PAGI hari, 27 Juli 1996, kami mendengar kantor DPP PDI sedang diserbu. Terjawab sudah apa yang menjadi kekhawatiran pendukung Megawati kalau kantor partai berlambang kepala banteng segilima akan direbut paksa. “Mimbar Bebas” dalam kantor yang terletak di Jalan Diponegoro 58 itu telah benar-benar menjadi simbol perlawanan rakyat.
Sebelum penyerbuan itu terjadi, perlawanan terhadap rezim Soeharto didominasi oleh mahasiswa, sejak itu rakyat mulai bergerak menentang penguasa. Setiap hari mereka mendatangi markas itu, bukan hanya melihat tetapi sudah berani mengekspresikan kemarahannya kepada Rezim Soeharto.
Aku dan beberapa kawan PRD segera bergegas ke sana. Ketika sampai di daerah Megaria, Jakarta Pusat, penyerbuan itu sudah selesai. Kami sudah tidak bisa mendekat ke kantor itu karena di bawah jembatan kereta api Megaria telah dijaga pasukan polisi berhelm lengkap dan membawa tameng.
Hanya asap hitam masih membumbung ke angkasa, sisa-sisa dari terbakarnya beberapa motor dan mobil. Batu-batu masih berserakan di mana-mana, sisa “pertempuran” yang terjadi sebelum kami tiba.
Kalau pada hari itu kita menyaksikan siaran SCTV, terlihat orang-orang yang memakai baju PDI, mengaku dari PDI Soeryadi, sekitar Pukul 06.30 menyerbu Kantor DPP PDI. Para penyerbu melemparkan batu dan bom Molotov kepada simpatisan PDI Megawati yang mempertahankan kantor itu.
Aparat polisi dan militer yang ada di sekitar areal itu membiarkan saja “pertempuran“ yang tidak seimbang tersebut. Jumlah penyerbu lebih banyak dari yang bertahan di dalam kantor PDI. Salah satu stasiun televisi asing berhasil merekam aksi polisi berseragam anti huru-hara merangsek masuk ke kantor itu, memberi jalan kepada penyerbu untuk memenangkan “pertempuran” itu. Menurut reporter SCTV, banyak korban luka-luka, mereka diangkut aparat menuju rumah sakit.
Sesudah berhasil merebut kantor itu, Butu Hutapea, Sekjen versi Kongres Medan, menyatakan diri bahwa kantor itu sudah 45 hari disalahgunakan oleh kubu Mega, maka harus dikembalikan sesuai perannya.
Kubu Soeryadi kemudian menyerahkan kantor itu kepada Letkol Polisi Abu Bakar, Kapolres Jakarta Selatan untuk diamankan. Seluruh jalan menuju gedung itu dijaga aparat. Beberapa panser dan kendaraan berat ditempatkan di sekitar areal tersebut.
Berita penyerbuan itu cepat tersebar, membuat massa berdatangan ke Jalan Diponegoro. Semakin lama massa semakin tumpah di sana. Massa begitu marah menyaksikan Kantor DPP PDI sudah porak-poranda.
Terdengar teriakan massa: "Pembunuh," "Soeryadi antek Soeharto." Seseorang yang lolos dalam peristiwa maut itu rupanya mulai berorasi dan mengatakan banyak temannya yang kemungkinan meninggal.
“Mereka menggunakan senjata untuk membunuh kami yang tetap berusaha mempertahankan Kantor PDI,” teriaknya.
Mimbar bebas terjadi secara spontan di tengah kerumunan massa. Semakin lama semakin memanas. Dari sekedar mimbar bebas, berubah menjadi aksi. Mereka bergerak mencoba masuk ke areal Kantor DPP PDI. Ketika aparat menghalangi, massa tetap melawan. Tak mampu membuka blokade aparat, mereka melanjutkan aksi lempar batu.
Aku sempat bertemu dengan Budiman Soedjatmiko. Dia datang dari arah rumah Ali Sadikin di Jalan Borobudur. Pagi itu Budiman sedang ada agenda rapat dengan Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, dan tokoh-tokoh oposisi lainnya. Dia datang bersama Arief Budiman, intelektual dari Universitas Satya Wacana, Salatiga. Arief Budiman sempat beberapa menit menyaksikan pertempuran di kawasan Megaria itu.
Kukatakan kepadanya, bila massa yang bergerak ini tanpa ada kepemimpinan hanya akan menjadi kerusuhan. “Ingat peristiwa Malari (Lima Belas Januari 1974, red.), kerusuhan yang terjadi akan memberi legitimasi militer memberangus gerakan,” ujarku kepadanya di bawah situasi batu-batu berterbangan di atas kepala kami berdua.
Budiman menyanggupi untuk bertemu dengan para pimpinan PDI agar perlawanan massa ada yang memimpin. Bila aksi terpimpin akan mencegah kerusuhan, dan bila kondisi perlawanan ini bertahan lama akan menjadi gelombang perlawanan rakyat yang luar biasa.
Sampai siang hari, “pertempuran” di jalanan itu tetap bertahan. Massa terus menggempur aparat kepolisian dan militer dengan melempar batu. Aku putuskan masuk ke Gedung YLBHI, yang tak jauh dari posisiku saat itu.
Di sana, banyak tokoh gerakan berkumpul, ada Munir, Bambang Widjoyanto, Sri Bintang Pamungkas, Julius Usman. Sekitar Pukul 15.00 WIB Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pengurus PDI Pro-Mega, datang ke markas bantuan hukum itu. Ia berembug dengan beberapa tokoh oposisi untuk membuat rencana mendatangi Markas PDI. Dan rencana itu dijalankan, tetapi aparat menghalangi mereka.
Garda Sembiring, Ketua SMID Jabotabek, memberikan aku koran Berita Yudha. Kubaca teliti koran milik angkatan bersenjata itu. Mulai dari edisi 25, 26 dan 27 Juli, di halaman depan memuat deklarasi PRD. Mereka juga mengutip Manifesto PRD cukup panjang lebar. Menganalisa struktur organisasi PRD dan menyimpulkan mirip PKI. Mereka juga menyebut ayah Budiman adalah mantan anggota PKI. Mereka ingin membuat opini PRD adalah penjelmaan PKI.
Aku mencurigai, ini adalah siasat pimpinan militer untuk membangun opini kalau PRD adalah komunis. Aku jadi teringat ucapan Munir, salah satu pengurus YLBHI yang memberi informasi penting tentang nasib kantor DPP PDI dan “mimbar bebas”.
"Aku mendapat informasi dari intelijen. Ini sangat valid. Mimbar Bebas akan dibubarkan karena semakin hari menciptakan efek bola salju. Tercipta kesadaran rakyat untuk berani melawan Rezim Soeharto. Caranya, kantor diambil alih dengan paksa. Kalau perlu jatuh korban. Dan akan diciptakan kerusuhan. Dan kalian akan jadi kambing hitam. Dan selesai sudah," ucap Munir serius kepadaku dan Yokobus Eko Kurniawan.
Aku memutuskan seluruh anggota PRD ditarik dari areal Jalan Diponegoro. Aku menuliskannya dalam kertas kecil agar semua menuju sebuah tempat untuk berkonsolidasi. Meminta Garda Sembiring untuk menyebarkan surat instruksiku. Aku menyakini sebentar lagi akan ada kerusuhan, dan menyakini info dari Munir kalau PRD akan menjadi “kambinghitam” atas kerusuhan yang terjadi.
Belum lama Garda pergi, tiba-tiba terdengar massa berlarian menuju ke arah Salemba. Mungkin mereka dipukul mundur oleh aparat. Kemudian disusul suara “buuummmm.” Bunyinya menggelegar. Aku bergegas keluar dari Kantor YLBHI. Bunyi menggelegar itu ternyata sebuah bus tingkat PPD telah dibakar. Entah siapa yang memulainya. Apinya sudah hampir memenuhi sepertiga bus naas itu.
Sungguh luar biasa, begitu banyaknya massa memenuhi jalan Diponegoro menuju Rumah Sakit Sint Corolus. Baru pertamakali ini aku melihat lautan massa begitu banyak. Mereka dalam keadaan marah karena Rezim Soeharto benar-benar merebut Markas PDI dengan cara kekerasan. Beberapa gedung terutama bank dibakar sepanjang jalan menuju Matraman dan menuju Senen. Asap mulai terlihat membumbung ke udara.
Hampir semua anggota PRD yang waktu itu berada di Jalan Diponegoro dapat dikonsolidasikan. Kami berapat di sebuah kos-kos-an di sekitara Kampus IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Aku memberi arahan agar kawan-kawan segera menyiapkan diri menghadapi tuduhan pemerintah PRD adalah dalang kerusuhan itu.
Dari laporan kawan-kawan terkumpul data gedung-gedung yang terbakar. Gedung Persit Kartika Candra Kirana, merupakan gedung pertama yang diamuk dan dibakar. Wisma Honda di sebelah gedung Persit juga dibakar. Gedung Departemen Pertanian delapan lantai juga dibakar.
Kebakaran juga terjadi di Gedung Bank Swansarindo Internasional di bilangan Matraman. Sedangkan di Jalan Salemba Raya, ruang pamer mobil (showroom) Auto 2000 dibakar beserta seluruh mobil yang dipamerkan, begitu pula dengan kantor Bank Mayapada. Kemudian dari arah Salemba ke Senen gedung yang dibakar adalah gedung Darmek dan Telkom. Beberapa hari kemudian Gubernur DKI Jakarta mengumumkan bahwa kerugian dari kerusuhan itu mencapai angka 100 milyar lebih.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Dari dokumen laporan akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Tahun 2003, Letjend TNI (Purnawirawan) Soeyono, yang saat itu Kasum ABRI memberi kesaksiannya dalam buku memoarnya berjudul Bukan Putung Rokok. Seperti di tulis oleh majalah Gatra edisi April 2003, menurut Soeyono dalam bukunya beberapa jenderal yang harus diduga bertanggung jawab dalam operasi perebutan kantor DPP PDI adalah: Jend. R. Hartono (Kasad), Mayjen. Syarwan Hamid (Kasospol), Mayjen. Sutiyoso (Pangdam Jaya).
Politik Intervensi
Bagi PRD, kerusuhan itu akibat dari kebijakan pemerintah yang meng-obok-obok dapur PDI. Menciptakan perpecahan di internal, kemudian merekayasa kongres untuk mendongkel pimpinan PDI yang tidak disukai pemerintah. Tujuannya untuk melemahkan partai tersebut.
Awalnya, pemerintah ingin mengganti Soeryadi dari jabatannya sebagai Ketua Umum PDI. Soeryadi dianggap “nakal” dan berseberangan dengan pemerintah. Dalam sebuah kongres tahun 1993, yang penuh campur tangan pemerintah, ternyata mengalami kebuntuan. Megawati terpilih menjadi ketua umum lewat kongres luar biasa di Surabaya, Desember 1993, dan kemudian dikukuhkan oleh Musyawarah Nasional PDI di Hotel Kemang, Jakarta, akhir Desember 1993.
Dalam perjalanannya, justru Megawati tampil menjadi sosok yang lebih berani menentang pemerintah dibanding Soeryadi. Ditambah, Megawati adalah trah Soekarno, dipandang mempunyai kharisma yang kuat. Kemudian pemerintah merancang skenario untuk menjatuhkan Megawati. Salah satunya mempengaruhi beberapa fungsionaris DPP PDI untuk mendorong terjadinya Kongres Luar Biasa.
Senin, 2 Juni 1996, Fatimah Ahmad dalam Pleno DPP PDI di Jalan Diponegoro 54 menuntut agar Ketua Umum Megawati menyelenggarakan kongres. Usulan Fatimah Ahmad didukung 15 Fungsionaris DPP PDI lainnya. Megawati menolak, bahkan setelah rapat tersebut selesai, salah satu kubu Fatimah, yakni Yahya Theo dipukul oleh massa pendukung Megawati yang marah mengetahui rencana kongres itu.
Tanggal 4 Juni 1996, panitia konggres diumumkan, Fatimah Ahmad menjadi ketuanya. Sehari setelahnya, panitia diterima Direktur Jenderal Sospol Departemen Dalam Negeri Soetoyo N.K dan Kasospol ABRI, Mayjen. Syarwan Hamid. Penerimaan ini pertanda pemerintah menyetujui langkah Fatimah Ahmad .
Pada 14 Juni 1996, tempat kongres diumumkan akan diselenggarakan di Medan. Sejak itu massa PDI pendukung Megawati mulai bergerak di berbagai daerah. Di beberapa kota, seperti Surabaya, Salatiga, PRD bersama struktur PDI di sana menggalang aksi massa untuk memprotes rencana konggres yang diarsiteki oleh pemerintah untuk menggulingkan Megawati.
Dalam kesaksiannya yang dimuat di dalam Gatra edisi 3 Agustus 1998, Haryanto Taslam yang saat itu salah satu Fungsionaris DPP PDI mengatakan beberapa bulan sebelum kongres Medan 1996, komandan Kodim (Komando Distrik Militer) setempat dan kepala kantor Sosial Politik di berbagai daerah memanggil ketua DPC PDI. Mereka diberi arahan untuk menjatuhkan Megawati Soekarnoputri dari posisinya sebagai ketua umum.
Aku dan Budiman Sudjatmiko, hampir setiap hari menemui para pemimpin PDI yang mendukung Megawati di kawasan rumah dinas mereka di Kalibata. Kami mencoba menyakinkan mereka bahwa kelompok pro-demokrasi akan mendukung kepemimpinan Megawati. Bagi kami Megawati adalah simbol oposisi.
PRD juga menyakinkan bahwa melawan dengan pengerahan massa dan aksi massa adalah jalan utama untuk melawan politik intervensi pemerintah ke dalam tubuh PDI. “PRD siap menggalang kekuatan pro-demokrasi untuk bersama-sama melawan sikap pemerintah,” ujar Budiman kepada Sutardjo Soerjogoeritno.
Hal sama juga disampaikan Budiman Sudjatmiko kepada Taufik Kiemas, suami Megawati. Mereka berdua sering bertemu di Kebagusan, Jakarta Selatan untuk berbicara dan mendiskusikan situasi politik terbaru. Situasi massa PDI yang melawan di mana-mana, membuat banyak pimpinan PDI kubu Megawati sudah tidak takut berbicara tentang kemungkinan adanya people power.
Pada 20 Juni 1996, saat Mendagri Yogi S Memed membuka konggres di Medan, di Jakarta massa PDI dan berbagai kelompok gerakan melakukan aksi rally di jalanan dengan kekuatan massa besar. Di sekitar Stasiun Gambir aparat memukul barisan massa aksi. Korban berjatuhan, dan peristiwa itu terkenal dengan “Insiden Gambir”.
Pada 21 Juni, DPP PDI kubu Megawati melakukan perjanjian dengan Kapolda Metro Jaya, bahwa di kantor PDI Jalan Diponegoro 58 akan jadikan tempat “Mimbar Bebas”, untuk menghindari aksi di jalanan yang berpotensi bentrokan dengan aparat. Sejak itu hampir setiap hari hari rakyat berduyun-duyun menghadiri mimbar bebas tersebut.
Tanggal 1 Juli, di YLBHI, sekitar 30 organisasi massa penentang Soeharto, bergabung membentuk Majelis Rakyat Indonesia (MARI). PRD, SMID, PPBI, STN, SBSI, PUDI, GRM, PNI Baru, Masyumi Baru dan berbagai kelompok mahasiswa radikal bergabung di sana.
Tanggal 7 Juli 1996, PRD menyatakan dukungan secara resmi di Kantor DPP PDI, di tengah acara “Mimbar Bebas” yang dihadiri massa. Beberapa jam sebelumnya melakukan aksi ke Menkopolkam, dan membacakan statemen yang mengecam sikap pemerintah yang ikut campur dalam urusan internal PDI.
“Mimbar Bebas” itu telah menjadi ajang konsolidasi perlawanan politik. Semakin lama semakin membesar. Sebuah situasi yang tidak pernah terjadi selama Soeharto berkuasa. Sebuah embrio people power. Sebuah perlawanan yang berujung pada huru-hara berdarah yang direkayasa oleh rezim Soeharto.
Penulis adalah mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik dan tahanan politik Orde Baru.
Baca juga:
Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli
Huru-Hara 27 Juli 1996 dalam Ingatan Wartawan
Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)
Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)