taman sebagai area publik,” tulis Karen R. Jones dan John Wills dalam The Invention of The Park: Recreational Landscapes from The Garden of Eden. Dan tak seperti taman-taman Assyria, yang dibangun untuk menyalurkan hobi berburu para bangsawan, “taman Yunani didirikan lebih sebagai tempat untuk berlatih berbagai keterampilan, mengobrol, dan berpikir.” 

Banyak filsuf senang berlama-lama di taman. Plato salah satunya, yang mengasosiasikan kesuburan intelektualitasnya dengan keteduhan dan iklim sejuk taman. 

Sebagai bentuk rasa hormat kepada tanah (alam) sekaligus keprihatinan karena banyak lingkungan alam yang dirampas kota, bangsa Romawi membuat taman-taman publik. “Para pemimpin warga Roma sadar akan pentingnya area terbuka yang hijau,” tulis Jones dan Wills. 

Para hartawan juga berkontribusi terhadap penghijauan Roma dengan mendirikan taman-taman publik. Yang pertama adalah Pompey Agung dengan taman publiknya, Porticus Pompeiana, yang didirikan pada 55 SM. 

Umumnya, taman publik Romawi memiliki atap untuk melindungi pengunjung dari sengatan matahari Mediterania. Pilar-pilar besar menjadi penopang atap-atap itu. Model arsitektural ini disebut Portico –kemudian menurunkan kata porch (Inggris) atau serambi.

Warga kota biasanya mengunjungi taman di saat senggang. Para pendiri taman sengaja membangun tamannya di dekat bangunan-bangunan penting seperti gedung opera, perpustakaan, atau pemakaman. Seiring waktu, para pendiri ini jadi patron-patron komunitas di tamannya.

Meski taman-taman publiknya (portico) terkenal dengan julukan tempat paling demokratis, Romawi juga punya banyak taman privat yang mewah seperti Kuil Emas Kaisar Nero. Seiring berjalannya waktu, konsep portico –yang kemudian dilengkapi dengan gedung pertunjukan atau kuil untuk melengkapi gaya hidup urban– menyebar ke berbagai wilayah taklukan Romawi, dan menginspirasi banyak taman di Eropa. 

Setelah Romawi, banyak taman mencerminkan perpaduan konsep alam dengan religi. Di Eropa, taman-taman didirikan sebagai visualisasi taman surga dalam Alkitab. Kaisar Wu Di dari Dinasti Han di China (140-89 SM) memodelkan salah satu tamannya dengan pulau surga dalam kosmologi Buddha. 

Beragam konsep taman bertemu dan saling mempengaruhi. Pada periode Islam, melalui kampanye militer, hubungan perdagangan, dan penjelajahan, terjadi pertukaran ide Timur-Barat. Orang-orang Barat yang berkunjung ke timur akan membawa pulang konsepsi taman Timur, lalu memadukannya dengan konsepsi mereka. Perpaduan itu terus berlangsung hingga masa kelahiran taman-taman seperti di Versailles (Prancis) atau taman kota Hyde Park di Inggris.

Taman-taman di Amerika Serikat mengadopsi konsep taman di Eropa. Yang terpopuler adalah Central Park di New York. Taman ini merupakan taman publik pertama di AS, didirikan Frederick Law Olmsted pada 1858. Di taman ini pula pada 1890 Eugene Schieffelin, imigran kaya asal Jerman, melepaskan antara 80-150 ekor burung jalak yang dia bawa dari negeri asalnya. Ratusan juta keturunan jalak-jalak itu kini memenuhi angkasa negeri Paman Sam. 

Di Indonesia sendiri, taman-taman sudah ada sejak berabad-abad silam. Umumnya berada di keraton dan pusat kota. Sama dengan Assyria atau Babilonia, awalnya taman-taman itu untuk kepentingan raja. Bentuk taman beragam, sesuai penafsiran para perancang atas konsep estetis para penguasa yang mendirikan. Pengaruh-pengaruh atasnya, sebagaimana ditulis Denys Lombard dalam Gardens in Java, datang dari India, China, dan kemudian Barat. Pengaruh-pengaruh itu lalu berpadu dengan budaya setempat. "Ide taman mungkin setua kemanusiaan itu sendiri," tulis Jones dan Wills.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Seniman Tunanetra di Balik Pengembangan Alat Musik Kolintang Berkah Ditolak Jadi Tentara Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Kisah Jack, Primata yang Jadi Petugas Sinyal Kereta Tiga Supir Palang Merah yang Jadi Pesohor Dunia Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Burung Parrot dan Kisah Cinta Presiden Amerika Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Anak Petani Jadi Jutawan Berkat Jualan Sikat