MARWAH dan spirit “bapak bangsa” Ir. Sukarno yang dibangkitkan putrinya, Megawati Soekarnoputri, saat masuk ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ternyata jadi ancaman buat rezim Orde Baru (Orba). Klimaks dinamika politiknya lantas terjadi pada Peristiwa 27 Juli 1996 alias Kudatuli untuk menyingkirkan Megawati dari partai berlambang banteng berperisai segilima itu.
“Megawati muncul di tengah situasi di mana desukarnoisasi berlangsung begitu kuat. Magnetnya Bung Karno yang menitis pada Ibu (Megawati) itu menarik banyak anak muda. Nah di situ mulai tuh. Terus alarmnya rezim nih alert, mulai bunyi. Awas nih ada apa?” ujar sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi mengenang 28 tahun Kudatuli bertajuk “Kudatuli: Arus Bawah vs Hukum Alat Kekuasaan” di DPP PDIP Jakarta, Sabtu (20/7/2024).
Rezim Orba, lanjut Bonnie, lantas bermanuver untuk mendongkel kepemimpinan Megawati usai terpilih sebagai ketua umum PDI di Kongres Luar Biasa (KLB) Surabaya, medio Desember 1993. Salah satunya dengan membekingi Kongres PDI di Medan pada 1996 yang mengangkat Suryadi kembali ke kursi ketum PDI.
“Ibu (Megawati) kemudian memilih jalan hukum, konstitusional, dia pergi melaporkan, menggugat apa yang terjadi di Medan dan itu tidak sah. Tapi kemudian kita tahu ada penyerangan, perebutan paksa di lokasi ini, persis hari Sabtu (27 Juli 1996),” tambah kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDIP tersebut.
Baca juga: Gambir Berdarah dan Kudatuli sebagai Tonggak Awal Reformasi
Itu kemudian seperti bola salju yang menggelinding makin besar, mendorong lahirnya gerakan protes. Jadi, menurut Bonnie, Peristiwa 27 Juli 1996 bukan sekadar peristiwa internal PDI saja tapi sudah menjadi peristiwa bangsa Indonesia yang luas karena peristiwa itu merupakan satu penyerangan terhadap kemanusiaan, kemerdekaan berekspresi, sekaligus kebebasan berpendapat yang kemudian membuka gerbang Reformasi dengan menjatuhkan pemerintahan Soeharto.
Dari peristiwa itu, diharapankan Peristiwa 27 Juli 1996 bisa jadi cermin untuk mengingat bagaimana demokrasi diperjuangkan di masa senja Orba. Terlebih Peristiwa 27 Juli itu juga bisa dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
“Momen (diskusi) seperti ini jadi satu upaya untuk merawat ingatan di ruang publik. Jadi bagaimana menghadirkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat yang traumatik bagi bangsa Indonesia ini di level publik, menjadi ingatan di domain publik,” imbuh Bonnie.
Dengan mengingatnya, diharapkan peristiwa sejarah pahit itu tak terulang lagi. Apalagi jika bibit-bibit itu dirasa mulai mencuat lagi via instrumen hukum yang digunakan sebagai alat kekuasaan sebagaimana yang terjadi di era Orba.
“Bagaimana hukum digunakan sebagai alat kekuasan? Pertama, ketika pandangan berbeda atau oposisi dalam politik formal itu dimatikan. Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada peristiwa 27 Juli,” timpal pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti.
“Uniknya berpuluh-puluh tahun kemudian ini terjadi lagi tapi dengan halus sekali. Mungkin tidak ada lagi penyerangan secara fisik kepada partai, tapi diserang dan dimatikannya demokrasi kita itu melalui hukum. Kita enggak sadar bahwa sebenarnya kita tengah dijajah, bahwa demokrasi kita sebenarnya tengah dibuat rusak karena alat-alat untuk akuntabilitas kekuasaan dimatikan,” tambahnya.
Baca juga: Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan
Memenuhi Unsur Pelanggaran HAM Berat
Hal lain yang menegaskan bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 bukanlah perkara internal PDI adalah kekuatan koalisi dalam mimbar bebasnya. Dr. Max Lane, Indonesianis dari Victoria University Australia, bahkan menggarisbawahi bahwa mimbar bebas para aktivis penentang rezim Orba itu sedikit-banyak turut menginspirasi para aktivis di negeri kanguru.
“Saya masih ingat waktu itu masih ada di Australia dan banyak pemuda sosialis, demokratis, terinspirasikan oleh apa yang terjadi di Indonesia saat itu. Karena yang penting itu mimbar bebasnya. Buat saya mimbar bebas dijalankan di sana memperjuangkan hak anggota PDIP. Hak untuk untuk memiliki pimpinan sendiri,” ujar Max yang bergabung dalam diskusi via streaming daring.
“Saya kira itu sebuah esensi daripada segala usaha untuk menyelamatkan demokrasi di saat-saat demokrasi terancam. Dan buat saya, kawan-kawan yang berkumpul di mimbar bebas itu namanya warga negara yang baik karena berani untuk memperjuangkan haknya,” lanjutnya.
Baca juga: Kisah Petrus Saat Kudatuli Meletus
Selepas penyerangan terhadap kantor PDI pada 27 Juli 1996 itu, sambung Max, kalangan aktivis yang bersimpatik mengirimkan dua wakilnya untuk mendokumentasikan peristiwanya via film dokumenter. Sisanya berunjuk rasa di depan Konsulat RI dan Kedutaan RI.
“Teman-teman aktivis bikin aksi-aksi di Australia. Ada aksi di depan konsulat dan kedutaan Indonesia menuntut yang ditahan untuk dibebaskan. Lalu menuntut ada Pengadilan HAM soal korban tewas. Teman-teman juga ada yang dikirim ke Indonesia, bikin film dokumenter. Di film itu ada juga wawancara dengan Ribka Tjiptaning (kini Ketua DPP PDIP), diwawancara tentang apa yang terjadi. Itu ditayangkan di cukup banyak bioskop, di kampus-kampus di Australia untuk membangkitkan solidaritas,” tambah Max.
Max juga sepakat jika Peristiwa 27 Juli itu disebut sebagai pelanggaran HAM berat yang mestinya diselesaikan pemerintah Indonesia. Terlebih dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden RI Joko Widodo pada Januari 2023, Peristiwa 27 Juli tidak termasuk di antaranya.
Baca juga: Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Hal tersebut juga jadi keresahan Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia. Padahal menurutnya, unsur-unsur pelanggaran HAM berat terdapat dalam Peristiwa 27 Juli itu. Salah satunya adalah unsur penyerangan, kendati media-media massa saat itu menyebutnya kerusuhan.
“Raid (penyerangan) itu menunjukkan ada satu pihak dari otoritas keamanan bersama sekelompok preman yang secara sengaja menggunakan kekerasan menyerang sekretariat PDI, mengambilalih gedung sekretariat PDI, dan menggunakan kekekerasan untuk menyingkirkan seluruh orang-orang yang ada di sana. Termasuk menyingkirkan Megawati sebagai politik penyingkiran oposisi,” timpal Usman.
Menurutnya, Peristiwa 27 Juli lahir sebagai produk dari intervensi politik kekuasaan. Bentuk intervensinya berupa pengambilalihan paksa, penangkapan, serta penyerangan kantor PDI.
“Peristiwa itu menimbulkan kemarahan masyarakat karena secara telanjang pemerintah melakukan rekayasa politik dengan Kongres (1996) di Medan, menggusur kepemimpinan politik oposisi yang resmi. Masyarakat melampiaskan dalam protes-protes yang cukup keras di (Pasar) Senen, di (Jalan) Kramat, di Menteng, di Jalan Diponegoro, di berbagai tempat dan itu menunjukkan dimensi yang meluas,” sambungnya.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Dengan demikian, dimensi konfliknya vertikal. Dalam hal ini, penguasa selaku pemegang kendali pemerintahan melawan masyarakat.
“Karena ada aspek sistematiknya itu, raid-nya itu ada policy secara politik dan keamanan kepada partai oposisi untuk disingkirkan, kantornya diambil paksa, orang-orang yang coba bertahan akan dipukul, ditahan, ditangkap, dan seterusnya, ditambah dengan dimensi widespread, dimensi meluas dari aspek pelanggaran HAM berat yang juga penting,” terang Usman lagi.
Amnesty International yang berbasis di London sampai mengirimkan dua anggotanya. Meski sempat dihalang-halangi saat mengumpulkan informasi, Amnesty International turut merilis laporannya pada 30 Juli 1996, sehari lebih dulu ketimbang Komnas HAM.
Dalam laporan Amnesty International, sebagaimana dikutip G. Simmons dalam Indonesia: The Long Oppression, Peristiwa 27 Juli 1996 mengakibatkan setidaknya 241 orang ditangkap, 90 luka-luka, dan 5-7 orang tewas. Adapun laporan Komnas HAM pada 31 Juli 1996 menyebut 136 orang ditangkap, 149 luka-luka, dan 5 nyawa melayang.
“Mungkin karena keterbatasan jumlahnya (anggota) Amnesty yang menurunkan tim kecil dua orang, sementara Komnas HAM punya tim yang besar dan berhasil menemukan 149 orang luka-luka, baik aparat maupun sipil. Itu sebabnya saya heran kenapa kalau Komnas HAM menemukan jumlah korban luka lebih banyak dan jelas sudah ada orang yang tewas juga, masih belum juga melakukan penyelidikan pro justitia?” tanya Usman.
Usman melihat ada enam pelanggaran HAM dalam Peristiwa 27 Juli itu. Pertama, hak kebebasan berkumpul, berserikat, dan bahkan hak beroposisi. Kedua, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut karena dikepungnya kantor PDI menimbulkan efek ketakutan dan trauma. Ketiga, hak tidak diperlakukan secara keji atau kejam, secara tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Keempat, hak untuk hidup yang dilanggar dengan adanya korban tewas. Kelima, hak atas rasa aman. Keenam, perlindungan harta-benda, di mana kantor PDI ikut hancur saat penyerangan berlangsung.
“Jadi dari dulu hingga sekarang negara masih menolak Peristiwa 27 Juli sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dan masih enggan menyelesaikannya secara adil. Negara hanya mengadakan pengadilan koneksitas dan membawa tiga orang yang ada di lapangan yang dianggap bertanggungjawab, padahal mereka hanya petugas lapangan: dua aparat keamanan dan satu warga sipil. Dua aparat keamanan pun dibebaskan. Akhirnya yang bersalah hanya satu orang, Jonathan Marpaung, karena dia dianggap terbukti membawa massa dan melempar batu,” urainya lagi.
Baca juga: Aktivis Wiji Thukul di Mana Rimbanya?
Karena itulah Usman ikut mendukung jika Komnas HAM mau berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan DPR merekomendasikan Pengadilan HAM Ad hoc. Pasalnya ia menganggap semua rangkaian yang terjadi di seputar Peristiwa 27 Juli, termasuk penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pasca-Kudatuli, memenuhi sifat dan lingkup peristiwa pelanggaran HAM berat.
“Tidak cukup hanya 12 peristiwa (HAM berat masa lalu). Harus ada Peristiwa 27 Juli sebagai pelanggaran HAM berat yang diakui oleh negara dan dikomitmenkan untuk tidak diulangi. Komnas HAM harus melanjutkan laporan awalnya pada tahun 1996 karena masih belum melakukan penyelidikan pro justitia. Karena ini kewenangan Komnas HAM yang bisa menyelidiki, memanggil, atau memeriksa siapapun,” terang Usman.
Komnas HAM pun menjawab. Hingga hari ini memang Peristiwa 27 Juli 1996 dinyatakan pelanggaran HAM, namun belum pelanggaran HAM berat.
“Sudah pernah dikaji oleh Komnas HAM tahun 2003 yang disebut dengan Subtim Soeharto (Subtim Kajian Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto) dan sudah menyampaikan hasil kajiannya memakai UU No. 39 (1999), bukan UU No. 26 (2000),” jelas Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian.
“Hasil kajiannya menunjukkan adanya pelanggaran HAM. Jadi kita bedakan pelanggaran HAM dengan pelanggaran HAM berat. Jadi secara tertulis, bukan tersirat. Tersirat mungkin ada unsur-unsur tetapi secara tertulis bahwa terjadi pelanggaran HAM pada peristiwa 27 Juli,” lanjutnya.
Diakui Siarlian, pasca-2003 para pendahulunya di Komnas HAM tidak menindaklanjutinya. Baru pada periode 2022, Komnas HAM kembali membuka kajian dan penelitian lagi mengenai Peristiwa 27 Juli.
“Kajiannya sudah rampung tapi kajian itu harus kami serahkan ke sidang paripurna. Kita akan melihat hasilnya seperti apa dan dan kita berharap yang terbaik nanti pada sidang paripurna,” tandas Saurlin.
Baca juga: Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM