UNTUK pertamakalinya dalam 28 tahun, aktivis Wilson “Obrigados” kembali memijakkan kakinya di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Masih lekat di ingatan Wilson betapa Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) jadi gerbang pembuka gebrakan Reformasi meski memakan banyak korban.
“Berdiri bulu roma saya, bergetar ketika masuk gedung untuk pertamakalinya lagi setelah 28 tahun karena saya seperti menyaksikan banyak korban dan kawan-kawan lain. Biasanya lewat di depan saja,” terang Wilson dalam diskusi peringatan 28 tahun Kudatuli, “Kudatuli: Perlawanan terhadap Rezim Otoriter”, di DPP PDIP, Sabtu (20/7/2024) pagi.
Wilson merupakan aktivis pergerakan dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebelum Peristiwa Kudatuli. Bersama rekan-rekannya, Wilson sudah erat menjalin kerjasama dengan para aktivis PDI Pro-Megawati Soekarnoputri (PDI Pro-Meg). Salah satunya Herman Hendrawan yang dinyatakan hilang pada 12 Maret 1998 menjelang kejatuhan rezim Soeharto.
“Sebelum Peristiwa 27 Juli saya suka datang ke mimbar demokrasi. Di sini saya menemui Herman Hendrawan, salah satu petugas partai yang ditugaskan untuk membangun jaringan dengan arus bawah PDI Megawati dan gerakan demokrasi yang lebih luas saat itu,” sambungnya.
Baca juga: Huru-Hara 27 Juli 1996 dalam Ingatan Wartawan
Bersama massa arus bawah PDI Megawati dan sejumlah aktivis dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Wilson ikut turun dalam aksi longmarch besar-besaran dari kantor PDI menuju Istana Negara. Hadangan aparat memicu insiden yang kelak dikenal sebagai Gambir Berdarah, 19-20 Juni 1996.
“Kita rally dari sini (kantor PDI). Itu aksi terbesar setelah Malari (Malapetaka 15 Januari 1974, red.) menuju Istana. Enggak ada massa zaman itu berani aksi di ring satu Istana. Biasanya baru mendekati HI (Bundaran Hotel Indonesia) saja sudah dipukul habis. Tetapi massa arus bawah ini enggak kenal takut. Tapi di depan Stasiun Gambur dihajar habis-habisan oleh polisi dan tentara,” tambah Wilson.
Ketua DPP PDIP saat ini, dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati, juga turut jadi saksi sekaligus korban Gambir Berdarah. Kala itu, menurutnya, massa PDI Pro-Megawati hendak memprotes pemerintah terkait “pembegalan” Megawati dari kursi ketua umum PDI.
“Kita dulu ramai-ramai mau protes sama si (presiden) Soeharto, (Mendagri) Yogi S. Memet. Tapi kita sudah digebuk duluan di Gambir. Saya ingat diselamatkan Pak Supangat, ketua DPC (PDI) Jakarta Barat. Walaupun (saya) sudah dimasukin ke taksi, taksinya juga dihancurin. Itulah dulu rezim Soeharto,” ujar Ribka mengenang kepahitan itu.
Bukannya kapok, massa PDI Pro-Megawati kembali berkonsolidasi dengan massa rakyat dan aktivis lain di kantor PDI, Jalan Diponegoro 58. Namun pada 27 Juli 1996 pagi, massa berkaus PDI lain datang dan akhirnya memicu bentrokan dengan massa PDI Pro-Mega. Menjelang siang, aparat dari pasukan anti-huru-hara (PHH) tiba. Pecahlah Kudatuli, memakan korban jiwa lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang.
“Oleh karenanya kami sepakat bagaimana mendesak Jokowi (Presiden RI Joko Widodo) bahwa Peristiwa 27 Juli ini dimasukkan ke dalam pelanggaran HAM berat. Kemarin (11 Januari 2023) mengumumkan ada 12 pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa 1965 sampai (peristiwa) Semanggi. Tentang 27 Juli ini enggak masuk pelanggaran HAM berat,” timpal Ribka.
Mengetahui para simpatisan dan kantornya diserbu, Megawati geram. Meski begitu, Megawati enggan melanjutkan perjuangan lewat jalan revolusi.
“Ketika diserang, saat itu dilakukan rapat darurat. Pak Alexander Litaay sebagai sekjen (sekretaris jenderal) saat itu menyampaikan pada Bu Mega dengan terinspirasi terhadap apa yang terjadi dengan Presiden (Filipina) Ferdinand Marcos yang jatuh oleh People’s Power. Tapi setelah berdialektika, Bu Mega menyatakan bahwa tidak akan menempuh jalan itu, melainkan jalan hukum karena bisa jadi korbannya akan sekian banyak lagi kalau terus di jalan revolusi,” cetus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Baca juga: Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Kendati begitu, Gambir Berdarah dan Kudatuli jadi pembuka jalan untuk gerakan massa rakyat yang lebih luas. Sejarah pun berbicara, Reformasi kemudian menumbangkan rezim Soeharto pada Mei 1998.
“Sejarah tidak bisa dilupakan karena (jika) tidak ada Peristiwa 27 Juli, maka tidak ada reformasi. Reformasi tonggaknya adalah kasus 27 Juli. Kalau tidak ada reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur. Tidak ada reformasi, tidak ada anak petani bisa jadi bupati/walikota. Tidak ada reformasi, tidak ada anak tukang kayu bisa jadi presiden,” sambung Ribka.
Kebangkitan Sukarnoisme yang Ditakuti Rezim Soeharto
Peristiwa Gambir Berdarah dan Kudatuli merupakan buntut dari penggulingan Megawati dari kursi ketua umum PDI. Anak kedua proklamator Ir. Sukarno itu sebelumnya didorong mencalonkan diri sebagai calon ketua umum pada Kongres PDI di Medan, 23 Juli 1993.
“Sebelum Kongres IV, Juli 1993 di Medan, sejumlah tokoh DPC PDI serta para pimpinan DPD PDI dan rekan-rekan anggota DPR/MPR Fraksi PDI mendesak saya menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI. Tapi naluri saya mengatakan belum waktunya. Ternyata konflik yang sudah menahun memicu tindakan kekerasan yang mengakibatkan kericuhan,” ungkap Megawati, dikutip Djarot Saiful Hidayat dan Endi Haryono dalam Politik Ideologi PDI Perjuangan 1987-1999: Penemuan dan Kemenangan.
Terlepas dari kericuhan itu, Suryadi yang dibekingi pemerintah Orde Baru kembali terpilih sebagai ketua DPP PDI periode 1993-1998. Tetapi buntutnya sejumlah kalangan menolak Suryadi. Medio Agustus 1993, Menkopolhukam Soesilo Sudarman juga menyatakan Kongres IV PDI di Medan itu tidak sah dan mengharuskan digelar Kongres Luar Biasa (KLB) yang kemudian ditentukan dihelat di Sukolilo, Surabaya pada 2-6 Desember 1993. Nama Megawati kembali mencuat sebagai calon kuatnya.
“Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru terus mencermati perkembangan dukungan kader-kader PDI di cabang-cabang atau daerah kepada Megawati pasca-Kongres Medan 1993. Para pejabat Orde Baru tidak berdiam diri, lebih lagi setelah Megawati mengumumkan pencalonannya. Pemerintah berusaha menghalangi dan melarang Megawati hadir di KLB Surabaya karena dianggap bukan peserta yang sah,” lanjut Djarot dan Endi.
Baca juga: Kisah Petrus Saat Kudatuli Meletus
Tetapi dukungan terhadap Megawati tak dapat dibendung lagi. Tepat empat menit sebelum tengah malam pada 6 Desember 1993, Megawati tetap datang menyapa para pendukungnya di Asrama Haji Sukolilo. Dia memproklamirkan diri secara de facto sebagai ketua umum DPP PDI.
“Bu Mega pernah cerita, ‘bukankah saat itu PDI adalah partai sah?’ (Megawati) terpilih secara de facto dalam KLB di Sukolilo tahun 1993, lalu muncullah berbagai peristiwa-peristiwa penjegalan yang dikonstruksikan latar belakangnya karena ketakutan terhadap ide-ide Sukarnoisme,” tutur Hasto lagi.
Kendati begitu, Mendagri Yogie S. Memet menyatakan KLB Surabaya 1993 tidak sah. Megawati pun “dikudeta” dan pemerintah menyokong Suryadi kembali menjabat ketua DPP PDI dalam KLB Medan, 20-23 Juni 1996. Protes massa Pro-Meg itu kemudian melahirkan insiden Gambir Berdarah, sebagaimana yang diungkapkan di atas.
“Makanya kami di PRD juga memberi dukungan untuk PDI (pro-Mega) menghadapi kekuasaan otoriter Orba pasca-Megawati digulingkan melalui KLB Medan 1996 yang ilegal dan tidak demokratis itu. Kenapa Megawati harus digulingkan rezim otoriter Soeharto? Ada beberapa alasan politis,” urai Wilson.
Baca juga: Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli
Di antara alasannya, lanjut Wilson, karena Megawati ingin mengembalikan marwah Sukarno dan jiwa-jiwa Sukarnoisme ke panggung politik Indonesia. Megawati sebagai anak biologis Sukarno menginternalisasi ideologi Marhaenisme dan Sukarnoisme ke dalam struktur dan wacana partai.
“Ini saya pikir satu ancaman bagi Orde Baru yang menghendaki semua tunduk kepada Soehartoisme. Kita tahu Sukarnoisme ini mengutamakan (gagasan) Trisakti: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkarakter secara budaya. Tiga hal ini yang ingin dihilangkan oleh Orba. Tiba-tiba muncul karakter Trisakti ini dibawa Ibu Megawati dalam wacana-wacana politiknya. Trisakti ini juga membangkitkan wong cilik yang mendukung PDI Megawati yang kontradiktif dengan identitas politik Orba yang bersandarkan ABG: ABRI, Birokrat, dan Golkar,” ujar Wilson.
Alasan lainnya, sambung Wilson, Sukarnoisme yang diusung Megawati sangat berpotensi menghancurkan kebijakan “massa mengambang” (floating mass). Dalam kebijakan itu, pada akhirnya hampir semua lini pemerintahan hanya dipegang militer dan Golkar.
“Dulu kan semua kita tahu bahwa yang bisa jadi pejabat dari LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa), RT/RW (rukun tetangga/rukun warga), lurah, camat itu pasti Golkar. Birokrat ada di sana semua. Tentara juga ada di sana. Yang punya duit ada di sana. Megawati hanya punya kekuatan rakyat. Tapi karena kekuatan rakyat yang solid, Megawati bisa menumbangkan diktator otoriter Soeharto yang 32 tahun berkuasa,” tambah Ribka.
Gerbang Reformasi lantas terbuka lebar. Segala lini kehidupan sudah mulai terbebas dari kungkungan kekuasaan, termasuk kebebasan pers.
“Makanya yang harus kita pikirkan bukan sekadar peristiwa penyerangan kantor (PDI) 27 Juli 1996 tapi latarbelakangnya pula kenapa seorang Megawati punya konsistensi dan keberanian luar biasa. Mengapa perlawanan itu terjadi sehingga menjadi pintu gerbang suatu gerakan kemerdekaan rakyat, termasuk rekan-rekan pers untuk berani bersuara dengan kebebasan persnya,” kata Hasto.
Kebebasan pasca-Reformasi itu masih bisa dinikmati sampai sekarang, termasuk oleh generasi millenial dan generasi-z. Aktivis Universitas Indonesia (UI) Melki Sedek Huang berharap kebebasan warisan Reformasi ini bisa tetap dipertahankan secara bertanggungjawab oleh generasi penerus. Meski Melki sadar, api perjuangan warisan Kudatuli dan Reformasi belumlah selesai.
“Rupanya Kudatuli menjadi salah satu momentum penting kenapa saya hari ini bisa bicara dengan bebas. Kudatuli menjadi pintu gerbang ada banyak partai, kita boleh melaksanakan kebebasan, berorganisasi, berpendapat, berserikat, berkumpul, demi kemaslahatan rakyat banyak yang hari ini diperjuangkan. Hari ini kita memperjuangkan banyak hal lain, termasuk menyoal institusi demokrasi dan konsitusi kita,” terang eks-ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI tersebut.
“Perjuangan itu hari ini kembali kita rasakan. Tahun lalu saya masih ketua BEM UI. Kalau malam sebelum (aksi) demonstrasi, saya itu enggak bisa tidur gara-gara ditelepon aparat keamanan. Saya sempat merasakan bagaimana teman-teman kita dipukulin, ditendang, ditangkap sewenang-wenang, padahal kita hanya menyampaikan kebenaran dan hal-hal yang memang seharusnya didengar oleh pemerintah.”
Baca juga: Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM